c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

NASIONAL

04 September 2021

18:00 WIB

Agar Digitalisasi Pendidikan Tak Berujung Degradasi

Penilaian terhadap sekolah yang menerima bantuan, berdasarkan infrastruktur internet di kawasan itu

Penulis: James Fernando,Gisesya Ranggawari,Herry Supriyatna,

Editor: Leo Wisnu Susapto

Agar Digitalisasi Pendidikan Tak Berujung Degradasi
Agar Digitalisasi Pendidikan Tak Berujung Degradasi
Ilustrasi pelajar menggunakan laptop di sekolah. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

JAKARTA – Danu, kepala sekolah dasar negeri di Girilaya, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Banten belakangan girang dengan kabar adanya program digitalisasi pendidikan. Dia berharap, sekolah yang dipimpinnya memperoleh bantuan laptop dari pemerintah dalam program itu. Dia mendengar, tiap sekolah akan mendapatkan 15 unit laptop.

“Kami berharap sekolah kami termasuk yang dapat laptop dan perangkat untuk akses internet,” urai pria berusia 49 tahun itu saat berbincangan dengan Validnews, via telepon, Jumat (3/9).

Bantuan dari pemerintah sudah lama ditunggu para guru di sekolah itu. Terutama akses internet dan perangkat penunjang, termasuk laptop. Datangnya pandemi covid-19 menjadikan kebutuhan itu lebih mendesak ada.

Sekolah yang dipimpin diharuskan tutup. Pola belajar beralih, tak lagi tatap muka langsung. Kondisi yang tak mudah bagi guru dan siswa.  Ada banyak kendala mengiringi. Alat komunikasi terbatas. Akses internet juga tak stabil, jelas mengganggu belajar jarak jauh.

Sadar akan keterbatasan, tapi tak bisa menolak aturan pemerintah, Danu dan guru-guru menggunakan lembar kerja untuk belajar siswa. Dalam lembar kerja itu, penjelasan mata pelajaran ditulis ringkas. Ada juga tugas yang harus dikerjakan siswa dalam lembar kerja itu, sebagai acuan penilaian guru pada siswa.

Karena itu, Danu bersiap. Dia sudah merancang, laptop bantuan pemerintah hanya akan digunakan para guru. Sebaliknya, berdasarkan pengamatannya, belum ada satu pun murid di sekolah tempatnya mengajar bisa menggunakan komputer. 

Di luar Pulau Jawa, SMPN di Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, ternyata lebih beruntung ketimbang sekolah di Lebak, Banten pimpinan Danu. Ignasia Dety, salah satu guru di Anggana menuturkan, sekitar lima tahun lalu, para guru di sana pernah mendapatkan bantuan laptop. Bantuan itu bermanfaat bagi guru untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya. Jaringan internet di daerah itu terbilang lancar.

Sejumlah komputer pun sudah ada dan digunakan siswa untuk ujian dan kegiatan lainnya.Meski begitu, Dety tetap berharap, bantuan laptop program digitalisasi sekolah turun ke sekolah itu. Laptop dibutuhkan siswa agar bisa mengikuti perkembangan pendidikan.

“Saat pandemi, sebagian siswa tidak punya handphone (HP), dan mereka mengerjakan tugas pakai komputer sekolah,” kata Dety, saat berbincang dengan Validnews, Jumat (3/9).

Maksud dan Pengawasan
Program digitalisasi ini dibesut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim. Dia menegaskan digitalisasi sekolah tidak bisa dihindari. Sebagai salah satu cara mendongkrak kualitas pendidikan di Tanah Air, program itu adalah jalannya. Hal itu dia ungkapkan dalam acara Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri pada Sektor Pendidikan, Kamis (22/7/2021). 

Menurut Nadiem, digitalisasi sekolah memudahkan guru mengakses informasi dan materi lebih variatif. Siswa berpartisipasi lebih dinamis dan adopsi berbagai macam teknologi.  “Salah satu tujuan dalam digitalisasi sekolah, yakni mewujudkan infrastruktur kelas dan sekolah masa depan,” sebut pendiri usaha rintisan Go-Jek yang kini berstatus Unicorn itu.

Dengan program ini, pengadaan peralatan TIK untuk sekolah akan digelontorkan dengan jumlah lebih besar dilakukan dibanding sebelumnya. Pengadaan itu mulai 2021–2024 berkolaborasi dengan sejumlah produsen produk dalam negeri. 

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Kemendikbudristek, Sutanto menyebutkan, anggaran yang disiapkan mencapai Rp17,42 triliun. Anggaran digunakan secara bertahap. Tahun 2021, disiapkan Rp1,3 triliun untuk pengadaan 190 ribu laptop lalu disebar 12 ribu sekolah.

Tender pengadaan pun 2021 sudah dilakukan. PT Zyrexindo Mandiri Buana Tbk menjadi pemenang. Pemerintah memesan 165 ribu laptop merek Zyrex dengan total Rp700 miliar. Rencananya laptop tersebut akan dikirim ke 8.000 sekolah sebelum Desember 2021. 

Ya, anggaran terbesar memang dibelanjakan pemerintah untuk laptop. Namun, pada program sama, bantuan meliputi access point, konektor, layar proyektor, dan speaker aktif, hingga internet router.

Setidaknya, tiap sekolah akan diberikan 15 unit laptop.  Tiap sekolah akan diberikan satu acces point.

Targetnya, ada 2.500 sekolah penggerak yang dihasilkan dengan program ini hingga penghujung 2021. Sekolah tersebut bakal mendapat berbagai dukungan khusus, mulai dari bimbingan, infrastruktur, hingga kurikulum khusus.

Sutanto memastikan program itu hanya diberikan kepada sekolah yang belum memiliki perlengkapan TIK. Sambil berjalan, pendataan sekolah-sekolah yang belum memiliki minimal 15 unit komputer, terus dilakukan.  Bila jumlah unit komputer milik sekolah kurang dari 15, pemerintah memasukkan dalam kategori belum memiliki peralatan TIK, terutama komputer.

Lalu, setelah didata maka pemerintah akan memilih sekolah mana saja yang akan masuk dalam kategori prioritas. Penilaiannya itu berdasarkan infrastruktur fasilitas internet di kawasan itu.

“Jadi yang diutamakan memang sekolah yang memang belum punya. Jangan sampai ada yang sudah punya dikasih lagi,” kata Sutanto, kepada Validnews, Jumat (3/9).  

Sutanto menguraikan, publik mesti melihat program digitalisasi sekolah dari tujuannya, menaikkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia. Apalagi, digitalisasi sekolah juga diperlukan untuk proses Asesmen Nasional atau evaluasi yang diselenggarakan oleh Kemendikbudristek guna meningkatkan mutu pendidikan. 

Tujuan lain, kualitas guru menjadi meningkat. Diharap, dengan memanfaatkan internet, guru mendapatkan banyak bahan untuk mengajar para siswa sebagai pengetahuan baru.

Sutanto memastikan sekolah di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) bakal menerima bantuan. Namun, untuk ketersediaan jaringan internet, pihaknya harus berkoordinasi dengan Kemenkominfo. Karenanya, pemerintah merencanakan penyaluran ke daerah 3T akan dilakukan pada 2024. Pemberian bantuan tak bisa dilakukan segera.

“Kalau sekarang jangankan internet. Listrik saja belum masuk. Kami masih berkoordinasi dengan Kemenkominfo yang menyiapkan jaringannya,” kata Sutanto.

Terkait nilai anggaran yang besar, Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek akan mengawasinya. Selain itu, tiap pengadaan barang itu akan diawasi oleh Kejaksaan Agung. Pengadaan ini masuk dalam katalog LPSE Kemendikbudristek.

Kebutuhan Beda
Sebaliknya, Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Rakhman Hidayat berpandangan, pola pendekatan dalam program digitalisasi sekolah ini masih menginduk dengan cara kerja Orde Baru. 

Dia mengkritisi sikap pemerintah yang begitu yakin, bahwa yang diberikan pada masyarakat adalah memang yang dibutuhkan. Semestinya, ada kajian lebih dulu untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan sesungguhnya.

Berdasarkan pengamatan P2G, peserta didik di Indonesia tak membutuhkan laptop untuk kegiatan belajar mengajar. Mereka membutuhkan hal yang berbasis kebutuhan kegiatan pendidikan sesuai dengan daerahnya masing-masing.   

“Kebutuhan masyarakat atau anak-anak pelajar di daerah Papua dengan di daerah Sumatra, Kalimantan ataupun Jawa itu berbeda. Ini tidak bisa disamakan dan harus ada kajiannya,” tambah Rakhman pada Validnews, Jumat (3/9).

Bisa saja, kata Rakhman, unit TIK yang didistribusikan ke daerah-daerah malah tak dapat digunakan karena tak ada fasilitas pendukung yang memadai. Artinya, program tersebut berpotensi  hanya membuang-buang anggaran negara saja.

Dia juga menyoroti besarnya anggaran program ini. Selain pendampingan penegak hukum yang harus ada, selayaknya juga dibarengi akses informasi dari publik. Rakhman berpandangan, ketimpangan pendidikan di Indonesia bukan terjadi karena fasilitas TIK yang tak merata. Namun, ketimpangan itu disebabkan oleh kurangnya akses infrastruktur pendidikan di daerah-daerah

Dia mengungkapkan keheranannya, kenapa pemerintah tak ngotot untuk memperbaiki ruang sekolah yang tak layak pakai sebagai langkah prioritas utama.

“Ini lebih penting dibandingkan hanya sebatas bagi-bagi laptop yang kita tidak tahu karena kebutuhannya berbeda-beda,” tambah Rakhman.

Bagi Dewan, program digitalisasi ini dinilai baik. Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih menyebutkan, pihaknya tak mempermasalahkan anggaran Rp17 triliun untuk pengadaan TIK ini. Dia mengamini, semakin hari, sekolah memerlukan akses internet. 

Di sisi lain, dia akui pula, masih banyak wilayah di Indonesia yang belum memiliki fasilitas internet atau blankspot. Berdasarkan kondisi itu, dewan menyarankan, sebelum pemerintah menjalankan program tersebut harus menyelesaikan permasalahan fasilitas internet terlebih dahulu.

“Percuma saja kalau dibagikan laptop dan perangkat TIK lainnya tapi tidak ada sinyal. Bahkan ada beberapa daerah di Indonesia kan belum dialirkan listrik. Ini fakta yang terjadi,” kata Fikri.

Dewan mengamini, program itu berpotensi tak tepat sasaran. Bisa saja, komputer-komputer itu diberikan kepada sekolah yang hanya memiliki fasilitas listrik dan internet. Artinya, sekolah di wilayah pedalaman tetap sulit dijangkau program ini.


Potensi kecurangan lainnya, kata Fikri, ada pada spesifikasi komputer tidak didukung dengan kondisi yang semestinya. Misalnya, kapasitas memori perangkat komputer itu terbatas. Kemudian, jaringan internet yang tidak stabil.

Fikri menegaskan, DPR kan mengawasi seluruh pengadaan TIK di Kemendikbud tersebut. Hal ini untuk mengantisipasi adanya kecurangan atau adanya upaya tindak pidana korupsi. Apalagi, anggaran pengadaan TIK ini mencapai Rp17,42 triliun.

DPR telah memiliki Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L).Anggaran yang tertera pada RKA-K/L ini akan mempermudah dewan untuk melakukan evaluasi. Bisa ditemukan penyimpangan, dewan akan memanggil Mendikbud, Nadiem Makarim untuk melaporkan hasil kerjanya.

Sama halnya dengan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), DPR menyarankan Kemendikbud untuk meminta pendampingan aparat penegak hukum. Pengawasan internal oleh Inspektorat Jenderal saja tak cukup. 

“Kalau memang ingin selamat, wajib menggandeng penegak hukum. Sistem pengawasan internal harus kuat ditambah pengawasan eksternal,” kata Fikri.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar