18 Juli 2017
10:59 WIB
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA –Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka dalam kasus e-KTP. Bila dikaitkan dengan posisinya sebagai Ketua Umum (ketum) Partai Golkar, penetapan ini menjadikan dirinya sebagai ketum partai politik (parpol) keempat yang jadi tersangka.
Perubahan status Setnov menjadi tersangka sebenarnya tak mengejutkan. Ini didasari penyebutan nama Setnov dalam dakwaan jaksa terhadap pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri, Andi Narogong, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Bahkan sudah sejak bulan April 2017 lalu, KPK juga sudah mencekalnya ke luar negeri.
Ironisnya, sejak KPK didirikan pada tahun 2002 silam, lembaga anti rasuah ini telah menangkap tiga ketum parpol. Pertama, Presiden Partai Keadilan Sejahtera Periode 2009-2014 (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq jadi tersangka kasus dugaan suap impor sapi di Kementerian Pertanian.
Ada pula, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang saat itu jadi Menteri Agama, Suryadharma Ali (SDA) ditetapkan tersangka dalam kasus korupsi penyelenggaran haji 2012-2013. Lalu, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka karena dugaan gratifikasi Hambalang.
Dalam beberapa waktu belakangan, KPK memang tengah fokus dalam menyelesaikan dugaan kasus korupsi megaproyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Kala itu, Setnov masih menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar Periode 2009-2014. Pada perkembangannya, Senin (17/7) KPK akhirnya menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka.
Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
“KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri," kata Ketua KPK Agus Rahardjo seperti yang dikutip dari Antara, di Gedung KPK, Senin (17/7) kemarin.
Saat penganggaran dan pelaksanaan KTP itu berlangsung, SN sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar dan berperan melalui seorang pengusaha bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Saudara SN melalui AA (Andi Agustinus) diduga memiliki peran baik dalam proses perencanaan dan pembahasan anggaran di DPR dan proses pengadaan barang dan jasa KTP-E. SN melalui AA diduga telah mengondisikan peserta dan pemenang pengadaan barang dan jasa KTP-E," tambah Agus.
Kehancuran DPR
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus Penetapan status Setnov meruntuhkan wibawa dan harga diri parlemen menjadi hancur lebur.
Ironisnya, peristiwa ini terjadi kala DPR tengah membuka kisah dan narasi baru mencoba mengalihkan kisah buruh yang dilekatkan masyarakat ke DPR melalui Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK.
Setnov merupakan Ketua DPR pertama yang ditangkap oleh KPK. KPK seacara konstisten tetap menunjukan hukum tidak tebang pilih dalam penetapan status seseorang menjadi tersangka.
“Upaya DPR membuat narasi baru soal KPK yang horror, langkah ini kalah cepat dengan upaya KPK mencomot Setya Novanto untuk ditetapkan secara tersangka,” kata Lucius kepada Validnews, Selasa (18/7).
Sekarang ini, kata dia, secara rutin anggota DPR terjerat kasus korupsi. Hal ini membuat gerak naik kasus korupsi mencapai puncaknya dengan penetapan Setnov. Artinya, hal ini menunjukan korupsi sangat massif diseluruh lini parlemen.
“Bisa saja dilakukan oleh semua, sangat mungkin dengan melihat pola ini,” ucapnya.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan kemungkinan ketua DPR RI Setya Novanto diganti setelah ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi KTP elektronik merupakan hak partai politik untuk menggantinya atau tidak.
"Dalam UU No 17 tahun 2014 mengatur, anggota DPR RI yang tersangkut kasus hukum, kalau yang bersangkutan masih melakukan upaya hukum lanjutan dan belum ada putusan yang inkrach, maka tetap sebagai anggota DPR RI," katanya.
Menurut Fadli Zon, kalau anggota DPR RI itu menduduki jabatan sebagai pimpinan, maka posisinya tergantung pada sikap partai politik atau fraksinya. Jika fraksinya tetap memberikan keleluasaan kepada pimpinan, kata dia, maka tidak ada masalah sebelum ada putusan hukum yang final dan mengikat atau inkrach, kecuali partai politiknya mengajukan penggantian.
Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham menegaskan partainya menunggu surat resmi dari Komisi Pemberantasan Korupsi terkait penetapan tersangka Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi KTP Elektronik, sebelum menentukan langkah selanjutnya.
Hal itu menurut dia, juga terkait langkah hukum yang akan diambil DPP Partai Golkar kedepan pasca penetapan status Novanto tersebut. Ia menjelaskan, pihaknya akan mempelajari dasar-dasar pertimbangan secara hukum seperti apa dan partainya akan menentukan langkah-langkah hukum selanjutnya seperti menempuh pra-peradilan.
Idrus juga menegaskan Golkar memiliki sistem yang kuat dan efektif sehingga penetapan status hukum terhadap Novanto tidak akan mempengaruhi kinerja DPP Partai Golkar. Ia melanjutkan, Golkar tetap dalam posisi sebagai partai politik pendukung pemerintah dan mendukung Joko Widodo sebagai calon presiden 2019.
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid menegaskan bahwa partainya menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah sehingga secara psikologis partainya terpengaruh atas penetapan status tersangka Novanto. Namun, secara organisasi, penetapan status Novanto itu tidak akan mengganggu atau menghalangi program konsolidasi Golkar dalam menghadapi kompetisi politik yaitu Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Politisi Golkar Ahmad Doli Kurnia mengusulkan seluruh perangkat DPP Partai Golkar segera melakukan rapat guna mempersiapkan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) pasca penetapan Setya Novanto sebagai tersangka oleh KPK.
"Jadi tidak ada jalan lain DPP dengan semua perangkatnya termasuk Dewan Pembina, Dewan Kehormatan, dan Dewan Pakar harus segera melakukan rapat untuk mengambil sikap mempersiapkan Munaslub," ujar Doli seperti dikutip Antara.
Doli mengatakan seluruh kader Golkar merasa prihatin atas ditetapkannya Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik. Sebagai kader yang memiliki komitmen yang tinggi harus lebih mengedepankan kepentingan yang lebih besar bagi partai, bangsa, dan negara.
Menurutnya, hal itu perlu dilakukan demi penyelamatan partai. Sebab faktanya, dalam tiga bulan terakhir ini, setiap kali ada persidangan dan pemeriksaan saksi, nama SN selalu disebut dan secara otomatis pasti Golkar tersandera dan terbawa-terbawa negatif.
Mengutip laman CNNIndonesia.com nama Setnov sering disebut-sebut dalam pelbagai kasus korupsi lain.
Kasus Pengalihan Hak Tagih Bank Bali (1999) kasus ini mencuat setelah Bank Bali melakukan transfer Rp500 miliar lebih kepada PT Era Giat Prima milik Setya Novanto, Djoko S. Tjandra, dan Cahyadi Kumala. Pengalihan hak piutang (cassie) PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara (BDNI) diduga merugikan negara Rp904,64 miliar.
Lalu kasus Penyelundupan Limbah Beracun (B3) di Pulau Galang, Batam (2006) nama Setya terseret dalam kasus penyelundupan limbah bahan beracun berbahaya (B3) yang ditemukan di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau seberat 1.149 ton. Setya diduga berperan sebagai negosiator dengan eksportir limbah di Singapura.
Kasus Beras Impor Ilegal (2006) Setya Novanto diperiksa KPK selama 10 jam oleh KPK sebagai saksi atas tersangka Direktur Utama PT Hexama Finindo Gordianus Setyo Lelono dan mantan Direktur Penyidikan dan Penindakan Dirjen Bea Cukai Sofyan Permana.
Dalam perkara yang ditangani Kejaksaan Agung kala itu, Setya diperiksa sebagai saksi dalam perkara impor ilegal 60.000 ton beras dari Vietnam. Kerugian negara diperkirakan sebesar Rp122,5 miliar.
Lalu di kasus Korupsi Proyek PON Riau (2012) Setya Novanto pun pernah diperiksa KPK sebagai saksi atas tersangka Gubernur Riau, Rusli Zainal, terkait proyek pembangunan sarana dan prasarana PON 2012. KPK sempat menggeledah ruang Setya di lantai 12 Gedung DPR kala itu.
Terkait kasus suap Ketua MK (2014) KPK pun pernah memeriksa Setya Novanto atas dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi yang menyeret pula hakim konstitusi Akil Mochtar. Setya yang kala diperiksa adalah Bendahara Umum Golkar itu diperiksa KPK pada awal 2014 sebagai saksi untuk mantan Ketua MK, Akil Mochtar. Ia diperiksa sebagai saksi dalam dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang terkait sengketa pemilihan kepala daerah di MK. (James Manullang)