c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

28 Juli 2020

15:56 WIB

Warga Perbatasan: Jangan Bicara Soal Sinyal, Listrik Saja Tak Ada

Negara belum hadir di tengah masyarakat perbatasan. Siaran TVRI tidak ada, hingga sekolah negeri menarik bayaran 

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Warga Perbatasan: Jangan Bicara Soal Sinyal, Listrik Saja Tak Ada
Warga Perbatasan: Jangan Bicara Soal Sinyal, Listrik Saja Tak Ada
Siswa SD berjalan menuju sekolahnya yang berjarak sekitar 10-15 kilometer di Desa Looluna, Belu, NTT, Kamis (4/7). Pendidikan Dasar di perbatasan Indonesia-Timor Leste tersebut terkendala jarak dan minimnya fasilitas pendidikan, termasuk guru dan buku pelajaran sehingga masyarakat berharap pemerintah pusat dapat memberikan bantuan itu. ANTARAFOTO/Yudhi Mahatma

JAKARTA – Salah seorang warga asal Alor, Nusa Tenggara Timur, Fridrik Makanlehi mengeluhkan belum adanya aliran listrik dan jaringan sinyal televisi, serta internet. Ia menyampaikan, warga di daerahnya yang berbatasan dengan Timor Leste itu saat ini belajar dengan keterbatasan.

"Jangan dulu bicara jaringan, listrik saja tidak ada. Dari 176 desa, 85 desa itu listrik tidak ada. Bagaimana anak-anak Alor mendapatkan pendidikan jarak jauh kalau seperti ini," ujar Fridik dalam webinar Tantangan dan Kebijakan Dunia Pendidikan pada Era New Normal, Selasa (28/7).

Ia menambahkan, siaran TVRI yang menyajikan program pembelajaran jarak jauh juga tidak bisa ditonton oleh sebagian warga Alor karena tidak ada jaringan. Ia menyebutkan jika ingin menonton siaran televisi, warga Alor harus membeli perlengkapan parabola yang harganya cukup mahal.

"Saya merasa pemerintah belum hadir untuk kami. TVRI saja tidak ada di kampung kami. Kami kalau mau menonton televisi harus beli parabola, dan itu mahal sekali. Apalagi sekarang banyak yang dipecat karena pandemi," paparnya.

Ia juga menyampaikan, sekolah negeri masih ada yang meminta biaya kepada anak miskin dan yatim piatu. Biaya yang dibebani sebesar Rp600 ribu. Padahal, kebanyakan warga Alor pekerjaannya petani.

"Masih ada sekolah negeri yang minta biaya sekolah. Padahal pendidikan adalah hak setiap anak dan harusnya diberikan kelonggaran jika anak miskin," tegas Fridik.

Lebih lanjut, Fridik mendesak kepada pemerintah untuk segera memperhatikan infrastruktur seperti jaringan siaran televisi di Alor, NTT. Selain itu, ia juga meminta agar anak yatim piatu dan anak miskin di Alor untuk diberikan kelonggaran dalam mendapatkan akses pendidikan.

"Bagaimana mereka mau makan kalau biaya pendidikan mahal. Mereka sangat menderita. Pemerintah harus memikirkan juga warga di pelosok seperti kami. Kami ini merasa seperti bukan orang Indonesia kalau seperti ini," cetusnya.
 
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mengaku prihatin atas realita yang masih terjadi di perbatasan dan daerah terpencil. Ia berjanji akan terus mengawal dan mendorong pemerintah untuk mempercepat pemerataan akses pendidikan.

"Memang tugas kita perlu membuka realita ini. Kami terus memperjuangkan dan mendorong percepatan pemerataan akses pendidikan, perlu cepat agar menghindari situasi semakin memburuk lagi," kata Hetifah.

Namun, ia menilai sejatinya pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak tinggal diam dalam membantu anak miskin. Ia menyebutkan hal ini terlihat dari beberapa program dan kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Kemendikbud.

"Misalnya afirmasi DAK pendidikan, dana BOS afirmasi, beasiswa afirmasi. Tapi memang harus ada lagi pelebaran kelompok penerima, data penerima bantuan tentu akan bertambah karena covid-19. Kami akan memantau dan mengawal problem seperti ini agar Kemendikbud memprioritaskan akses pendidikan di semua daerah," tuturnya. (Gisesya Ranggawari)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar