c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

10 Februari 2020

14:56 WIB

Terpapar Radikalisme, ASN Gagal Duduki Eselon 1

Menpan Tjahjo: ASN harus terbebas dari korupsi, narkoba, dan radikalisme

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Terpapar Radikalisme, ASN Gagal Duduki Eselon 1
Terpapar Radikalisme, ASN Gagal Duduki Eselon 1
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

BATAM – Radikalisme sudah sedemikian mewabah. Bahkan, mereka yang duduk sebagai pimpinan di badan usaha milik negara, serta institusi lain di lingkup pemerintahan, banyak yang sudah terpapar. Ini tersimpul dari pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo, Senin (10/2) yang menyatakan sejumlah pegawai negeri sipil gagal dalam seleksi eselon 1 dan 2 karena terpapar radikalisme.

"Banyak, saya kira banyak," kata Menteri Tjahjo Kumolo di Batam, Kepulauan Riau.

Ia memastikan pejabat eselon 1 dan 2 harus bersih dari paparan radikalisme, narkoba, dan korupsi. Pejabat eselon 1 dan 2 di saat sama, juga harus memahami masalah gratifikasi dan PPATK.

Tjahjo, karenanta, meminta seluruh aparatur sipil negara (ASN) untuk berhati-hati terkait radikalisme dan terorisme. Jangan sampai, seseorang sudah ingin menjadi pejabat eselon dan didukung, namun tersandung masalah itu.

"Bagaimana mau menjabat eselon 1 dan 2, tapi pola pikirnya sudah mengarah ke sana," kata Menteri yang juga politisi PDIP ini.

Dalam sambutannya, dikutip dari Antara, pada penyerahan evaluasi SAKIP, Menteri mengatakan ancaman terbesar, antara lain radikalisme dan terorisme, narkoba dan korupsi. ASN diingatkan untuk menjauhi korupsi, narkoba dan gratifikasi, karena ancamannya langsung dipecat.

Menteri juga mengingatkan seluruh ASN berhati-hati menggunakan media sosial, agar tidak tersandung masalah yang tak semestinya ada.

Waspadai CPNS
Terhadap radikalisme di ASN, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yaqut Cholil Qoumas juga mengingatkan, agar pemerintah untuk memperketat seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2020 yang sedang berlangsung, terutama melakukan penyaringan terhadap CPNS yang intoleran dan berpaham radikal.

"Pemerintah perlu melakukan sejumlah antisipasi terhadap proses seleksi agar tidak kecolongan tersusupi CPNS yang intoleran dan berpaham radikal, atau malah sudah terafiliasi dengan organisasi radikal," kata Yaqut, Jumat.

Dia menyarankan, deteksi dini atau "screening" terhadap CPNS yang sudah lolos tes tahap pertama sebelum mengikuti tes selanjutnya, perlu dilakukan. Apalagi banyak kasus dugaan ASN yang terpapar paham radikal belakangan ini.

"Harus ada langkah preventif. Tidak cukup, misalnya, dengan menandatangani pernyataan mengakui Pancasila dan NKRI saja. Sudah banyak contoh, PNS atau Aparatur Sipil Negara (ASN) terpapar radikalisme. Perlu ada peraturan pemerintah yang mengatur soal ini,” kata Ketua DPP PKB ini.

Yaqut juga menyitir survei Alvara Research Center yang mengatakan banyak PNS tidak setuju dengan ideologi Pancasila, namun setuju dengan ideologi Islam, harus lah menjadi dasar argumen perlunya seleksi ketat. Dia mengakui mayoritas PNS masih memilih Pancasila dan NKRI, namun ini potensi yang tidak bisa dianggap sepele.

"Bahkan, tak sedikit PNS yang setuju dengan model khilafah sebagai bentuk negara, daripada NKRI," katanya.

Survei Alvara sendiri membeberkan hasil sebanyak 19,4% PNS lebih memilih ideologi lain, yakni Islam dibandingkan dengan Pancasila dan sebanyak 22,2% setuju dengan konsep khilafah.

Di kesempatan berbeda, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Drs Suhardi Alius MH, mengharapkan kalangan kampus berperan meredam penyebaran paham radikal (radikalisme) dan terorisme. Salah satu upaya yang bias dilakukan adalah meningkatkan kepekaan, kewaspadaan dan kepedulian di lingkungan pendidikan terhadap adanya penyebaran radikalisme dan terorisme.

Saat memberikan kuliah umum di hadapan sekitar 600 mahasiswa ITB dengan tema “Resonansi Kebangsaan dan Bahaya serta Pencegahan Radikalisme”, Suhardi menegaskan,  interaksi di dunia maya juga bias menjadi cara ampuh meredam radikalisme.

Dalam kesempatan itu, Suhardi berpesan agar mahasiswa ITB termasuk civitas akademika di lingkungan kampus ITB juga mengembangkan sense of crisis untuk saling mengingatkan terhadap satu sama lain di lingkungannya.

"Jadi harus ada sense of crisis terhadap sebuah fenomena sosial kepada seluruh mahasiswa. Jangan sampai terpapar dan saling mengingatkan satu sama lainnya,” tutur Kepala BNPT

Sebaliknya, Rektor ITB Reini Wirahadikusumah, ITB menegaskan, kampus yang dipimpinnya, terus bertekad untuk mencetak para lulusannya agar bisa menjadi berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia ini. Namun demikian tidak hanya mencetak mahasiswa yang memiliki knowledge dan skill saja, namun mahasiswa tersebut harus memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi dalam membangun bangsa ini. (Rikando Somba)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar