c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

30 Juli 2018

17:51 WIB

Sejarah Perintis Ibadah Haji Nusantara

Orang-orang Nusantara pertama yang naik haji berasal dari kalangan para pedagang, diplomat, dan musafir

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Sejarah Perintis Ibadah Haji Nusantara
Sejarah Perintis Ibadah Haji Nusantara
Jamaah Haji asal Aceh Besar di Jeddah, Makkah tahun 1884. C Snouck Hurgronje

JAKARTA – Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima dan bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslimin sedunia. Ibadah ini menjadi suatu tindakan atau amalan yang wajib dilakukan, utamanya bagi mereka yang mampu melaksanakannya.

Secara etimologi kata haji sendiri berasal dari bahasa arab ‘Al-Haj’, yang memiliki arti datang atau berkunjung. Pada agama Islam, makna melakukan ibadah haji sendiri bermakna datang ke Baitullah (Makkah) dan melakukan ibadah-ibadah tertentu di sana. Di mulai dari berpakaian ihram, lalu berdiam (wuquf) di Arafah, dilanjutkan dengan melontar jumrah di Mina, tawaf, kemudian sai, dan diakhiri dengan mencukur rambut (tahallul).

Ibadah haji ini berbeda dengan ibadah-ibadah wajib bagi umat muslim lainnya, seperti salat, puasa Ramadan dan zakat. Ibadah ini merupakan kewajiban umat Islam satu-satunya yang terikat oleh waktu dan tempat.

Seorang muslim bisa melakukan salat di masjid, kantor, rumah, atau wilayah manapun berdasarkan waktu yang telah ditentukan, begitu pula puasa dan zakat. Sedangkan ibadah haji hanya sah apabila seorang muslim menjalankannya di Makkah dan tempat-tempat yang tercakup dalam ikatan tersebut. Ibadah ini juga hanya sah dilaksanakan pada bulan Zulhijah (bulan keduabelas dan terakhir dalam penanggalan hijriah).

Pelaksanaan ibadah haji ke Makkah secara historis mulai muncul sejak disebarkan di masa Nabi Ibrahim. Namun, dikutip dalam Historiografi Haji Indonesia (2012) karya Saleh Putuhena, ibadah ini sesungguhnya telah muncul bahkan sejak nabi Adam diturunkan ke Bumi.

Saleh menuliskan, Nabi Adam telah melaksanakan ibadah haji dengan cara tawaf (mengelilingi kakbah) setelah membangunnya di Makkah. Barulah, Nabi Ibrahim bersama putranya, Ismail, setelah membangun kembali Kakbah diberikan petunjuk tentang tata cara pelaksanaan Haji.

Ibadah ini pun menjadi sempurna setelah doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim terkait amalannya agar diterima dan ketundukan anak cucunya kepada Tuhan telah dikabulkan.

“Ibrahim dan putranya itu kemudian diperintahkan oleh Allah untuk melakukan tawaf dalam rangka melaksanakan haji. Nabi Ibrahim pun diperintahkan oleh Allah untuk menyeru manusia agar melaksanakan Haji ke Baitullah,” tulis Saleh.

Seiring dengan muncul dan sempurnanya ibadah haji pada tahun 4 Hijriah (625 M), hasrat muslim untuk menunaikan haji menjadi besar. Hal itu juga berlaku untuk muslim di Nusantara, sejalan dengan perkembangan Islam yang mulai tumbuh dan menjamur.

Tak ada catatan sejarah yang tahu persis muslim Nusantara pertama yang berangkat haji. Diperkirakan sejak agama Islam mulai dianut oleh penduduk Nusantara, umat Islam juga sudah melakukan perjalanan haji ke Makkah mengingat haji merupakan rukun Islam dan merupakan kewajiban bagi semua umat Islam bagi yang mampu menjalankannya.

Hanya saja mengutip pendapat seorang indolog, profesor etnologi dan sejarah Hindia Belanda di Batavia, Bertram Johannes Otto Schrieke, lewat buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (2013) yang disusun Azyumardi Azra, disebutkan bahwa orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat kehadirannya di dekat barat laut India sejak awal abad XII.

Schrieke juga menyatakan pada tahun 1440 M, telah ditemukan orang-orang Nusantara di Hormuz. Hal yang sama disampaikan oleh Ibnu Bathuthah dalam tulisannya. Dia menemukan orang-orang Jawa (Nusantara) di antara kalangan pedagang asing di Kalikut, di pantai Malabar pada tahun 1346 M.

Akan tetapi sebenarnya sumber konkret paling tua terkait aktivitas haji orang Indonesia diketahui dari laporan Lewis Barthema (Ludivico Varthema). Berdasarkan laporan Lewis, diketahui bahwa para pedagang, diplomat, dan musafir penuntut ilmulah di Nusantara-lah yang memulai melaksanakan ibadah haji. Mereka melaksanakan ibadah haji di tengah tugas dan pekerjaan masing-masing dari abad ke-16 hingga ke-17. Mereka dapat dikatakan sebagai angkatan perintis haji Indonesia.

Lewis yang berjuluk Gentlemen of Rome, yang mengadakan perjalanan haji ke Makkah dengan menyamar sebagai seorang muslim, pernah melihat jamaah haji Nusantara berlabuh di Jeddah pada 1503 (abad ke-16). Mereka adalah pelayar dan pedagang yang berlabuh di Jeddah dan berkesempatan untuk berkunjung ke Makkah.

“Armada perdagangan Nusantara yang lolos dari hadangan Portugis, mereka menuju ke Jeddah yang pada masa itu lebih berfungsi sebagai pelabuhan niaga, bukan sebagai pelabuhan haji. Dan, mereka berkesempatan untuk melaksanakan haji,” tulis Saleh merujuk laporan Lewis.

Selain pedagang, pada abad tersebut juga diketahui seseorang melaksanakan haji lantaran punya kepentingan diplomasi. Diplomat Nusantara yang pertama kali melakukan hal ini ialah Syarif Hidayatullah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati.

Saleh mengetahui nama tersebut merujuk pada sumber-sumber tradisional Jawa. Sumber-sumber itu menyebutkan, pasca-kota kelahirannya, Pasai, ditaklukan oleh Portugis pada 1521, Sunan Gunung Jati berada di Kota Suci tersebut selama tiga tahun. Di masa itulah dia melaksanakan rukun Islam kelima, haji.

Awalnya, keberangkatan Sunan Gunung Jati ke Makkah sebagai seorang diplomat untuk meminta bantuan Turki Utsmani mengusir Portugis dari Pasai. Pada saat itu, Makkah memang tengah berada dalam kekuasaan Turki.

Menuntut Ilmu
Mulai Abad XVII, barulah bermunculan jejak orang Indonesia yang berkunjung ke Hijaz atau Jeddah dengan maksud untuk belajar di Makkah dan Madinah. Dua kota tersebut memang lumbung ilmu pengetahuan dunia Islam. Salah satu yang menuntut ilmu adalah Muhammad Yusuf, atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan Syaikh Yusuf (1306-1376H/1626-1699 M).

Syaikh Yusuf merupakan seorang ulama tarekat, penulis dan pejuang yang berasal dan lahir di Makassar, Kerajaan Gowa.  Setelah tamat mengaji, Yusuf melanjutkan pendidikannya dengan belajar ilmu fikih, bahasa Arab, dan tasawuf dari Sayid Ba’Alwi bin Abdullah, seorang Arab, di Pondok Batoala. Selain itu ia juga murid dari Jalaluddin al-Aidid, seorang Aceh.

Yusuf berangkat ke Hijaz pada tahun 1649 M. Berdasarkan sumber-sumber lontara (naskah dari lontar.red), rute perjalanan Yusuf ke Hijaz, yakni melewati rute Ceylon atau Srilangka saat masih masa penjajahan Inggris. Sementara menurut Azyumardi, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (2013), rute yang dilewati oleh Yusuf menuju Hijaz adalah Gujarat.

Sebelum menuju Madinah untuk memperdalam ilmunya di Masjid Nabawi, Yusuf pun singgah di Makkah dan melaksanakan ibadah haji terlebih dahulu. Di Madinah, ia menjadi murid Ibrahim al-Kurani, seorang ulama yang ahli dalam bidang ushul fiqh, hadis, dan tasawuf.

Ulama lain yang ikut merantau untuk menuntut ilmu sambil melaksanakan haji adalah Abdurrauf Singkel (1035-1105 H/1615-1693 M). Waktu itu, karena kedalaman ilmunya, Abdurrauf bahkan diberikan kepercayaan untuk mengajar di Makkah dan Madinah.

Selain Yusuf dan Abdurrauf Singkel, di masa abad ke-17, tercatat juga beberapa peziarah yang datang ke Haramin (Makkah dan Madinah) untuk menuntut ilmu dan melaksanakan ibadah haji. Pada umumnya para musafir penuntut ilmu tersebut adalah murid dari kedua ulama tersebut.

Berdasarkan catatan F de Haan, bahwa pada tanggal 15 Maret 1689 M/1100 H, tiga orang keturunan Bugis yang diduga murid dan pengikut Syaikh Yusuf, yakni Nurrudin bin Abdul Fattah, Abdul Basyier adh-Dahrir (khalifah Sulawesi Selatan), dan Abdul Karaeng Jeno melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Makkah dan Madinah. Di sana, mereka tak lupa melaksanakan kewajibannya sebagai umat Islam, yakni melaksanakan ibadah haji.

Selanjutnya, seorang putra mahkota Banten, Abdulkahhar yang juga merupakan salah seorang murid Syaikh Yusuf juga mengikuti jejak murid-murid lainnya. Atas rekomendasi langsung dari Syaikh Yusuf, Abdulkahhar melakukan perjalanannya ke Timur Tengah dan Istanbul. Meskipun hanya sebentar melanjutkan studinya di Makkah, ia memiliki kesempatan juga untuk melaksanakan ibadah haji. Sesudah itu ia melaksanakan misi diplomatiknya ke Istanbul, Turki Utsmani.

“Sekembalinya dari Timur Tengah, Abdulkahhar mendapat julukan Sultan Haji karena dialah sultan pertama yang menunaikan ibadah haji,” tulis Saleh.

Sementara itu, salah seorang murid Abdurrauf Singkel yang juga melaksanakan haji adalah Burhanuddin Ulakan (1056-1104 H/1646-1692 M). Diceritakan, setelah beberapa tahun lamanya Burhanuddin belajar kepada Syaikh Abdurrauf, ia berangkat ke tanah Arab. Sekembalinya dari Arab, ia mendirikan surau Syatariyah di Ulakan (Sumatra Barat).

Murid lain Syaikh Abdurrauf Singkel yang diketahui sempat menuntut ilmu ke Makkah dan madinah ialah Abdulmuhyi, seorang musafir dari Jawa Barat. Kemudian, Abdulmalik bin Abdullah, dan Dawud al-Jawi ar-Rumi (1089-1149 H/1678-1736 M).

Masa Kemunduran
Hingga pertengahan abad ke-19 tidak pernah terjadi peningkatan yang berarti dari jumlah penduduk Nusantara yang menunaikan ibadah haji. Salah satu faktor penyebabnya adalah terhentinya pelayaran armada perdagangan dari Nusantara, yang juga digunakan sebagai alat pengangkutan jamaah haji pada jalur Samudra Hindia ke Laut Merah.

Pada masa itu, Belanda mulai menguasai perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Dampaknya, terjadilah kemunduran pada pusat-pusat pemerintahan, perdagangan, dan studi Islam yang berkembang sejak abad ke 16—17.

Kemunduran pusat-pusat pemerintahan itu dimulai dari Ternate, ketika Sultan Mandarsyah (1648-1675) menyerahkan kekuasaan atas Ambon kepada VOC dalam suatu perjanjian dengan Gubernur Jenderal Karel Reinierszoon pada 31 Januari 1652. Disusul kemudian oleh kesultanan Tiodore, Saifuddin (1657-1689) yang menandatangani perjanjian perdamaian dengan Admiral Cornelis Speelman pada tahun 1667 yang mengakui kekuasaan tertinggi VOC atas Tiodore.

Sebagaimana halnya dua kerajaan Mataram, kerajaan di Banten juga mengalami kemunduran. Hal tersebut disebabkan karena adanya pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya, Sultan Haji yang dibantu oleh VOC. Karena Sultan Ageng kalah wilayah Banten pun menjadi kehilangan kebebasan perdagangan dan secara politik dikuasai oleh Belanda.

Meski demikian, sepanjang abad ke-18 secara sporadis sebenarnya banyak penduduk Nusantara yang mengunjungi Haramain, Makkah. Bagi sebagian orang saat itu, kunjungan tersebut adalah untuk menuntut ilmu sebagaimana pada masa permulaan haji. Tapi bagi sebagian yang lain, hanya berniat untuk menunaikan ibadah haji.

Beberapa orang yang tercatat melaksanakan ibadah haji di abad ini, seperti Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1116, 1203 H/1704-1789 M). Selain itu, ada juga menantu Sultan Sepuh dari Banjar, Pangeran Tamjidillah I, yakni Muhammad Arsyad al-Banjari. Muhammad Arsyad bermukim di Haramain selama hampir 35 tahun.

Meskipun tidak terdapat catatan yang lebih detail, beberapa ulama Nusantara lainnya yang pernah berdomisili dan belajar di Haramain pada abad tersebut adalah Syihabbudin bin Abdullah Muhammad, Kemas Fakhruddin, Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin (Palembang), Abdulwahab al-Bugisi (Sulawesi), dan Abdurrahman al-Batawi (Betawi).

Berbeda halnya dengan masa permulaan haji, di abad ke-18 ini, telah terbentuk masyarakat Nusantara yang menetap di Makkah. Kegiatan utama kelompok ini adalah belajar dan yang terbaik di antara mereka mendapat kesempatan untuk mengajar di Kota Suci Islam ini.

Barulah, memasuki abad ke-19, perkembangan mendasar dalam perjalanan haji Indonesia mulai berkembang. Bermula pada tahun 1825, ketika 200 orang pribumi yang berasal dari residen Batavia dan residen lainnya menghadap polisi dengan maksud meminta pas jalan dan sekaligus melaporkan perjalanan ibadah haji ke Makkah bersama kapal Magbar milik Syaikh Umar Bugis. Berdasarkan permohonan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pun mengeluarkan Resolusi Gubernur Jenderal tanggal 18 Oktober 1825 Nomor 9.

Alhasil lepas pertengahan abad ke-19, jumlah jamaah haji dari Nusantara berkembang dengan pesat. Jika pada tahun 1852, baru tercatat 413 orang yang menunaikan ibadah haji ke Makkah, enam tahun kemudian (tahun 1858.red) tak kurang dari 3.862 orang Nusantara yang menunaikan rukun Islam kelima tersebut.

Dalam waktu lima tahun (1853-1858), tercatat 12.985 orang yang mengambil surat jalan (reispass) ke Makkah. Artinya, rata-rata setiap tahun telah berangkat sejumlah 2.597 orang Nusantara ke Haramain. Sebuah lonjakan yang sangat luar biasa dibandingkan pada 1852.

Rute Perjalanan
Secara umum, pada waktu itu perjalanan ke Makkah dibagi menjadi dua, yaitu rute jalan darat dan rute jalan laut. Rute perjalanan dari Nusantara ke tanah Arab (Makkah) hanya dapat menggunakan rute jalan laut. Rute perjalanan melalui laut dapat dikelompokkan menjadi tiga rute pelayaran.

Pertama, umat Islam yang berasal dari Hindia Belanda, Straits Settlement, British Indie, Afganistan, Persia berangkat melalui selat Bab el-Mandeb. Kedua, umat Islam yang berasal dari Mesir, Sudan, Somalia, Prancis, Eritrea dan Yaman datang melalui Laut Merah. Ketiga, umat Islam yang berasal dari Tunisia, Asia kecil, Siria dan Maroko datang dari Utara.

Bagi bangsa-bangsa yang mendiami Asia Tenggara, seperti Indonesia berhaji bukanlah perkara yang mudah, karena jauhnya perjalanan dari negeri di kawasan ini ke Timur Tengah. Penduduk negeri ini harus mengarungi lautan yang luas dan rute pelayaran yang panjang.

Sebelum terusan Suez dibuka, perjalanan haji menggunakan kapal layar harus ditempuh dengan waktu yang lama. Perjalanan haji bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, biasanya tiga atau dua tahun. Perjalanan yang memakan waktu cukup panjang ini dikarenakan harus menyesuaikan irama lajunya angin untuk menggerakan kapal layar.

Selain menghabiskan waktu yang cukup panjang dalam perjalanan, mereka juga harus siap dengan risiko apapun sebab berhadapan langsung dengan kondisi alam yang tidak menentu, deburan ombak, badai dan gelombang yang siap menghantam kapan pun. Tak jarang perahu yang mereka tumpangi karam dan penumpangnya tenggelam atau terdampar di pantai yang tidak dikenal.

Banyak dari mereka juga yang meninggal di tengah perjalanan akibat kekurangan bekal makanan dan tidak kuat menghadapi rintangan serta tantangan perjalanan laut. Tidak hanya itu, kehadiran perompak atau bajak laut juga siap menghalau dan merampas harta benda mereka.

Aktivitas militer Portugis belakangan juga dilaporkan menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang muslim dan calon jamaah haji yang akan pergi ke Makkah.

Pada periode permulaan haji, para jamaah calon haji dari Nusantara tidak menggunakan kapal layar khusus haji. Kapal-kapal haji adalah kapal-kapal pengangkut barang yang tidak dilengkapi dengan akomodasi untuk penumpang.

Perjalanan haji ke Tanah Suci pada umumnya ditempuh dengan menggunakan kapal dagang milik domestik maupun kapal dagang asing, seperti milik orang-orang Arab, Persia, Turki dan India. Melalui kapal dagang itulah para calon jamaah haji berangkat ke Tanah Suci dan kembali lagi ke Nusantara.

Waktu itu belum dijumpai kapal yang berlayar dari Nusantara ke Jeddah, terpaksa calon jamaah haji harus mengganti kapal dari pelabuhan dagang satu ke pelabuhan dagang yang lain di Nusantara dan berakhir di pelabuhan Aceh.

Dari Aceh mereka menunggu kapal yang akan berlayar ke India, kemudian menunggu lagi kapal yang akan berlayar ke Hadramaut, Yaman atau langsung berlayar ke Jeddah. Selain itu, di tengah perjalanan mereka menyinggahi berbagai pelabuhan besar di Pantai Malaya, Jazirah India dan Arab untuk membongkar barang dan menambah perbekalan.

Pada masa awal, perjalanan haji dari Nusantara tidak memerlukan biaya yang cukup besar. Ini dikarenakan mereka menumpang di kapal dagang dan tidak perlu membayar tiket kapal. Oleh karena itu, fasilitas yang mereka peroleh pun seadanya, tidak jarang mereka ditempatkan di tempat barang atau bahkan ditempatkan di tempat ternak.

Pengeluaran terbesar mereka adalah biaya untuk makan dalam perjalanan dan selama berada di Tanah Suci. Bagi para saudagar, biaya haji diperoleh dari perdagangan yang dilakukan di Jeddah atau di Makkah. Sedangkan bagi utusan atau ulama penuntut ilmu, mereka mendapatkan biaya dari sultan yang mengutusnya. (Fadli Mubarok)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar