c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

16 Juli 2018

21:55 WIB

Sulitnya Memproteksi Kursi Legislasi Perempuan

Keterwakilan perempuan di parlemen masih sebatas pemenuhan administratif-prosedural saja

Sulitnya Memproteksi Kursi Legislasi Perempuan
Sulitnya Memproteksi Kursi Legislasi Perempuan
Sejumlah anggota DPR perempuan saat pelantikan anggota DPR periode 2014-2019 di Gedung Paripurna DPR/MPR, Jakarta, 1 Oktober 2014. Validnews/Don Peter

JAKARTA – Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (13/7) lalu, menambah deretan nama anggota DPR perempuan yang tersandung kasus korupsi. Dari penelusuran Validnews, Eni Maulani Saragih menjadi anggota parlemen perempuan ke sembilan yang harus berurusan dengan KPK terhitung sejak tahun 2010.

Ironisnya, pemberitaan OTT Eni ini terjadi di penghujung periode pendaftaran calon legislatif (caleg) dari partai politik (parpol) untuk pemilihan umum (Pemilu) tahun 2019 mendatang. Di tengah derasnya keinginan pelbagai pihak agar parpol mencermati pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Awalnya kebijakan ini memang hanya berupa imbauan. Belum ada sanksi bagi parpol yang tidak berhasil memenuhinya. Namun, kondisinya jelas berbeda saat ini di mana kebijakan afirmatif ini harus dipenuhi parpol. Ada sanksi bagi mereka yang tidak menjalankannya.

Pada prinsipnya, kebijakan afirmasi adalah bentuk perjuangan demi menjamin kesetaraan bagi kelompok-kelompok yang termarjinalkan. Iris Marion Young, dalam tulisannya Justice and the Politics of Difference memandang, kebijakan ini memang perlu, utamanya bagi perempuan.

Perempuan dalam masyarakat patriarki, digolongkannya sebagai kelompok yang tertindas sehingga memerlukan jaminan dan perberdayaan untuk mengubah kondisi itu. Untuk itu, Iris Marion Young menilai penting bagi perempuan untuk masuk dalam dunia politik dan terlibat dalam pengambilan kebijakan.

Hak khusus perwakilan bagi perempuan dengan demikian harus diperluas. Sebab mereka cenderung dirugikan dalam proses politik sehingga perlu disediakan sarana institusional untuk pengakuan eksplisit dan perwakilan kelompok tertindas.

Sejak penerapannya di Indonesia, kebijakan afirmatif ini memang telah berhasil meningkatkan angka keterwakilan perempuan di parlemen hingga 3%. Angka ini terus meningkat ke angka 18% di tahun 2004—2009.

Ironisnya, peningkatan perempuan di parlemen nyatanya belum mampu mendorong percepatan penyelesaian RUU PRT/ART yang belasan tahun mandek pembahasannya di DPR. Lalu, beberapa RUU terkait perempuan lainnya, seperti RUU TKI dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga masih mengantre pembahasannya. Jika demikian, di mana letak permasalahannya?

Vote Getter
Kebijakan Afirmatif bagi keterwakilan perempuan menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik, memang sudah mulai diterapkan sejak Pemilu 2004, seperti yang dirumuskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003. Namun, pada praktik awalnya memang hanya sebatas ajakan saja. Meski begitu sanksi sosial tetap diberlakukan dengan mengumumkan kepada publik parpol mana yang tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut.

Baru tahun 2009, KPU mulai menyusun adanya sanksi di Peraturan KPU (PKPU) dengan menerapkan sistem zipper. Sistem ini secara detail mengatur tentang penempatan satu orang perempuan di antara tiga calon yang diajukan. Penempatan perempuan dalam pemenuhan kuota keterwakilan 30% pun juga secara jelas diatur dalam petunjuk teknis (juknis) yang dikeluarkan KPU.

Sanksi tegas diberikan bagi parpol yang tidak dapat memenuhi kebijakan afirmatif ini. KPU akan langsung menolak daftar caleg dari parpol yang tidak memenuhi 30% kuota keterwakilan perempuan. Dengan demikian, mau tidak mau parpol harus mengurangi jumlah caleg laki-lakinya. Atau, berusaha mengejar kuota perempuan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan undang-undang dan diterangkan dalam juknis KPU.

“Pada prinsipnya sebenarnya afirmasi ini kan tujuannya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik. Hal ini penting karena banyak kepentingan perempuan dan anak yang perlu diperjuangkan yang tentunya dalam pikiran dan rasa itu hanya perempuan yang bisa menjelaskan dan mengetahui hal itu,” ungkap Evi saat ditemui Validnews, Jumat (16/7).

Menurut Evi, parpol seharusnya juga tidak perlu selalu mengalami dilema ketika menjalankan afirmasi ini. Pasalnya, kebijakan ini telah dijalankan sejak tahun 2004. Pemberlakuan sanksi pun diberikan secara bertahap sehingga telah melalui proses sosialisasi sebelumnya. Untuk itu, menurutnya parpol seharusnya telah lama mempersiapkan diri.

KPU menurutnya telah memberikan waktu kurang lebih delapan bulan bagi parpol sebelum proses verifikasi berlangsung. Parpol harapannya dapat mempersiapkan dari jauh hari sebelumnya terlebih untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan ini. Persiapan misalnya, dapat dimulai dengan menyiapkan kadernya yang sudah ada dalam kepengurusan partai baik di pusat, provinsi, hingga kabupaten.

Namun, keinginan KPU untuk membangun norma yang diwajibkan dalam undang-undang (terkait keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol dari pusat hingga kabupaten) ditolak. Padahal menurut Evi, norma ini justru dapat menolong parpol memenuhi kewajiban pemenuhan 30% kuota perempuan di parlemen. Sistem ini diharapkan dapat membantu parpol menjaring kader perempuan dari kepengurusan parpol nantinya.

“Kalau ini sebenarnya dilakukan, mereka (parpol.red) nantinya sudah punya data potensi-potensi orang yang bisa direkrut dengan mudah dan cepat menjadi caleg,” ujar Evi.

Namun kembali, menurutnya ini semua berpulang pada visi parpol untuk keterwakilan perempuan ke depannya. Ia berharap, tidak ada lagi perdebatan terkait kebijakan afirmasi ini. Baik peserta, parpol hingga semua pihak menurutnya harus memiliki pandangan yang sama akan aturan ini.

Peraturan KPU telah berupaya menjaga agar mereka yang terpilih benar-benar memiliki kapasitas yang mumpuni untuk menempati jabatan publik itu. Akan tetapi terkait seleksi, peranan yang besar sepenuhnya ada pada parpol. Dengan beragam kepentingan yang mereka miliki, disadari memang caleg yang mampu menjadi vote getter kerap dipilih oleh parpol.

Sebatas Pemenuhan Administratif
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI, Hurriyah menyatakan, dari pengamatan yang dilakukan pihaknya selama satu dekade terakhir, memang terlihat bahwa parpol masih memandang kebijakan afirmatif terkait 30% kuota keterwakilan perempuan dalam parlemen ini sebagai aturan administratif.

“Jadi untuk memenuhi syarat undang-undang saja. Ya pokoknya asal ada, asal comot. Akhirnya ya gak jelas yang diajukan,” ujar Hurriyah saat ditemui langsung oleh Validnew, Jumat (16/7).

Pun ketika perempuan itu direkrut, Hurriyah mencermati minimnya pelatihan yang diberikan untuk mereka. Pembekalan justru banyak dilakukan oleh lembaga di luar parpol bekerja sama dengan lembaga internasional lain yang memiliki perhatian tentang pemberdayaan perempuan. Terang, ini memperlihatkan minimnya perhatian parpol pada keterlibatan perempuan.

Diakui Hurriyah, upaya untuk mengadvokasi perempuan yang dilakukan oleh berbagai kelompok perempuan ini masih belum maksimal. Selama ini, kebijakan afirmatif yang ada hanya memberikan sanksi moral bagi parpol yang tidak berhasil memenuhi kebijakan itu.

Selain nihilnya sanksi bagi parpol (yang tidak berhasil memenuhi 30% kuota perempuan.red), pada praktiknya keterwakilan perempuan di DPR cenderung fluktuatif. Belum pernah mendekati angka 30%. Bahkan di tahun 2014 jumlahnya menurun sebanyak 1% dari tahun sebelumnya, menjadi 17,32%.

Ada beberapa faktor yang menurut Hurriyah menjadi penyebab masih fluktuatifnya angka partisipasi perempuan di legislatif ini. Salah satu faktornya, adalah penetapan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2008 yang menetapkan keterpilihan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak. Putusan ini memberikan tantangan yang semakin berat bagi perempuan dalam kontestasi ke kursi parlemen.

Padahal di luar itu, Hurriyah menilai sudah ada banyak hambatan yang harus dihadapi seorang caleg perempuan baik secara struktural maupun kultural. Secara struktural perempuan masih tergolong terbelakang dari segi ekonomi dan pendidikan. Di banyak daerah hambatan kultural juga masih menjadi persoalan di mana diskriminasi masih sering terjadi.

Hambatan politik juga datang dari internal partai. Partai dipandang kurang memberikan dukungan bagi kaum perempuan, mulai dari dukungan dana hingga akses jaringan. Praktis menurutnya, caleg prempuan seperti harus berjuang sendiri. Padahal disadari masalah finansial memang menjadi hambatan bagi caleg perempuan. Berbeda dengan caleg laki-laki yang cenderung gambling, ia melihat caleg perempuan lebih berhati-hati soal uang.

Sedang dari segi akses jejaring, caleg perempuan harus menghadapi tarik-menarik yang kuat dalam proses penetapan daerah pemilihan (dapil) di dalam parpol. Dari riset yang dilakukan Puskapol sebelumnya, ditemukan sejumlah caleg perempuan terpaksa dilepar ke dapil yang bukan menjadi basis mereka. Hal ini jelas merugikan. Sebab menurut Puskapol, konstituen adalah salah satu kunci keberhasilan caleg perempuan dalam pemilu.

Selain itu, Hurriyah juga melihat adanya penurunan antusiasme masyarakat terhadap caleg perempuan. Kasus korupsi yang menjerat sejumlah anggota legislatif perempuan tidak dapat dimungkiri menjadi salah satu pendorong merosotnya dukungan masyarakat terhadap caleg perempuan saat ini.

“Walau kalau kita melihat faktanya, presentase jumlah laki-laki yang terlibat korupsi itu masih lebih tinggi dibandingkan perempuan. Tapi ini kan diopinikan sedemikian rupa menjadi caleg perempuan tidak lebih baik tuh,” kata Hurriyah.

Kasus-kasus itu memang diakuinya telah mencoreng semangat awal dari gerakan peningkatan partisipasi perempuan di parlemen dan politik secara keseluruhan. Perempuan tadinya diharapkan dapat menghadirkan politik yang lebih substantif karena diyakini lebih bersih. Ironisnya, kasus-kasus ini mengubah persepsi positif masyarakat sehingga mereka tidak lagi memandang kehadiran prempuan penting di parlemen.

Masyarakat pun disadari tidak hanya melihat track record kelam yang ditorehkan oleh mereka yang kini masuk bui, atau masih ada di kursi pesakitan. Efektivitas kerja juga dilihat dari produk yang dihasilkannya. Pasalnya berbanding terbalik dengan peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen, pengesahan undang-undang menyangkut kepentingan kaumnya dapat dibilang masih minim.

Padahal jika mengacu pada pandangan Hanna Pitkin yang menulis The Concept of Representation, sebenarnya ada dua hal yang bisa dicermati ketika bicara tentang keterwakilan politik perempuan. Pertama memang dari keberadaannya dalam parlemen yang tergambar dalam kuota atau jumlahnya. Sedang yang kedua secara substantif dilihat dari kepentingnnya yang hadir dan disuarakan dalam parlemen.

Akan kondisi itu, Hurriyah menilai memang masih ada masalah dalam tubuh DPR saat ini. Utamanya, ketika perempuan yang duduk di kursi parlemen itu ternyata memiliki pandangan yang sangat maskulin. Jumlah mereka memang cenderung meningkat. Akan tetapi, cara berfikir dan paradigmanya tidak memiliki keberpihakan kepada perempuan.

Kapasitas yang minim, diakuinya masih menjadi akar permasalahan dari lemahnya pengaruh perempuan di parlemen saat ini. Terlebih ketika diketahui data Pemilu 2014 lalu memang menunjukkan caleg yang memiliki jaringan kekerabatan dengan elite politik lebih banyak dipilih oleh masyarakat.

Hurriyah menyebutkan, ketika basis keterpilihannya itu lebih banyak karena hubungan kekeluargaan, ya kita juga sulit berharap. “Sebab yang terjadi kemudian adalah mereka cenderung mengikuti apa kata partai,” ujarnya.

Meski demikian, Hurriyah menilai sebenarnya ada perbaikan di tengah berbagai hambatan dan masalah yang ada terkait partisipasi perempuan ini. Ada perjuangan perempuan dalam beberapa undang-undang yang dihasilkan baru-baru ini. Salah satunya, adalah undang-undang terkait BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

Hurriyah juga masih meyakini ada semangat pembuktian diri pada sebagai perempuan yang menempati jabatan politik. Terhadap suatu isu utamanya yang menyangkut kepentingan kaumnya dan mereka yang termarjinalkan, menurutnya perempuan cenderung akan memiliki satu suara. Sebab, perempuan menurutnya secara umum memiliki masalah dan tantangan yang sama.

Adanya pandangan masyarakat yang menilai kebijakan afirmasi sebagai kursi gratis bagi perempuan patut disayangkan. Dengan pandangan itu, perempuan di parlemen kemudian terus dituntut untuk bisa menunjukkan prestasinya. Sayangnya, masyarakat tidak menuntut hal yang sama pada laki-laki yang ada di parlemen. Persentase laki-laki yang terjerat kasus korupsi yang lebih besar dari perempuan seakan diabaikan. Sedang ketika yang terciduk perempuan, langsung menjadi sorotan.

Tantangan Kualitas
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada Validnews, Senin (16/7) beranggapan posisi perempuan dalam parlemen belum maksimal. Alih-alih berpartisipasi memperjuangkan kepentingan perempuan, yang justru terjadi adalah perempuan menjadi yang paling rentan di parlemen.

“Hanya sebagai angka saja selama ini. Ketika dari substansi saya kira kelompok perempuan yang terpilih itu belum bisa menunjukkan punya peran untuk memperjuangkan perempuan di parlemen,” ujar Lucius.

Secara umum dia mengatakan bahwa persoalan keterwakilan perempuan yang ditetapkan paling sedikit 30% pada saat penyusunan calon legislatif (caleg) sejauh ini masih sebatas pemenuhan administratif-prosedural saja.

Pada saat proses penyusunan caleg, memang ada keharusan bagi partai untuk menyertakan caleg perempuan dalam daftar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam konteks itu, Lucius mengatakan ada kemajuan luar biasa dalam konteks keberpihakan terhadap perempuan yang ditunjukkan oleh peraturan-peraturan yang semakin memperhatikan keterwakilan perempuan.

Akan tetapi, sejauh ini jaminan keterwakilan perempuan yang diatur dalam proses pendaftaran caleg tak otomatis menjamin hasil pemilihan tetap mencerminkan proporsi 30% tersebut.

Dikatakan Lucius, ada kesulitan ketika pemilihan umum (pemilu) dilakukan secara langsung, keputusan diserahkan sepenuhnya pada jumlah suara yang diberikan oleh pemilih. Karenanya, keterwakilan perempuan 30% itu tidak bisa dijamin akan terjawab melalui mekanisme pemilihan langsung. Keterwakilan perempuan hanya bisa dijamin sampai pada proses pencalonan saja.

“Oleh karena itu, masalahnya bukan sekedar laki-laki atau perempuan saja, tetapi lebih pada kualitas masing-masing individu caleg,” katanya.

Sebagaimana juga terjadi pada rekrutmen caleg laki-laki umumnya, perekrutan caleg perempuan juga sering dilakukan “last minutes”. Banyak dari caleg yang bukan merupakan kader. Dalam banyak kasus, perempuan direkrut sekadar untuk memenuhi kuota yang diwajibkan.

Setelah terpilih, di DPR sendiri kaum perempuan ada yang masih belum memperlihatkan kualitas personal yang mengagumkan. Dampak dari lemahnya kaderisasi membuat sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perempuan terlibat dalam kasus korupsi. Situasi tersebut membuat upaya atau perjuangan mempertahankan keterwakilan perempuan 30% itu tercederai. Orang lalu merasa tak ada bedanya laki-laki dan perempuan dalam hal integritas.

Tak Merata
Tidak bisa dimungkiri, diaturnya keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif merupakan salah satu upaya mengakomodasi hak perempuan dalam berpolitik. Walaupun kehadiran perempuan di parlemen sudah cukup lama, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartika Sari kepada Validnews, Kamis (12/7), mengatakan harus ada ketegasan yang lebih lagi.

Dian mengungkapkan KPI sangat mendukung kebijakan yang mengatur keterwakilan perempuan paling sedikit 30% dalam politik. Organisasi sosial perlindungan perempuan dan anak ini memang menjadi yang paling depan dalam mengusulkan pengaturan pasal keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu.

Salah satu pasal yang diyakini akan memperkuat keterwakilan perempuan itu adalah Pasal 246 ayat 2. Bunyinya, “Di dalam daftar bakat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat paling sedikit 1 (satu) orang perempuan bakal calon”.

“Kalau tidak sesuai dengan sistem itu maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) berhak menolak calon sehingga parpol suka tidak suka harus mematuhi ketentuan itu. Artinya, di proses seleksinya parpol terpaksa harus memenuhi ketentuan itu, sehingga calon anggota legislatif perempuan memiliki peluang untuk menang,” ungkapnya.

Menurut Dian, dengan bertambahnya jumlah anggota perempuan di DPR, kepentingan perempuan mulai terakomodasi dengan lebih baik. Hal ini terlihat dari empat UU yang disahkan dalam periode ini, salah satunya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Kebijakan ini memberikan ketentuan spesifik tentang pelarangan beberapa praktik diskriminasi terhadap perempuan disabilitas, seperti sterilisasi paksa.

Kemudian, UU Nomor 7 Tahun 2016 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang mengakui keberadaan perempuan sebagai nelayan, UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang memberikan perlindungan terbaik untuk perempuan pekerja migran.

“Yang terakhir ya UU Pemilu itu yang mengatur keterwakilan perempuan. Artinya, secara spesifik pengintegrasikan perspektif keadilan perempuan tampak di dalam beberapa UU. Hanya saja, situasi lain yang dibutuhkan UU itu belum direspons oleh dewan,” terang Dian.

Dikatakan Dian, bukan hanya keterwakilan perempuan saja yang harus ditingkatkan. Tetapi lebih daripada itu, bagaimana perempuan yang duduk di sana bisa memperjuangkan hak perempuan. Guna mendorong peningkatan isu perempuan, Dian berpendapat perempuan yang layak menjadi anggota DPR RI adalah mereka yang paham isu strategis perempuan dan mampu mempengaruhi peraturan perundang-undangan yang sedang diproses.

“Hanya memang, anggota dewan yang perempuan sebagian besar terkonsentrasi di Komisi VIII dan IX sehingga di Komisi I, II dan III sangat sedikit. Jadi, beberapa isu yang harusnya diatur dalam UU tidak terpecah karena memang itu dibahas oleh komisi yang jumlah perempuannya sangat sedikit,” ujar Dian menyayangkan.

Saat ini, dari 97 anggota perempuan, paling banyak memang menempati Komisi IX dan X yaitu sebanyak 18 orang, disusul Komisi VIII sebanyak 12 orang. Sementara, di komisi lainnya tidak sampai 10 orang. Bahkan, di Komisi III hanya ada 3 anggota perempuan. Jumlah anggota perempuan belum mencapai 30% di masing-masing komisi dan belum merata.

Dari banyaknya kendala utama, ada pula biaya kampanye yang cukup besar dianggap menjadi salah satu penyebabnya.

“Satu orang untuk bisa menjadi anggota dewan itu rata-rata membutuhkan dana 800 juta sampai 1,5 miliar. Ada yang lebih dari itu. Karena dia harus menjangkau sangat luas daerah dan itu butuh biaya kampanye,” katanya.

Padahal, kalau dari sisi tanggapan masyarakat trennya menunjukkan kepercayaan pemilih terhadap kepemimpinan politik perempuan itu membaik. Hal ini mengacu pada hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) sebelumnya. Menurut Dian, tren ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan jumlah anggota perempuan agar keadilan dan kesetaraan gender semakin terakomodasi.

Bertolak belakang dengan Dian, Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat Imelda Sari kepada Validnews, Senin (16/7) mengatakan penempatan perempuan di sejumlah komisi sudah sesuai dengan latar belakang masing-masing anggota.

Bukan berarti jumlah perempuan dalam komisi bisa dikatakan tidak merata. Hal ini kembali kepada latar belakang dan kemampuan masing-masing anggota. Menurut Imelda, tentulah penempatan ini sudah melalui pertimbangan yang matang. Bahkan ada kader perempuan yang menduduki posisi pimpinan, seperti Wakil Ketua Komisi III Erma Suryani Ranik atau Nurhayati Ali Assegaf yang pernah menjabat ketua fraksi Demokrat.

“Partai Demokrat adalah salah satu partai yang saya kira konsisten soal kuota 30% itu sejak Pemilu 2004, 2009, 2014 bahkan dan saat ini kami tentu berusaha kuota perempuan itu terpenuhi. Bukan hanya itu, sebenarnya kami juga mengharapkan kuota perempuan di parlemen terpenuhi secara seimbang juga yang duduk di parlemen,” ungkap Imelda.

Saat ini, Demokrat memang berada di posisi kedua persentase perempuan terbanyak di DPR RI, berimbang dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yaitu 21%. Demokrat memiliki 13 anggota perempuan dari total 61 anggota, sedangkan PKB memiliki 10 anggota perempuan dari total 47 aanggota. Kedua partai ini tepat di bawah persentase partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yaitu 26% atau 10 dari 39 total anggota.

Imelda menyampaikan, untuk memenuhi keterwakilan paling sedikit 30%, Demokrat memilih kader perempuannya dengan berbagai pertimbangan.

Pertama, mereka yang loyal kepada partai. Kemudian, mereka yang sudah menunjukkan kinerjanya selama ini di partai dan juga ada kontribusinya kepada partai dalam bentuk kegiatan dan aktivitasnya mengikuti kegiatan-kegiatan partai. Lalu yang paling penting juga adalah mereka yang bisa mewakili dan merepresentasikan suara kaum perempuan di wilayah masing-masing.

Anggota DPR dari Partai Golkar Rambe Kamarul Zaman juga memastikan kalau partainya telah mencalonkan kader perempuan yang mumpuni sebagai calon legislatif. Mereka, dijelaskannya, telah melalui penyaringan kader yang dilakukan oleh Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) dan organisasi perempuan lain yang ada di bawah naungan partainya. 

Hanya saja menurutnya, penting seorang kader perempuan memiliki pemahaman mengenai fungsi dasar DPR. Pemahaman terkait pembentukan undang-undang, pengawasan pembangunan dan kebijakan, hingga menetapkan anggaran APBN harus dimiliki oleh seorang anggota legislatif baik laki-laki maupun perempuan. Baginya, laki-laki dan perempuan memiliki fungsi dan tugas yang sama di DPR.

Ia mengklaim Golkar memiliki kader perempuan yang banyak. Oleh karena itu, ia menilai partainya tidak memiliki hambatan dalam memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebagai mana yang telah diatur undang-undang.

Meski demikian, ia menolak berkomentar terkait masalah korupsi yang baru-baru ini menyeret kader perempuan dari partainya. Sebagian besar parpol pun demikian. Menilai ini hanya kebetulan. (Bernadette Aderi, Elisabet Hasibuan)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar