c

Selamat

Jumat, 29 Maret 2024

NASIONAL

27 April 2021

20:44 WIB

THR, Kewajiban Yang Tak Terbantahkan

Setelah banyak mengucurkan stimulus kepada perusahaan yang terdampak pandemi covid-19, kini giliran pemerintah menagih pengusaha membayar THR tepat waktu

Editor:

THR, Kewajiban Yang Tak Terbantahkan
THR, Kewajiban Yang Tak Terbantahkan
Sejumlah pekerja mengantri saat pembagian Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran di pabrik rokok PT. Djarum, Kudus, Jateng, beberapa waktu lalu. FOTO ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

JAKARTA – Dalam hitungan hari, Lebaran tiba. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, persoalan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) kembali mengemuka. Kali ini bahkan makin terasa spesial mengingat selama setahun belakangan, banyak usaha yang harus paceklik tergerus pandemi. Meski demikian, ada juga potensi pandemi ditunggangi perusahaan demi terlepas dari kewajiban membayar THR.

Ya, pandemi tidak serta-merta membatalkan kewajiban perusahaan yang sudah bertahun-tahun dijalankan ini. Di momen Idulfitri 1442 H, para pengusaha kembali diwajibkan membayar THR secara penuh selambat-lambatnya 7 hari sebelum hari raya. Pengusaha yang membandel, dipastikan diganjar denda sebesar 5%.

Berkaca pada kondisi tahun lalu, skema pembayaran THR yang bisa dicicil sebagai imbas pandemi covid-19 kenyataannya memang tidak begitu efektif. Karena, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), masih ada 103 perusahaan yang menunggak pembayaran THR tahun kemarin.

Sikap abai ratusan perusahaan ini tentunya tidak sejalan dengan isi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016. Aturan itu tegas menyebut THR keagamaan adalah pendapatan nonupah yang wajib dibayarkan pengusaha pada pekerja atau buruh menjelang hari raya keagamaan. 

Bagi pemerintah sendiri, komitmen perusahaan membayar THR diperlukan, untuk menopang belanja masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional. Maklum, lesunya belanja masyarakat selama pandemi membuat perekonomian seolah lambat berputar.

Makanya, agar hak pekerja mendapatkan THR terpenuhi tepat waktu, pemerintah belakangan coba menitikberatkan perbaikan pada pengawasan. Salah satunya dengan memperkuat Posko THR 2021.

Di Posko itu dipastikan akan ada tim pemantau yang melibatkan unsur pemerintah, unsur serikat pekerja/serikat buruh dan unsur organisasi pengusaha yang duduk dalam keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional. Mereka bertugas memantau jalannya penyaluran THR 2021 sekaligus memberikan saran dan masukan kepada tim posko mengenai pelaksanaan tugas Posko THR 2021.

Sebagai bentuk keseriusan, Posko THR Keagamaan 2021 tidak hanya dibentuk di pusat, tetapi juga di daerah, baik di tingkat provinsi, maupun kabupaten atau kota. Harapannya sederhana, agar pelaksanaan koordinasi menjadi lebih efektif.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat, sebenarnya mengapresiasi langkah pemerintah membuat Posko THR yang melibatkan pihak-pihak terkait dalam tim pemantauan. Meski begitu, ia tetap sangsi dengan keseriusan petugas dinas ketenagakerjaan setempat dalam mengawasi jalannya pelaksanaan THR 2021.

"Bisa dijamin enggak para petugas dinas mengawasi? Kan katanya bipartit, terus dilaporkan ke dinas ketenagakerjaan setempat. Tapi bisa jamin enggak dia standby piket?" kata Mirah kepada Validnews, Minggu (25/4).

Ditambah lagi, lanjutnya, selau ada masalah pemerintah daerah yang sering mengeluhkan keterbatasan dana dan kapasitas petugas dinas, untuk melakukan pengecekan ke perusahaan. Dia mengamati, jumlah tenaga pengawas memang tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang ada di seluruh Indonesia.

Ketentuan Dialog
Mirah juga mengkritisi isi Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang THR Keagamaan 2021. SE tersebut justru dipandangnya berpotensi memberikan celah bagi perusahaan untuk mengakali membayar THR sesuai ketentuan.

Sebab dalam SE itu ada ketentuan, pengusaha dapat melakukan dialog dengan pekerja atau buruh untuk mencapai kesepakatan pembayaran THR yang dilaksanakan secara kekeluargaan dan dengan itikad baik.

"Dari awal kita sudah keras, karena di dalam surat edaran itu masih ada celah kuat untuk membuka peluang untuk pengusaha," kata Mirah.

Mirah juga mengaku khawatir ada oknum pengusaha yang tidak melaporkan kondisi keuangan internal perusahaan dengan sebenar-benarnya, sehingga merasa sah-sah saja melakukan penundaan THR. Terlebih lagi tidak semua perusahaan memiliki perwakilan atau serikat pekerja yang kuat, untuk mengawasi hal tersebut.

"Kalau menurut saya SE itu enggak usah diterbitkan. Karena itu tadi, dapat jadi pegangan atau ukuran rujukan dari pada pengusaha itu bisa 'disalahgunakan' membungkus surat edaran dengan mengatakan mereka tidak mampu," jelasnya.

Mirah mengatakan, pemerintah tidak belajar dari pengalaman tahun 2020 lalu yang juga mengeluarkan SE terkait THR. Saat itu tidak sedikit pengusaha menggunakan celah melakukan penundaan THR. Meski ketentuan penundaan sampai Desember 2020, kenyataannya masih ada perusahaan yang membayar THR di tahun 2021.

"Kemarin sampai ada salah satu restoran besar, itu juga THR baru dibayarkan di bulan April 2021. Itu pun juga setelah kita tarik ke kementerian, kita tarik pusat, kita ramaikan kasusnya," jelasnya.

Belum lagi, Ia juga kerap mendapat laporan dari pekerja atau buruh di luar federasinya yang masih belum mendapatkan THR sampai saat ini.

Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyo juga mengingatkan Kemenaker, untuk melakukan pengawasan dengan sungguh-sungguh. Petugas Posko THR selama ini diamatinya cenderung pasif.

Kebanyakan laporan yang ditindaklanjuti jika aduan berasal dari serikat pekerja atau buruh, bukan perorangan. Itu pun baru dilakukan setelah cuti bersama hari raya.

"Artinya kalau pun nanti ada hasilnya, buruh baru akan mendapatkan THR setelah hari raya," ujar Kahar kepada Validnews, Senin (26/4).

Kahar juga menilai pemberian sanksi yang ada selama ini tidak memberikan efek jera bagi perusahaan yang melanggar. Selain itu, pemberian sanksi administrasi terberat berupa pencabutan izin usaha juga menghadirkan dilema buat pemerintah, lantaran pekerja pula yang akan kena dampaknya.

"Nah, jauh lebih efektif kalau sanksinya bentuknya pidana. Jadi ancaman penjara yang ditujukan kepada oknum yang memerintahkan untuk tidak membayar hak buruh itu," jelas dia.

Sedikit berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati justru tidak terlalu mempermasalahkan mekanisme dialog seperti yang tertera di SE Pemberian THR Keagamaan 2021. Menurutnya, hal ini untuk mengantisipasi situasi adanya pengusaha yang belum mampu membayar THR. Jadi, pengusaha terkait tidak mengambil keputusan secara sepihak.

"Harus dikomunikasikan dengan serikat pekerja perusahaan tersebut dan menghadirkan dinas tenaga kerja ataupun instansi ketenagakerjaan pemerintah yang terkait," tuturnya kepada Validnews, Minggu (25/4).

Hanya saja, menurut Mufida kondisi tersebut lebih tepat untuk perusahaan menengah ke bawah, seperti Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang masih berat membayarkan THR penuh. Dinas tenaga kerja dirasanya perlu memfasilitasi adanya dialog antara pekerja dengan perusahaan sampai diperoleh titik temu.

"Itulah tugas Kemenaker melakukan pengawasan untuk mengantisipasi kalau-kalau di tengah-tengah pandemi ini masih ada perusahaan level menengah ke bawah yang masih berat untuk melakukan pembayaran THR. Pengawasannya harus sampai sejauh sana," tuturnya.

Fungsi Posko
Mufida juga meminta seluruh elemen yang terlibat dalam Posko THR berkolaborasi memantau segala permasalahan yang ada. Jangan sampai Posko THR tidak berjalan sebagaimana fungsinya atau sekedar ada.

"Ada posko, tapi nanti ketika ada kasus tidak bisa tertangani. Nah, ini kita yang tidak mau," kata dia.

Ia berharap pemerintah dapat melakukan pengawasan secara maksimal dan menjadi fasilitator yang objektif ketika ada kasus-kasus yang perlu ditangani antara perusahaan dan karyawannya.

"Saya harap pemerintah benar-benar menjamin hak THR para pekerja itu terbayarkan oleh perusahaan-perusahaan," kata dia.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Adi Machfudz, mendorong perusahaan, terutama yang tidak terdampak pandemi covid-19, untuk membayar penuh THR 2021. Sebab, rata-rata perusahaan besar diyakininya sudah mencadangkan alokasi THR tersebut dari jauh-jauh hari.

Namun, seperti halnya Mufida, dia berharap ada kelonggaran bagi pengusaha di sektor tertentu yang belum mampu membayar THR penuh akibat terdampak pandemi covid-19.

"Kelonggaran yang dimaksud adalah mengembalikan kepada hubungan bipartit, yaitu antara pengusaha dan pekerja," kata Adi kepada Validnews, Senin (26/4).

Ia meminta pemerintah tidak hanya melihat secara parsial dari sisi pengusaha-pengusaha besar. Akan tetapi melihat sektor-sektor terdampak, seperti UMKM. Kemudian sektor-sektor lain seperti pariwisata, perhotelan, restoran, hingga retail yang cukup terdampak akibat pandemi ini.

"Jangankan membayar THR, mampu mempertahankan karyawan saja sudah sangat luar biasa," jelasnya.

Apalagi klaim stimulus bantuan kepada perusahaan yang terdampak, kata dia, juga sulit didapatkan oleh pengusaha.

"Faktanya juga kita mengajukan katakanlah relaksasi perbankan yang diberikan pemerintah. Jika kita mengajukan kredit investasi dengan kondisi pandemi covid-19 ini justru malah sulit. Saya kira perbankan juga menahan, tetapi di sisi lain kekhawatirannya juga karena tidak menentunya pertumbuhan ekonomi kita," jelas Adi.

Menanggapi hal ini, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah sendiri mengakui, ada beberapa perusahaan yang sudah menyampaikan ketidakmampuannya membayar THR tepat waktu dan membutuhkan relaksasi yang lebih panjang.

Namun, ia mengingatkan, pemerintah saat ini sangat membutuhkan dukungan pengusaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi, imbuhnya, pemerintah juga telah banyak memberikan stimulus kepada perusahaan yang terdampak.

"Kami sangat berharap setelah pemerintah banyak memberikan insentif serta kemudahan-kemudahan, sekarang teman pengusaha bisa membayar THR," jelas Ida, dalam konferensi pers virtual, Senin (26/4).

Untuk memastikan pekerja memperoleh haknya, Ida meminta serikat pekerja dan pengusaha terlibat dalam upaya memantau secara langsung posko THR. Pemantauan ini dilakukan secara periodik sehingga akan terlihat progres pembayaran THR yang terlapor di Posko THR di pusat maupun provinsi. Saat ini, kata dia, Posko THR telah tersedia di 34 provinsi seluruh Indonesia.

Adapun mekanisme pengawasannya, Kemenaker setelah menerima pengaduan dari Posko THR, secara periodik membuat atensi pemeriksaan kepada kepala dinas ketenagakerjaan provinsi. Selanjutnya memerintahkan pengawas ketenagakerjaan melakukan pemeriksaan pelaksanaan pembayaran THR tahun 2021.

Pengawas ketenagakerjaan kemudian akan mendorong pengusaha maupun pekerja melakukan dialog, untuk pelaksanaan pembayaran THR keagamaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan menyesuaikan dengan kondisi perusahaan.

Apabila terdapat perusahaan yang tidak mampu melaksanakan pembayaran THR keagamaan H-7, maka harus dibuat kesepakatan terkait jangka waktu dengan dengan ketentuan minimal H-1 Lebaran.

Pengusaha yang tidak membayar THR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka Gubernur, Wali Kota hingga Bupati memberikan sanksi kepada perusahaan yang bersangkutan berupa sanksi administratif dan denda. (Seruni Rara Jingga, Maidian Reviani, Wandha Nur Hidayat)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER