05 Juli 2018
19:25 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Banyaknya partai politik yang mengusung Jokowi untuk kembali berlaga di pemilihan presiden (pilpres) adalah faktor menguntungkan. Namun, untuk kandidat wapres, Jokowi perlu menarik tokoh dari kalangan non-parpol. Agar tidak menimbulkan kecemburuan dari parpol-parpol pendukung.
Sejumlah pengamat politik menilai, dengan mengambil wakil dari kalangan professional, bisa menjadi jalan tengah bagi Jokowi, tidak mengecewakan parpol pengusungnya.
“Karena partai pengusung banyak, jadi kalau memilih cawapres dari satu parpol, pasti akan menimbulkan kecemburuan," kata Direktur Polcomm Institute Heri Budianto, kepada wartawan, Kamis (5/7).
Begitu halnya dengan ambisi sejumlah ketua umum partai pendukung untuk maju sebagai cawapres, Heri menilai hal itu lumrah. Karena setiap parpol pasti menginginkan kader terbaik duduk dalam kursi pemerintahan. Maka tidak terhindarkan bagi parpol menyodorkan para ketua umum-nya untuk mendampingi Jokowi. Santernya wacana mengenai mundurnya Moeldoko dari Hanura untuk bisa menjadi calon wakil presiden Joko Widodo, dinilai Heri, sebagai hal yang pas.
“Itu (Mundurnya Moeldoko dari Hanura-red) seperti membuka peluang, paling tidak, akan dilirik Jokowi karena posisinya netral,” kata Heri.
Apalagi bila berkaca pada hasil Pikada serentak kemarin, pengamat politik dari Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti mengatakan bahwa beberapa tokoh non partai politik terbukti cukup berkualitas dan memenangi pertarungan. Contohnya Ridwan Kamil yang tidak diusung partai-partai besar di Jawa Barat. "Tentu ini pertimbangan buat Jokowi mengambil kandidat non partai," ucap Ray, di kesempatan berbeda.
Ia juga mewanti-wanti agar para pimpinan partai tidak sekadar menjadikan kendaraannya sebagai alat tawar kepada Presiden Joko Widodo dalam menentukan calon wakil pendampingnya.
Sejauh ini, Ray melihat ada kecenderungan beberapa pimpinan partai politik, seperti Airlangga Hartarto (Golkar), Romahurmuziy (PPP) dan Muhaimin Iskandar (PKB) yang seolah sudah siap dilamar Jokowi bermodalkan dukungan partai politik pada kontestasi Pilpres 2019.

Konsistensi
Apapun alasannya, mundurnya Moeldoko dari Hanura bisa dianggap sebagai itikad baik untuk optimal bekerja bagi negara. “Saya kira beliau (Moeldoko) ini memberikan contoh dan konsistensi yang baik sebagai pejabat negara yang diberi amanat membantu pemerintahan,” ungkap pengamat politik dari Universitas Al Azhar Jakarta, Ujang Komarudi di kesempatan terpisah.
Dia menilai, Kepala Staf Presiden (KSP) sebagai pejabat setingkat menteri harus melepaskan jabatan di partai atau non aktif, supaya tidak mengganggu ritme di pemerintahan . “Harusnya mundurnya Moeldoko menjadi contoh bagi pengurus partai lain yang saat ini masih menjabat,” katanya.
Sementara itu, Ketua Bidang Perekonomian DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menyatakan penentuan kandidat cawapres pendamping Jokowi menjadi kewenangan para ketua umum (Ketum) partai pengusung. "Itu urusan dan kewenangan ketum," ungkap Hendrawan.
Hendrawan meyakini para ketum partai politik yang mengusung Jokowi, dengan kearifan akan saling berkomunikasi bersama dengan capres yang didukung untuk menentukan cawapres yang cocok. "Saya yakin para ketum sudah memiliki daftar prioritas yang siap dibicarakan," ujar pria bergelar profesor itu.
Politisi ini meminta publik bersabar menunggu kepastian nama cawapres yang akan disandingkan dengan Jokowi pada Pilpres 2019 karena perlu analisis mendalam.
Sebaliknya, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sendiri, hari ini (Kamis, 5/7) kembai menepis isu yang mengaitkan kemundurannya dari Hanura dengan menguatnya namanya dalam bursa calon wakil presiden (cawapres) Joko Widodo (Jokowi).
"Itu spekulasi saja. Spekulasi yang saya juga sudah baca beberapa tulisan yang seolah-olah saya mundur itu karena ingin ada niat yang lain," kata Moeldoko di Hotel Borobudur, kamis (5/7).
Moeldoko, usai diskusi, menegaskan, kemunduran dirinya dari partai Hanura karena ingin fokus sebagai Kepala Staf Presiden. (James Manullang)