c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

25 Februari 2019

20:32 WIB

TOD; Hindari Ribet, Mengurai Macet

Konsep TOD menjadi satu pengurai masalah perkotaan agar mobilisasi warga tak terganggu dan tergantung pada kendaraan pribadi

Editor: Agung Muhammad Fatwa

TOD; Hindari Ribet, Mengurai Macet
TOD; Hindari Ribet, Mengurai Macet
Ilustrasi. Transit Oriented Development (TOD) di kawasan Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Validnews/Agung Natanael

JAKARTA –  Akhir tahun 2018, Lita dan suami, menempati rumah 47 meter persegi yang dibangun sejak awal tahun. Tepatnya, dua pekan setelah mengikat janji sebagai pasangan suami-istri, ia memilih menempati hunian di sebuah perumahan di Cilebut, Kabupaten Bogor.

Jarak dari rumah menuju tempat dia bekerja terbilang jauh. Setiap hari, meski sudah memiliki mobil untuk keluarga barunya itu, Lita tetap harus menggunakan transportasi kereta commuter dari Stasiun Cilebut menuju kantornya di Cawang, Jakarta Timur.

Menurut wanita yang lahir tahun 1991 ini, dari rumah menuju Stasiun Cilebut cukup singkat. “Sekira 10 menit, dan kerap lembur hingga pulang malam, jadi saya memilih untuk tinggal dekat dengan stasiun,” tutur Lita, Senin (25/2).

Sementara, menempuh perjalanan dari rumah ke tempat kerja atau sebaliknya dengan kendaraan pribadi, Lita sudah tak mau lagi melakoninya. “Kapok,” cetusnya.

Waktu yang lama, jarak tempuh yang jauh ditambah biaya yang tak sedikit untuk bahan bakar mobil pribadi menjadi alasannya untuk kapok. Dengan angkutan umum seperti kereta api, ia tak harus terbebani lelah yang sangat setelah bekerja cukup lama.

Lain halnya dengan Fauzia, karyawan yang berkantor di sekitar gedung pencakar langit di Jalan MH Thamrin. Dengan alasan agar dekat dengan tempat dia bekerja, wanita yang sudah menikah tiga tahun ini, memilih tinggal bersama suami di sebuah apartemen di Gandaria, Jakarta Selatan. Wanita yang lahir tahun 1989 itu menuturkan, tinggal di apartemen karena dia ingin tinggal di kota dan mudah mengakses transportasi umum, dan pusat belanja.

Ditilik dari pernyataan kedua wanita itu, alasan mereka untuk menentukan tempat tinggal hampir mirip, yakni akses transportasi umum dari hunian. Lain halnya dengan orang tua Lita yang memilih tinggal di salah satu perumahan di Kabupaten Bogor. Meski jauh dari akses transportasi umum, mereka lebih memilih bepergian dengan kendaraan pribadi.

“Cerita mama, ia tak memusingkan transportasi umum karena sudah punya mobil pribadi untuk bekerja dan kepentingan lain,” urai Lita menjelaskan alasan orang tua memilih tempat tinggal.

Saat ini, sebagian besar masyarakat memang membutuhkan hunian yang tak sekadar memberikan akses transportasi nyaman ke pusat kota, tapi juga kawasan perkotaan dengan manajemen yang baik. Hal tersebut menjadi bekal penting untuk menciptakan solusi kawasan hunian.

Pengembangan akses transportasi, pun akhirnya mulai diimbangi dengan hunian yang terintegrasi dengan sistem transportasi. Kebanyakan, pengguna transportasi commuter saat ini, bertempat tinggal dengan jarak tertentu dari titik jalur transportasi. Jadi, masih membutuhkan moda transportasi lain menuju stasiun kereta listrik maupun terminal bus.

Kemacetan dan akses keterjangkauan, membuat hunian yang memiliki akses multimoda transportasi ini, akan menjadi solusi hunian masyarakat ke depan. Idealnya, dengan sebuah kawasan yang seperti ini, akan mampu memangkas biaya transportasi kaum komuter.

Ketergantungan Kendaraan
Tak heran, konsep hunian yang terintegrasi dengan transportasi massal atau Transit Oriented Development TOD), lambat laun menjadi tren baru dari pengembang. Hunian tersebut telah terintegrasi dengan stasiun, terminal, hingga bandara.

Sejatinya, konsep ini digagas Peter Calthorpe, pria warga negara Amerika yang mulai populer sejak dekade 1990-an. Pada 1989, Peter yang saat itu tinggal di San Francisco, mulai mengenalkan konsep pedestrian pocket (kantong pejalan kaki). Dalam konsep ini, aliran mobilitas warga seharusnya ramah terhadap pejalan kaki, memiliki simpul transit beragam moda transportasi, dan merupakan kawasan mixed-use (fungsi campuran).

Peter adalah alumni Yale School of Architecture yang juga pendiri Kongres Urbanisme Baru (CNU). Lembaga ini, sejak 1992 fokus untuk advokasi mempromosikan praktik pembangunan berkelanjutan. Tujuan CNU adalah merestrukturisasi kebijakan publik dan praktik pembangunan kawasan seharusnya dirancang baik untuk pejalan kaki maupun transit moda transportasi serta kendaraan pribadi.

Menurut Peter, perkotaan juga seharusnya memiliki ruang publik dan fasilitas umum yang mudah diakses siapa saja. Dia menilai rancangan perkotaan mesti memiliki nilai-nilai kesejarahan lokal, iklim, ekologi, dan praktik pembangunan yang tepat. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah penerapan konsep TOD, yang sekarang telah mengglobal.

Peter mempelajari, berdasarkan sejarah, hingga pertengahan abad ke-20, rata-rata kota di berbagai penjuru dunia dirancang sebagai kawasan fungsi campuran yang bisa dilalui sepenuhnya oleh pejalan kaki.

Namun, karena kemajuan teknologi, terutama dengan produksi massal kendaraan pribadi dengan harga yang jauh lebih terjangkau, orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Pola perancangan perkotaan juga mulai didominasi oleh praktik zonasi yang memisahkan antara kawasan residensial atau pemukiman, komersial, dan industri.

Akibat pemisahan tersebut, banyak orang yang terpaksa berjalan relatif lebih jauh daripada sebelumnya, untuk menuju tempat kerja atau tempat berbelanja kebutuhan sehari-hari. Salah satu dampak negatif yang muncul adalah ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi, daripada berjalan kaki atau menggunakan angkutan umum.

Dengan konsep TOD, diharapkan warga dapat tinggal di jalan raya yang bisa dilalui dengan berjalan kaki, sekaligus memadukan berbagai fungsi campuran properti antara residensial dan komersial. Selain itu, sejumlah prasarana dan bangunan penting seperti sekolah dan pertokoan juga mudah dicapai oleh masyarakat baik dengan berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan moda angkutan umum.

 Konsep ini dianggap sebagai solusi hunian di kota, karena menawarkan akses transportasi mudah dan solusi bagi kemacetan di kota besar yang makin parah kendaraan pribadi terus bertambah. Ketergantungan akan kendaraan pribadi cenderung meningkat di kota-kota besar Indonesia. Peningkatan ini akan berdampak negatif terhadap lingkungan.

Pergeseran Konsep
Di Jakarta, TOD menjadi salah satu pendekatan pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran. Sekaligus, meningkatkan penggunaan angkutan massal, seperti Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta atau MRT dan LRT. Serta dilengkapi sarana untuk pejalan kaki dan pengguna sepeda.

Dengan layanan tersebut perjalanan akan didominasi dengan menggunakan angkutan umum yang terhubungkan langsung dengan tujuan perjalanan. Selanjutnya tempat perhentian angkutan umum mempunyai kepadatan yang relatif tinggi dan biasanya dilengkapi dengan fasilitas parkir, khususnya parkir sepeda.

Hingga saat ini pengembangan TOD sangat maju dan telah menjadi tren di kota-kota besar khususnya di kawasan kota baru yang besar seperti Tokyo di Jepang, Seoul di Korea, Hongkong, Singapura, yang memanfaatkan kereta api kota serta beberapa kota di Amerika Serikat dan Eropa.

Untuk diketahui, persyaratan pengembangan dari TOD ini antara lain ketersedian lahan yang cukup pada simpul transportasi. Kemudian, perlunya pengembangan skema (KPBU) dalam penyediaan perumahan dan perlu pengembangan regulasi pusat dan daerah untuk mendukung TOD.

Berdasarkan jurnal “Penerapan TOD Sebagai Upaya Mewujudkan Transportasi Yang Berkelanjutan Di Kota Surabaya”, konsep ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang mengurangi ketergantungan tinggi terhadap kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan transportasi publik seperti bus, kereta api, angkutan umum, dan sebagainya.

Melalui promosi aksesibilitas dan mobilitas yang baik menuju titik-titik transit seperti stasiun, terminal, halte atau bus stop. Oleh karena itu, TOD berkaitan dengan upaya peruntukan lahan seperti perumahan, perdagangan jasa, dan sebagainya yang dipusatkan pada titik-titik transit atau simpul transportasi.

Konsep ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Seperti tertuang dalam Pasal 36 ayat 2 disebutkan pembangunan rumah umum harus mempunyai akses melalui pelayanan atau tempat kerja. Selaras pula dengan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Selain itu, TOD menjadi solusi untuk menangani kemacetan dari berbagai sisi. Seperti tertuang dalam instruksi Presiden Joko Widoo terkait percepatan penanganan kemacetan yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) Tahun 2018-2029.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menilai penanganan kemacetan lalu lintas secara terpadu akan mendukung pengembangan kawasan metropolitan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) yang lebih tertata. Sekaligus memberikan ruang lebih luas bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bisa tinggal dekat dengan tempatnya bekerja.

Seperti diketahui, saat ini pemerintah tengah menyelesaikan sejumlah infrastruktur untuk mendukung transportasi massal, seperti MRT (Moda Raya Terpadu) Ratangga, LRT (Light Rapid Transportation) dan jalan tol.  Tidak hanya pada integrasi transportasi, pemerintah mengarahkan juga ke pengembangan kota (urban development).

Kota seperti Jakarta, menurut Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) harus mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tengah kepadatan penduduk dan mobilitas perkotaan yang tinggi. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan terhadap pembangunan kota yang lebih baik dan lebih komprehensif.

Konsep pembangunan perlu diselaraskan dengan konsep penyediaan mobilitas bagi warganya. Dengan konsep penyediaan mobilitas perkotaan, berupa angkutan umum massal maka konsep pembangunan yang ada pun perlu disesuaikan. Tujuannya, agar berorientasi terhadap sistem angkutan umum yang telah ada maupun direncanakan. Konsep pembangunan inilah yang kemudian disebut sebagai Transit Oriented Development (TOD).

Menurut ITDP, ada tiga ruang lingkup kebijakan TOD yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Tiga ruang lingkup kebijakan terkait TOD tersebut antara lain, aksesibilitas menuju stasiun, intensitas pemanfaatan ruang, dan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi.

Penerapan TOD yang benar akan mencakup juga push strategy yang mendorong pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Sekaligus memaksa pengendara kendaraan untuk beralih ke angkutan umum, berjalan kaki, dan bersepeda.

Menyebar di Jabodetabek
Salah satu contoh kongrit, Kementerian PUPR bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memulai pembangunan proyek Rusunami TOD sejak April 2017, di Tanjung Barat dan Depok yang diperuntukkan bagi MBR dan non-MBR. Animo masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal tersebut juga tinggi. Hal tersebut membuat diluncurkannya kembali proyek TOD lainnya yakni di TOD Juanda, Tanah Abang, Rawa Buntu, Jurang Mangu dan Cisauk.

Konsep hunian TOD, kata Direktur Rumah Umum dan Komersial Kementerian PUPR Yusuf Hariagung, adalah bagian dari konsep smart living. Semua kehidupan terintegrasi dengan mudah dan semua fasilitas transportasi terhubungkan antara satu moda dan moda lainnya.

Sistem TOD ini juga dirancang untuk memudahkan masyarakat untuk beraktivitas, seperti kebanyakan masyarakat yang bekerja di Jakarta berdomisili di luar Jakarta, seperti Bogor, Cilebut, Citayam, Depok, Bekasi dan beberapa daerah pinggiran Jakarta.

Selama ini mungkin dari tempat tinggal ke pusat kota, orang harus menggunakan kereta atau angkutan umum. Nah, dengan TOD ini, hunian bakal terasa makin dekat dengan tempat kerja.

“Rancangan pemerintah, jarak antara TOD dan tempat kerja antara 400 hingga 800 meter saja,” tutur Yusuf kepada Validnews, Jumat (22/2).

Menurut Yusuf, sistem dari TOD ini tidak hanya di kota besar, tetapi di kota yang menengah atau kota masih tumbuh. Hunian yang dikembangkan menurut Yusuf bisa dalam bentuk landed house atau vertikal. Tetapi, karena keterbatasan lahan di perkotaan, di kota maka yang dipilih adalah hunian vertikal. Agar merata, pemerintah pun menjaga agar 20% dari tiap hunian vertikal itu bisa diakses MBR.

Yusuf mengatakan, PT Kereta Api Indonesia (KAI) sendiri sejatinya telah mendesain setidaknya 54 titik untuk di Jabodetabek menjadi kawasan TOD. Dia  merinci beberapa di antaranya, seperti di Pondok Cina, Tanjung Barat, Rawa Buntu. Lokasi baru yang akan dibuat di Kampung Bandan.

“Sebetulnya pemerintah membangun rumah susun (rusun) di Pasar Rumput, terintegrasi dengan pasar dan dekat terminal serta stasiun kereta. Ini merupakan konsep TOD,” imbuh Yusuf.

Singkatnya, lanjut Yusuf, pemerintah mengembangkan kawasan TOD, integrasi transportasi umum sebagai model penataan kota yang berkelanjutan. Dia lalu membagikan pengalaman saat menyambangi Singapura belum lama ini.

Yusuf kala itu tinggal di salah satu hotel. Satu hari, dia berencana ke sebuah rumah sakit. Dari hotel tempat dia tinggal, Yusuf hanya tinggal turun ke lobi yang sudah terintegrasi dengan stasiun MRT. Saat menuju rumah sakit yang dituju, dia turun di stasiun terdekat.

“Saya kaget, karena jaraknya hanya 100 meter dari stasiun MRT itu,” tutur Yusuf kepada Validnews, Jumat (22/2).

Hanya saja, saat ini ha mesti dipikirkan ke depan adalah percepatan perluasan pengembangan kawasan TOD. Investasi yang besar tentu membutuhkan partisipasi swasta, misalnya lewat skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Masalah lainnya, skema kerja sama ini tentu membutuhkan kepastian return investasi buat swasta. Jika konsep TOD yang mewajibkan ada alokasi untuk MBR, skema yang pasti dan bisa merangsang swasta, tentu dibutuhkan agar percepatan pembangunan kawasan terintegrasi transportasi benar-benar bisa terealisasi.  (Annisa Dewi Meifira)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar