c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

04 Desember 2019

09:19 WIB

Saran Bagi Gagasan Amnesti Napi Narkotika

Penjara hanya menambah masalah. Hal serupa bisa diterapkan pada pidana lain

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Saran Bagi Gagasan Amnesti Napi Narkotika
Saran Bagi Gagasan Amnesti Napi Narkotika
Ilustrasi narapidana. ANTARA FOTO/ Agus Bebeng

JAKARTA – Pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR, Kamis (28/11), Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menggagas untuk memberikan amnesti narapidana narkotika. Kemudian, diikuti langkah mengirimkan mereka ke pusat rehabilitasi.

Gagasan ini mendapatkan respons positif dari anggota Komisi III. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya progresif Menteri Hukum dan HAM untuk mengurangi angka overcrowding di Indonesia.

Dukungan serupa disampaikan organisasi nirlaba, ICJR. “Memenjarakan pengguna narkotika merupakan kebijakan yang tidak tepat, karena seharusnya memberikan mereka akses kesehatan,” tulis peneliti ICJR, Genoveva Alicia dalam rilis, Selasa (3/12).

Dia menambahkan pemenjaraan tidak akan berdampak baik pada pengguna narkotika. Karena hanya memberi dampak lebih buruk, mulai dari masalah overcrowding, hingga terjadinya peredaran gelap narkotika di dalam lapas.

“Karena banyak pecandu tanpa intervensi kesehatan mempuni dikirim ke penjara,” imbuh Genoveva.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per November 2019 menunjukkan, jumlah narapidana perkara narkotika dan berada di lapas saat ini mencapai 75.928 orang dari total penghuni sebanyak 201,.435 orang. Setara 38% dari total penghuni lapas.

Sedangkan jumlah tahanan mencapai 66.883 orang, yang diperkirakan diduga melakukan tindak pidana narkotika. Tindak pidana ini berada pada peringkat pertama dalam Klasifikasi Perkara Pidana Biasa pada Pengadilan Negeri sepanjang tahun 2018 berdasarkan laporan Mahkamah Agung. 

Agar gagasan ini dapat dieksekusi dengan maksimal, ICJR memberikan sejumlah catatan.

Pertama, peringanan hukuman maupun penggantian jenis hukuman bagi pengguna narkotika tak harus melalui mekanisme amnesti maupun grasi. Pemerintah dapat mengubah jenis pidana menjadi intervensi berbasis penilaian kesehatan, salah satunya dari hasil rehabilitasi.

Kedua, pemerintah membentuk tim khusus untuk melakukan penilaian pada pengguna yang akan diberikan amnesti ataupun grasi. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kondisi sebenarnya dari pengguna narkotika di dalam lapas.

Mereka yang terjerat kasus narkotika perlu dinilai kondisi kesehatannya saat di penjara dengan rehabilitasi. Pun bagi pengguna narkotika yang juga pengedar narkotika.

Hukuman pidana masih dapat diberlakukan berdasarkan hasil assessment aspek kesehatan, tingkat risiko dan penelitian kemasyarakatan.

Pemerintah juga harus melakukan penilaian untuk semua kasus narkotika. Tidak berdasarkan kualifikasi delik seperti dalam data Dirjenpas soal klasifikasi pengedar dan pengguna narkotika.

Pasalnya, berdasarkan riset pada 2016 di Surabaya menunjukkan dakwaan tertinggi bagi pengguna narkotika adalah pasal kepemilikan dan penguasaan (Pasal 111/112 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika).

Mereka yang tertangkap karena membeli narkotika (Pasal 114), diklasifikasikan sebagai pengedar dalam sistem database Dirjen PAS.

Ditemukan 61% dakwaan yang diajukan penuntut umum pada pengguna dan pecandu narkotika mencantumkan Pasal 111 dan 112 UU Narkotika. Jadi, banyak juga pencandu narkotika dilabeli pengedar yang seharusnya diberikan intervensi berbasis kesehatan. 

Tim ini diperlukan untuk memastikan bandar besar yang berisiko tinggi tidak masuk dalam program ini.

Ketiga, rehabilitasi pada pengguna narkotika, menunjukkan harapan pemerintah bahwa cara ini akan mengurangi angka peredaran gelap narkotika. Hal ini langkah maju untuk mempromosikan pendekatan kesehatan, mengurangi dampak buruk atau harm reduction bagi pengguna narkotika.

Diharapkan, dalam revisi UU Narkotika, pemerintah dan DPR menjamin mekanisme yang jelas untuk jaminan rehabilitasi bagi pengguna narkotika sebagai korban peredaran gelap narkotika. 

Reformasi pada kebijakan victimless crime lainnya harus juga didorong. Seperti intervensi lain bagi tindak pidana perjudian sebagai kejahatan keempat terbanyak berdasarkan Laporan Mahkamah Agung. 

Program yang sama perlu juga dicetuskan bagi tindak pidana lain. Seperti tindak pidana minor tanpa kekerasan yang seharusnya mampu diselesaikan dengan intervensi nonpemenjaraan. Yakni menjalankan upaya restoratif. Karena pemenjaraan terbukti tidak efektif, dan malah membebankan negara. (Leo Wisnu Susapto)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar