12 Oktober 2018
18:41 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Pertengahan tahun 2004 silam, bangsa ini sempat dihebohkan dengan sebuah prediksi dari sebuah kantor berita di Amerika Serikat, Associated Press (AP). Pada saat itu, AP menyebutkan Indonesia sebagai The Next Heaven of Pornography setelah Rusia dan Swedia. Alasannya karena Indonesia memiliki keleluasaan dan kemudahan dalam mengakses konten porno.
Belasan tahun setelah prediksi tersebut dilontarkan, faktanya konten pornografi semakin merajalela di Tanah Air. Pesatnya perkembangan teknologi turut memberi kemudahan masyarakat mengakses tayangan yang tidak senonoh itu.
Bukan hanya itu saja, berdasarkan data yang dihimpun oleh End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia tahun 2018, angka konsumsi konten pornografi masyarakat Indonesia mengkhawatirkan. Dari hasil survei situs penyedia video dewasa asal Amerika yang telah ditelusuri oleh ECPAT Indonesia, Indonesia menempatiperingkat dua terbanyak pengaksesan konten video porno di dunia.
Peredaran video porno di Indonesia ini telah tumbuh bak virus yang sulit diobati. Bahkan, keberadaannya juga telah meracuni anak-anak di bawah umur. Mereka dengan mudah dapat menonton dan mengunduh video porno.
Padahal pornografi diketahui dapat menyebabkan adiksi bagi para penggunanya. Ketergantungan film porno merupakan perilaku kompulsif yang dapat mengganggu kehidupan normal seseorang, apalagi bagi anak.
Untuk memerangi hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) baru-baru ini telah menerapkan sebuah sistem keamanan agar peredaran pornografi dapat tersaring atau dikendalikan. Selain itu, semua konten yang berbau pornografi secara otomatis dapat terblokir jika ditemukan, dan masyarakat tidak akan dapat mengaksesnya.
Kendati demikian, penerapan sistem tersebut dianggap oleh beberapa pihak belum sempurna. Mimpi negara dalam memerangi pornografi dianggap belum optimal dalam proses implementasinya. Klaim 95% pemberantasan konten pornografi di internet yang telah dilakukan oleh Kemenkominfo, tak sesuai fakta lapangan.
Beberapa pihak mengamati pembatasan peredaran pornografi baru terjadi Google saja, belum termasuk aplikasi-aplikasi lainnya di internet. Makanya, program Kemenkominfo ini dianggap belum merata.
SiberKreasi
Sebagaimana tulisan Validnews berjudul Strategi Sumir Negara Tangkal Konten Porno, walaupun Kemenkominfo mengaku telah berusaha secara optimal untuk memerangi konten pornografi di internet, akan tetapi mereka pun tak menafikan bahwa peredaran konten pornografi tidak dapat dihilangkan 100%. Mereka juga mengatakan bahwa program yang telah mereka lakukan sejauh ini belum merata.
Dalam menangkal konten porno Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani Kemenkominfo menargetkan browser yang penggunaannya besar seperti Google dulu. Bila sudah teratasi, baru pihaknya menyasar pada browser pemindai lainnya.
“Kita akan mengumpulkan bukti-buktinya terlebih dahulu untuk browser atau aplikasi yang lain. Kita akan bekerja sama denganstakeholder yang memiliki Cyber Patrol,” ujar kepada Validnews, Senin (8/10).
Menurut Semuel, sifat internet pada hakikatnya sangat terbuka. Oleh sebab itu, mustahil untuk memberantas pornografi hingga akar. Jaringan internet, dikatakannya saling tersambung dengan web yang sangat besar di seluruh belahan dunia ini.
Konten-konten berbau pornografi akan terus muncul selagi internet masih ada di negara ini. Oleh sebab itu, hal yang dapat dilakukan Kemenkominfo hanya sebatas berusaha mengendalikannya. Itu pun, terangnya, memerlukan peran masyarakat juga.
Bagi Semuel, jika ingin memerangi pornografi, seluruh elemen dari pemerintah dan masyarakat harus memiliki visi dan misi yang selaras.
Dia merasa untuk masyarakat kebanyakan upaya pencegahan Kemenkominfo saat ini telah membuat mereka kesulitan untuk mengakses konten porno. Tapi kalau orang itu memang memiliki niatan, seumpama ia adalah pedofil, pasti segala cara akan tetap diupayakan.
“Nah inilah yang kita perangi. Kita kerja sama dengan polisi, kita kerja sama dengan masyarakat. Masyarakat juga harus berpartisipasi,” tegas Semuel.
Secara teknologi, pemerintah disebutkan Semuel telah berusaha semaksimal mungkin untuk menangkal konten pornografi, sesuai dengan amanat undang-undang (UU). Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang menyebutkan, bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi.
Kemenkominfo pun sejauh ini telah melakukan berbagai upaya. Selain upaya memblokir, pihaknya juga telah menegaskan kepada beberapa pihak aplikasi atau media sosial (medsos) besar terkait hal ini. Namun tetap saja, dikatakan Semuel, Kemenkominfo tidak dapat mencegah kelahiran-kelahiran konten pornografi di dalamnya.
“Kami hanya dapat mendorong. Tapi kelahiran pornografi pasti muncul, tidak dapat dicegah apalagi jika yang mengunggah adalah orang asing. Tapi kami akan tegas kepada pihak terkait jika memang sudah kelewat batas,” lanjut Semuel.
Dikatakan Semuel, sebetulnya setiap aplikasi atau medsos raksasa itu memiliki fitur laporan masing-masing. Oleh sebab itu, masyarakat juga harus sadar, jika memang ditemukan konten yang berbau pornografi, masyarakat dapat langsung melaporkannya. kepada Kemenkominfo atau lembaga terkait.
Semuel menyebutkan, saat ini yang harus dibenahi sebetulnya adalah pola pikir masyarakat. Masyarakat harus dapat diarahkan cerdas menggunakan internet. “Apalagi jika menyangkut soal anak, peran orang tua sangat dibutuhkan,” kata Semuel.
Untuk itulah, sejak 2017 Kemenkominfo telah melakukan sinergi kerja bersama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk menggiatkan advokasi dan edukasi literasi digital atau SiberKreasi secara komprehensif dan berkelanjutan.
Hingga saat ini, Kemenkominfo bahkan telah menggandeng 90 komunitas atau lembaga yang berasal dari pemerintah, akademisi, LSM, pebisnis, persatuan artis, komunitas kreator konten, dan Key Opinion Leaders (KOL).
Berdasarkan evaluasinya, hingga Oktober 2018 ini, SiberKreasi diklaim telah menjangkau 115,800 peserta aktif, mengadakan 268 kegiatan, dan menelurkan 87,744 pengunduh 21 Buku Seri Literasi Digital yang tersedia untuk publik secara gratis di berbagai daerah.
Salah satu tema yang ada dalam SiberKreasi sendiri ialah digital parenting. Tema ini adalah usaha mewujudkan orang tua bijak era digital, perlindungan anak di internet, dan keluarga bijak berinternet.
“SiberKreasi ini telah dilaksanakan menyentuh sekolah, komunitas, dan orang tua. Jadi intinya, jika dunia internet kita ingin berkembang, peran masyarakat sangat diperlukan. Untuk itu kami mohon masyarakat agar juga aktif dalam melaporkan konten-konten tersebut,” tegasnya.

Proteksi Playstore
Banyaknya celah untuk mengakses konten pornografi menunjukkan masih perlunya beberapa siasat dalam rangka menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut. Terlebih, sejauh ini pemerintah secara teknologi baru melakukan penyaringan konten pornografi melalui situs Google saja.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia Suci Fadhilah, sebetulnya ada kemungkinan pemerintah dapat melakukan proteksi pada fitur Google Play Store dan App Store.
“Sangat mungkin melakukan proteksi di play store. Kalau pemerintah indonesia mau berbirokrasi dengan Google Play Store atau App Store maka beberapa aplikasi tertentu, khususnya yang mengandung konten pornografi dapat tidak bisa diunduh di Indonesia,” jelas Suci kepada Validnews, Rabu, (10/10).
Langkah ini disebutnya dapat meminimalkan akses masyarakat untuk menikmati konten pornografi, khususnya anak-anak yang saat ini rata-rata telah memiliki gawai. Dikatakan Suci, dalam menangani persoalan pornografi anak diperlukan kerja sama antar pihak. Kemenkominfo atau pemerintah tidak bisa berkerja sendiri.
Dia juga menyarankan agar masyarakat aktif melaporkan ketika menemukan celah untuk mengakses konten pornografi agar dapat segera ditangani oleh pemerintah. Dengan kata lain, menurutnya perlu kesadaran masyarakat untuk paham akan dampak pornografi, khususnya terhadap anak-anak.
Hal senada disampaikan Anggota Komisi I DPR Mohamad Arief Suditomo. Dirinya berharap pemblokiran situs porno dapat terus dilakukan secara berkala, termasuk aplikasi yang dapat dengan mudah didapatkan di gawai melalui Playstore.
“Kemenkominfo melakukannya bertahap, dari pemblokiran di mesin pencari kemudian ke depan fokus kepada aplikasi,” katanya kepada Validnews, Rabu (10/10).
Politisi Hanura ini juga meminta kepada Kemenkominfo untuk menggunakan kewenangannya secara maksimal, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 26 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pada pasal tersebut dijelaskan jika Kemenkominfo bisa meminta pertanggungjawaban kepada penyelenggara sistem elektronik apabila terdapat konten negatif.
Dirinya tidak menampik kalau perkembangan teknologi telah menjadi kendala tersendiri dalam menangkal konten pornografi di Indonesia. Ia mencontohkan, saat ini di mesin pencarian memang sudah tidak dapat diakses konten negatif, tapi masyarakat masih dapat mencari konten porno melalui media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter dengan cara menggunakan tagar (tanda pagar).
“Inilah yang menjadi PR bersama pemerintah, karena di medsos (media sosial) kebanyakan konten pornografi dimiliki perorangan, satu diblokir dapat dengan mudah membuat akun baru,” ungkapnya.
Dirinya menyatakan, pemerintah Indonesia sebenarnya mampu membuat mesin pencari sendiri untuk memudahkan penangkalan konten porno. Akan tetapi kehadiran mesin pencari sendiri itu harus diimbangi dengan cyber army. Jika tidak maka hasilnya akan sama.
“Semua kan tergantung political will dan ketersediaan anggaran. Selama ini anggaran untuk filtering saja masih relatif kecil dan belum ada anggaran untuk cyber army,” tutupnya.
Ketahanan Keluarga
Disebutkan oleh Komnas Perlindungan Anak, saat ini Indonesia telah sampai pada level “tsunami teknologi”. Sebab sekitar 47% dari sekitar 200 juta pelanggan internet di Indonesia mengonsumsi pornografi karena banjirnya situs-situs porno yang dapat diakses di internet.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengapresiasi kebijakan yang dibuat oleh Kemenkominfo. Akan tetapi karena “tsunami teknologi” kadung membanjiri Indonesia, bagi Arist tidak dapat menjawab masalah.
Oleh sebab itu, Arist berpendapat, meski kebijakan Kemenkominfo melakukan pemblokiran hal yang tidak salah, namun hal itu tidak seharusnya dijadikan satu-satunya jawaban untuk mengatasi persoalan agar anak terhindar dari bahaya pornografi di Indonesia.
Pencegahan disebutnya seharusnya dibangun atas dasar ketahanan keluarga yang kebal dari pengaruh-pengaruh teknologi yang tidak baik. Kemudian keluarga juga harus mengajarkan kepada anak-anaknya untuk menggunakan informasi yang didapat dari teknologi secara cerdas dan cermat. “Jadi, bukan melarang,” ujarnya kepada Validnews, Senin (8/10).
Selain itu, Arist berpendapat seharusnya negara dapat menyiapkan regulasi yang dapat mengajarkan anak untuk belajar mengendalikan diri dalam menggunakan medsos. Misalnya, pengaturan ketentuan usia anak dalam menggunakan medsos.
“Karena anak tetap memiliki hak untuk mendapatkan informasi sesuai perkembangannya itu adalah hak asasi manusia yang diatur di Konvensi PBB Tentang Hak Anak,” pungkasnya kepada Validnews.
Jadi, dengan kata lain setiap anak tidak boleh dilarang mengakses medsos. Arist menyebut, anak memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang seimbang, yang benar dan yang mengedukasi. Nah, salah satu negara yang dapat menjadi referensi terkait pengendalian medsos adalah Singapura.
Arist menyampaikan, di negara tersebut anak berusia 13 tahun dapat mengakses medsos, namun tidak bisa mengakses konten pornografi. Ia menyebutkan jika ketika anak membeli gawai, ia telah didaftarkan seperti melalui satelit.
“Jadi bukan dilarang, namun mengendalikan. Anak ketika mengakses informasi yang tidak sesuai dengan perkembangannya itu langsung otomatis ditolak karena telah terdaftar,” kata Arist.
Arist juga menuturkan perlunya pendidikan seks sejak usia dini. Akan tetapi, untuk hal ini dia lebih sepakat untuk menyebutnya dengan pendidikan mengenal fungsi organ-organ seksualitas atau reproduksi yang dapat dilakukan dalam diskusi keluarga.
“Seperti bagaimana mereka menjaga organ-organ seksualitas yang mereka miliki masing-masing, bagaimana paham akan fungsinya secara sehat. Jadi bukan untuk hal yang di luar dari sepemahaman mereka,” lanjutnya.
Senada dengan Arist, Psikolog Anak dari Universitas Indonesia Intan Erlita berharap agar ada upaya alternatif, selain pemblokiran situs pornografi, seperti pendidikan seks sejak usia dini di keluarga. Menurutnya, akan lebih bahaya jika anak mengetahui persoalan seks dengan mencari tahu sendiri dengan cara browsing di Internet.
“Lingkungan (pendidikan seks.red) yang kedua adalah sekolah. Kemudian lingkungan yang ketiga adalah pendidikan agama,” tegas Intan
Menurutnya dengan fondasi agama yang kuat, anak akan memiliki moral dan mental yang baik. Selain itu, orang tua perlu mendampingi anak-anaknya ketika sedang menggunakan gawai agar anak-anak terus terawasi.
Tak hanya itu, Intan turut berharap agar pemerintah perlu bekerja sama dengan instansi terkait, seperti dengan para ahli terbaik untuk melakukan penyuluhan pendidikan seks. Jadi bukan hanya sebatas melakukan pemblokiran. Hal ini diperlukan untuk mengatasi kendala bilamana orang tua tidak mengetahui bagaimana untuk mengajarkan pendidikan seks sejak usia dini kepada anaknya.
“Jadi memang semua lini harus bergerak,” papar Intan.
Aspek Pencegahan
Kasus pornografi tidak dapat dimungkiri semakin santer terjadi di Tanah Air. Mirisnya, kasus ini marak terjadi di tengah kehidupan anak-anak. Berangkat dari konten pornografi, bahkan berimbas pada pornoaksi yang dilakukan anak. Beberapa kasus masih sering ditemukan, walaupun pemerintah mengklaim telah memblokir 95% konten pornografi.
Sebagai contoh kasus pemerkosaan yang terjadi di Provinsi Jambi. Beberapa ahli mengatakan, bahwa penggunaan gawai dan kecanduan pornografi kemungkinan menjadi salah satu penyebab kasus pemerkosaan kakak kandung berinisial AA (18) kepada adiknya berinisial WA (15).
Ditemui oleh Validnews, Jumat (5/10), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) membeberkan tentang mudahnya seseorang mengakses segala konten di era digital ini.
“Sebenarnya semua sudah tahu, sekarang betapa mudahnya menerima informasi dalam apapun bentuk konteks dan kontennya,” ujar Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak KPPPA, Lenny Nurhayanti Rosalin, Jumat (5/10).
Lenny juga menjelaskan, ada 83,4 juta jiwa anak yang harus dijaga dan dilindungi lantaran sudah semakin kentaranya dunia pornografi dan berlaku kepada semua usia. Oleh sebab itu, pencegahan dan pelayanan yang diberikan juga harus berbanding maksimal.
Berdasarkan survei KPPPA yang disampaikan Lenny, diketahui tidak ada lagi daerah yang bebas atau steril dari isu pornografi bagi anak, baik itu yang disebabkan oleh pornografi online, prostitusi online, ataupun cybercrime. Sebab, di tahun 2017 saja, 65,34% anak usia 9 sampai dengan 19 tahun telah memiliki gawai.
Dikatakan Lenny, terdapat 63.066 paparan pornografi melalui Google, Instagram dan news online lainnya. Sementara, berdasarkan data unit Cybercrime Bareskrim Polri 2017 yang diterima KPPPA, ada 435.944 ip address yang mengunggah dan mengunduh konten pornografi anak.
“Oleh karenanya, kita harus hadir dalam upaya melindungi anak Indonesia. Anak merupakan generasi masa depan bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Adapun upaya dari pihak KPPPA dalam melakukan pencegahan terhadap pornografi bagi anak-anak terdiri dari lima aspek. Aspek pertama adalah keluarga.
KPPPA mengincar keluarga dengan cara membentuk program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga). Puspaga sendiri bertujuan sebagai tempat pengaduan, konseling dan pemberian solusi atau penyelesaian mengenai persoalan terkait, keluarga, perempuan dan anak serta tujuan akhirnya adalah meningkatkan kualitas keluarga.
Aspek kedua melalui lingkungan. KPPPA mengimplementasikan Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA) sebagai instrumen pencegahan tersebut. Terdapat pula Program Puskesmas Ramah Anak, Program Sekolah Ramah Anak, dan Rute Aman Selamat ke dan dari Sekolah (RASS), serta berbagai program lain yang berfokus pada upaya pencegahan melalui pemenuhan hak-hak anak di manapun mereka berada.
Keempat, melalui sekolah dalam membentuk Sekolah Ramah Anak. Terakhir, melalui regional atau wilayah, yang mana salah satunya mengimplementasikan Kota Layak Anak (KLA) khususnya di bidang pengasuhan, kesehatan dan pendidikan.
Tidak hanya pencegahan, KPPPA juga melakukan upaya pelayanan ketika didapati korban seksualitas atau tindak pornoaksi, yakni pelayanan pengaduan, pelayanan kesehatan, pelayanan bantuan hukum, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial. Dalam hal ini, KPPPA tidak bekerja sendirian, setidaknya ada empat Kementerian dalam menanggulangi permasalahan tersebut.
“Baru-baru ini kami mengadakan pertemuan dengan empat kementerian; Kemendikbud, Kemenkominfo, Kemenag, dan Kementerian PPPA. Kami saling berkoordinasi satu sama lain untuk menangani pornografi itu sendiri. Kalau tugas Kementerian PPPA, hanya menyosialisasikan sesuai strategi kita,” ujar Lenny.
KPPPA sendiri tidak menyalahkan Kemenkominfo ketika konten pornografi masih dapat diakses oleh anak-anak. Bagi Lenny, nyatanya peran keluarga atau orang tua sangat diperlukan.
Orang tua harus mengajarkan anak-anak mereka terkait beberapa hal keilmuan sedari dini. Misalnya mengajarkan beberapa ilmu dari segi kesehatan dan psikologis khususnya. Selain itu juga pencerdasan dari keluarga, sekolah dan lingkungan.
“Tetapi, bagaimana bagi yang tidak punya keluarga? Jadi, ini berarti adalah tugas semua orang dewasa dalam memberikan hal-hal tentang edukasi pornografi,” tuturnya.
Jika ditinjau melalui hal spiritual, ada kaitannya tentang agama, yang mana lagi-lagi peran kelurga menjadi momok dalam perubahan pola tingkah anak.
“Intinya komunikasi kepada anak. Hal sederhananya ketika orang tua atau guru tidak melihat konten pornografi, tapi Tuhan melihat itu semua. Nah yang seperti ini harus ditanamkan,” tutupnya.
Lebih lanjut, KPPA mendorong Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) menjadi pengawal terdepan bagi pemerintah untuk mengatasi permasalahan terkait pornografi.
PATBM merupakan strategi yang digagas KPPPA. PATBM merupakan gerakan perlindungan anak yang dikelola oleh sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah (desa/kelurahan). Melalui PATBM, masyarakat diharapkan mampu mengenali, menelaah, dan mengambil inisiatif untuk mencegah dan memecahkan permasalahan. (Fadli Mubarok, Dana Pratiwi, Fajar Setyadi, Fuad Rizky)