11 November 2025
14:54 WIB
Akademisi Ingatkan Jangan Buru-buru Batasi Game Online
Penelitian menyebutkan game online PUBG menjadi pelarian psikologis remaja yang mengalami tekanan emosional atau sosial.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi-Anak bermain Gadget. Shutterstock/Din Mohd Yama,
JAKARTA - Dosen Informatika Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Lukman Hakim, menanggapi rencana pemerintah untuk membatasi permainan daring (game online) bertema peperangan usai insiden ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta. Dia mengingatkan agar kebijakan itu tidak dilakukan secara tergesa-gesa dan emosional.
“Langkah ini harus dilaksanakan dengan hati-hati, berbasis bukti, dan seimbang agar tidak sekadar menjadi respons emosional, tetapi menjadi bagian dari strategi pembinaan digital yang integratif,” terang Lukman dikutip dari laman resmi UM Surabaya, Selasa (11/11).
Dia menjelaskan, menurut sebuah jurnal internasional game online seperti PlayerUnknown's Battlegrounds (PUBG) biasanya berperan sebagai pelarian psikologis bagi remaja yang mengalami tekanan emosional atau sosial. Oleh karena itu, pelarangan total game online tanpa memahami konteks sosial dan psikologis pemain justru kontraproduktif.
Lukman juga berkata, menyalahkan game online sebagai akar masalah justru menimbulkan kesan represif terhadap ruang ekspresi digital remaja. Hal itu juga berisiko menutup mata terhadap isu yang lebih mendasar, di antaranya lemahnya sistem deteksi dini terhadap stres, depresi, dan kekerasan sosial di sekolah.
Dia berpendapat, pemerintah perlu memusatkan perhatian pada tiga langkah yang lebih konstruktif dan jangka panjang. Pertama, memperkuat program kesehatan mental di sekolah. Hal ini dilakukan dengan menyediakan layanan konseling profesional, sistem dukungan sebaya, dan pelatihan bagi guru untuk mengenali tanda-tanda depresi atau isolasi sosial siswa.
Kedua, membangun literasi digital yang sehat. Pendidikan digital ini tidak hanya fokus pada pembatasan konten, tapi juga wajib mengajarkan siswa berpikir kritis, memahami konteks kekerasan di media, dan menyeimbangkan waktu bermain dengan aktivitas lain.
Ketiga, pemerintah perlu melibatkan riset akademik dalam kebijakan publik. Kebijakan publik ini juga harus berbasis data empiris dari penelitian psikologi, pendidikan, dan sosiologi anak muda, bukan sekadar reaksi terhadap peristiwa tragis.
"Kunci utamanya adalah bagaimana memastikan pelajar tetap dapat menikmati hiburan digital secara sehat, namun sekaligus terlindungi dan memiliki resiliensi terhadap potensi risiko di dunia nyata,” tandas Lukman.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan pembatasan game online menyusul insiden ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta, Jumat (7/11). Pembatasan diperlukan mengingat game online bisa mengandung hal-hal negatif yang berpengaruh buruk terhadap generasi muda.