14 Juli 2020
20:42 WIB
Editor: Rikando Somba
JAKARTA – Pandemi covid-19 masih belum berakhir. Kekhawatiran warga masih membayang akan angka tertular yang tak juga berkurang. Namun, aktivitas manusia tak boleh meredup, lalu padam. Kegiatan bekerja dan belajar, meski berpusat masih di rumah, tetap berlangsung.
Nahriyah (50), ibu rumah tangga yang tinggal di Kabupaten Bogor, mengamini ini. Buatnya, pandemi tak bisa dipandang sebelah mata. Karenanya, dia mendukung pembelajaran jarak jauh (PJJ) diterapkan kepada siswa sekolah, termasuk anaknya yang bernama Rizky Kurniawan (14).
Saban hari, Nahriyah tak pernah absen menemani Rizky. Malah belakangan, ia kian terlibat. Telepon genggamnya jadi alat penghubung guru dengan anaknya. Berbagai tugas Rizky di sekolah dikirim guru ke ponsel sang ibu.
“Di sekolah anak saya, guru hanya memberikan materi lewat WhatsApp grup, jadi si anak hanya disuruh mengerjakan soal. Setelah selesai mengerjakan soal, dikirim lewat WA grup itu juga,” tuturnya pada Validnews, Senin, (13/7).
Terkadang, dia juga harus bantu menjelaskan materi pelajaran yang kurang dipahami anaknya. Sekali waktu, Nahriyah kesulitan. Namun ini tak membuat si anak ragu kembali memintanya menjelaskan. Padahal, materi pelajaran yang sama kini ada melalui siaran televisi. Namun, siswa ini mengaku, durasi program belajar di TVRI tak cukup. Betul, materi tak bisa diulang kembali.
Bagi siswa, penjelasan materi, jarang dibeber guru melalui video call maupun meeting zoom dinilai masih kurang. Nahriyah juga mengeluhkan ini. Bisa saja dia minta penjelasan tambahan, namun perlu merogoh kocek lebih dalam buat peroleh kuota.

“Saya maunya ada penjelasan terkait materi yang mereka (para guru.red) kirim lewat grup itu. Misalnya, melalui video call, zoom atau video. Selama ini, hal-hal seperti itu tidak pernah ada,” urai Nahriyah.
Nah, bila mengacu data Digital 2020 yang dibuat manajemen konten HootSuite dan agensi pemasaran media sosial We Are Social, pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 175,4 juta dengan penetrasi mencapai 64%. Dari total 272,1 juta populasi di Indonesia, tersisa 36% yang belum terkoneksi internet. PJJ ini juga berkontribusi terhadap peningkatan pemakai internet di Tanah Air.
Sebesar 96% pengguna internet di Indonesia sudah menggunakan gawai, sedangkan 5,3% masih mengakses internet menggunakan ponsel fitur.
Rata-rata orang Indonesia menghabiskan empat jam 46 menit tiap hari untuk berselancar di internet. Sebagian besar menggunakan akses internet untuk bersosial media. Laporan ini mencatat pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 160 juta dengan penetrasi 59% dari total populasi. Jumlah ini naik 8,1% atau sekitar 12 juta pengguna.
Soal koneksi internet, Nahriyah tak sendirian, Banyak orang tua murid mengalami hal sama terkait PJJ ini. Farid Kusuma (33), salah satunya. Dia keberatan jika belajar virtual diterapkan di jenjang usia dini atau sekolah dasar. Bukan soal koneksi saja yang membuatnya khawatir.
Putra Farid, Rafa pada tahun ini menjadi murid kelas 1 SD. Seperti anak lainnya, dia harus menjalani PJJ. Namun sang ayah, khawatir Rafa bakal sulit mengikuti belajar tanpa tatap muka.
Apalagi, karakter anak-anak seusia Rafa sulit untuk fokus. Farid sudah membayangkan, karena ini, dia harus mendampingi dan rajin mengingatkan anaknya akan materi pelajaran yang disampaikan secara virtual.
“Untuk anak-anak yang aktif, belajar virtual tidak cocok,” tukas Farid dalam perbincangan dengan Validnews, awal pekan ini.
Kini, pada tahun ajaran baru 2020/2021, kebijakan PJJ tetap diberlakukan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri) menegaskannya.
Dalam SKB tersebut dijelaskan, pembukaan sekolah hanya diperbolehkan di zona hijau. Sementara yang berada di zona kuning, dan orange masih dilarang melakukan kegiatan tatap muka dan tetap melanjutkan kegiatan PJJ. Kemendikbud akan mempermanenkan ketersediaan platform teknologi PJJ.
“Yang dimaksud dengan permanen ini adalah tersedianya berbagai macam platform PJJ, termasuk yang bersifat daring, luring yang tentunya akan terus dilangsungkan guna mendukung siswa dan guru dalam proses belajar mengajar,” ujar Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud, Evy Mulyani dalam YouTube Channel Kemendikbud bertajuk “Bincang Sore: Permanenkan Ketersediaan Platform Teknologi Belajar” pada Senin, (6/7).
Dalam webinar itu Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Iwan Syahril menjelaskan, pemerintah akan menggunakan metode pembelajaran hybrid atau kombinasi dalam penerapannya nanti. Guru dan siswa dapat melaksanakan proses pembelajaran tatap muka yang dipadukan dengan alat bantu teknologi yang selama ini dimanfaatkan dalam PJJ.
“Saya sangat yakin pembelajaran dengan metode hybrid learning ini akan efektif untuk meningkatkan kemampuan kompetensi siswa-siswa kita dalam bersaing di dunia global saat ini,” katanya, optimistis.
Kemendikbud juga menegaskan, tak ada niatan mempermanenkan PJJ yang sudah hampir tiga bulan dilakukan oleh 68 juta siswa di Indonesia (data Bank Dunia 2020). Diamini pula, sejumlah kendala mewarnai pelaksanaan PJJ. Di antaranya siswa yang tidak memahami tugas hingga orangtua yang kesulitan mendampingi anaknya belajar di rumah.
PJJ Berpihak?
Metode PJJ ini sendiri dipersoalkan oleh para pengajar. Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriawan Salim menuding, metode PJJ hanya berpihak pada siswa dari keluarga yang mampu. FSGI menyimpulkan ini setelah mengevaluasi selama tiga bulan terakhir.
Penerapan PJJ sendiri terbagi dua, yaitu PJJ daring dan PJJ luring. PJJ daring merupakan metode pembelajaran dengan menggunakan sarana informatika. Model pembelajarannya, guru biasanya berinteraksi dengan murid melalui video conference. Ini hanya terjadi di kota-kota besar yang akses internetnya memadai.
Sementara PJJ luring merupakan metode pembelajaran dengan tidak menggunakan sarana informatika. Hal ini lantaran keterbatasan akses internet. Model pembelajaran yang diterapkan, guru mendatangi muridnya secara door to door.
“Untuk PJJ daring, saya lihat cukup efektif. Anak-anak ini cukup terlayani. Yang jadi catatan dalam PJJ daring adalah kompetensi,” terang Satriawan.
FSGI menyerukan, guru-guru mesti diberikan pemahaman, pelatihan, keterampilan dalam penggunaan media aplikasi atau media yang digunakan apa. Tujuannya, agar pembelajarannya menyenangkan.
Pada saat sama, anak-anak yang belajar dengan menggunakan metode luring memerlukan perhatian pemerintah. FSGI mencatat, ada 46.000 sekolah yang melakukan PJJ secara luring karena di tempat mereka tidak terdapat akses listrik, internet dan juga media elektronik, seperti laptop dan gawai.
Parahnya lagi, ada juga beberapa sekolah di daerah yang justru sama sekali tidak menerapkan metode daring pun luring. Salah satunya adalah di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra).
Dia menceritakan, temuan FSGI menyimpulkan di Konawe Selatan tidak ada pembelajaran. Tak ada daring maupun luring. Ini karena internet susah kalau mau terapkan PJJ daring.
Sementara, kalau mau menerapkan PJJ luring juga kesulitan karena minimnya sarana transportasi. Belum lagi medan yang dilalui cukup berbahaya. “Sehingga selama tiga bulan itu mereka merdeka belajar,” imbuh Satriawan.
FSGI melakukan surveinya sejak 6 Juni–8 Juni 2020 terhadap 1.656 responden. Respondennya adalah guru/kepala sekolah/manajemen sekolah (yayasan) dari berbagai jenjang pendidikan yang berasal dari 34 Provinsi dan 245 kabupaten/kota di seluru wilayah Indonesia. Dari sini, dinilai ada kejomplangan kualitas pendidikan, jika persoalan ini dibiarkan begitu saja. Hal yang mendesak dilakukan, menurut FSGI adalah pemerintah segera memfasilitasi anak-anak yang kesulitan dalam menerapkan metode PJJ ini.

Dukungan Infrastruktur
Sebaliknya, pemerintah menyatakan bahwa persoalan koneksi internet tak lagi jadi masalah.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ahmad M Ramli mengatakan, sekitar 84% jaringan di Indonesia sudah fourth-generation technology atau 4G. Artinya, hanya sekitar 16% wilayah Indonesia yang tak memiliki sinyal internet yang bagus.
Adapun yang 16% itu adalah wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) di Indonesia. Penyebabnya, jumlah pelanggan operator kecil. Makanya, internet di wilayah ini belum memadai.
Kendati demikian, Ramli menyebut bawa pemerintah menargetkan pada 2021, ke semua wilayah itu akan memiliki jaringan internet yang bagus. Pemerintah akan membangun base transceiver station (BTS) atau stasiun pemancar di wilayah itu. Pemerintah juga mengajak para operator seluler atau operator internet lainnya untuk membangun BTS di wilayah 3T. Bila tak ada yang tertarik, pemerintah akan ambil alih menggunakan anggaran sendiri.
“Sekitar 16% ini juga bisa dikarenakan masih banyak hutan dan daerah tidak padat penduduk sehingga pengguna operator masih tergolong kecil,” kata Ramli, kepada Validnews, Senin (13/7).
Ramli mengakui bahwa untuk membangun BTS itu membutuhkan anggaran yang besar. Sayang, Ramli tak ingat persis jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan ini. Dia hanya memastikan bahwa pihaknya akan mengajukan anggaran ini dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan tahun 2020.
“Jadi nanti, kalau ada daerah yang menganggap sinyalnya jelek, tinggal koordinasikan dengan kami. Kami akan petakan daerah mana saja yang menjadi prioritas,” tegas Ramli.
Sebelum semua terbangun, pemerintah sudah berupaya untuk menunjang kebutuhan jaringan internet untuk proses belajar ini. Program untuk menggratiskan para pelajar mengakses internet sudah ada. Total anggarannya, sekitar Rp1,9 triliun.
Dalam melaksanakan program ini, setidaknya, pemerintah sudah bekerja sama dengan platform atau operator seluler sebagai penyedia jaringan tertentu untuk memberikan subsidi kepada para pelajar saat menggunakan internet untuk kegiatan belajar-mengajar.
Misalnya, Kemenkominfo bekerja sama dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) sebagai pemilik operator Telkomsel membuat program Ruang Guru untuk membantu proses belajar-mengajar para pelanggannya.
Ke depan, Ramli menyarankan kepada pemerintah daerah untuk membuat platform daring untuk kebutuhan belajar mengajar. Ini lebih pas ketimbang memberikan subsidi dalam bentuk uang kepada murid. Dia mengkhawatirkan, bila diberikan dalam bentuk uang, mereka tak menggunakan untuk belajar, melainkan mengakses situs lain hingga bermain game online.
Kekhawatiran ini beralasan. Apalagi jika merujuk data Digital 2020. Data ini menyebutkan, orang Indonesia rata-rata menghabiskan waktu bermedia sosial 3 jam 4 menit saban harinya. Hampir semua pengguna internet di Indonesia, atau 99%-nya juga gemar menonton video online. Dari semua pengakses, sebanyak 79% menonton video vlog. Mereka juga senang mengakses hiburan audio melalui internet.
Ini didukung kecepatan internet di Indonesia yang rata-rata mobile mencapai 13,83 Mbps. Sementara, kecepatan internet fixed di Tanah Air mencapai 20,11 Mbps. Ditilik dari data ini, jelas ada hal lain yang juga perlu dibenahi. Sumber daya manusia jelas salah satunya. (Restu Fadilah, James Manullang, Yanurisa Ananta)