c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

NASIONAL

30 Januari 2019

21:28 WIB

Rumah Dinas Terbatas, Pembangunan Condong ke Atas

Kebutuhan akan rumah negara bagi anggota TNI baru terpenuhi sekitar 45% atau masih kurang lebih dari setengah dari total kebutuhan

Editor: Fin Harini

Rumah Dinas Terbatas, Pembangunan Condong ke Atas
Rumah Dinas Terbatas, Pembangunan Condong ke Atas
Seorang warga keluar dari kompleks Rumah Dinas Kantor Pelayanan Pajak Pasuruan di Dusun Lecari, Kelurahan Tapaan, Kecamatan Bugulkidul, Kota Pasuruan, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. FOTO ANTARA/Musyawir/Koz

JAKARTA – Mengabdi ke bumi pertiwi dengan gaji yang tak bisa dibilang tinggi, tinggal di rumah dinas memang jadi solusi yang membuat hati berseri. Bagaimana tidak, alokasi dana untuk tempat tinggal bisa dialihkan untuk kebutuhan lainnya, mulai tagihan listrik, belanja dapur, hingga biaya pendidikan anak.

Namun, fasilitas yang diberikan tersebut acap kali berakhir pilu. Rumah dinas yang seharusnya ditinggalkan saat tugas usai, menjadi tempat tinggal permanen bahkan hingga anak cucu. Ketidakmampuan untuk mencicil rumah sendiri, maupun alasan lain, menjadi penyebabnya.

Pemerintah, sang pemilik rumah pun terpaksa bertindak tegas. Pasalnya, rumah-rumah dinas tersebut diperlukan untuk mereka yang masih aktif bertugas.

Kepentingan dua pihak yang berlawanan pun tak jarang menimbulkan kisah pedih. Salah satunya penertiban salah satu kompleks rumah dinas TNI Angkatan Udara (AU) di Cimanggis, Depok, menyisakan sebuah luka mendalam bagi purnawirawan TNI, warakawuri (istri TNI), maupun anak-anaknya. Proses pengosongan rumah yang memakan waktu hampir 10 tahun sejak tahun 2003 ini terjadi cukup alot.

Hingga November 2012 saja, dari 144 rumah yang bersengketa, baru 10 rumah yang berhasil dikosongkan. Hingga akhirnya Markas Besar (Mabes) TNI AU melayangkan surat pengambilalihan Komplek Dwikora yang dikabarkan akan dikosongkan pada akhir tahun 2012.

Kepala Dinas Penerangan AU pada masa itu, Marsekal Pertama TNI Azman Yunus, dalam laman resminya menjelaskan, penertiban tersebut dilakukan personel TNI AU atas dasar hukum yang berlaku. Di mana, TNI AU telah memenangkan gugatan yang dilayangkan para penghuni rumah dinas baik di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, maupun di PN Jakarta Timur.

“Tindakan penertiban rumah tersebut, didasarkan pertimbangan bahwa para purnawirawan, warakawuri dan anak-anaknya sudah tidak berhak tinggal di perumahan dinas dan masih banyak personel TNI AU aktif yang belum mendapatkan perumahan dinas,” tulis Azman dalam keterangannya tahun 2012.

Dijelaskan, proses perkara di PN Depok telah dimenangkan TNI AU pada April 2008. Dengan inti putusan, para penghuni rumah dinas tidak memiliki kapasitas sebagai penggugat.

Kuasa Hukum TNI AU yakni Dinas Hukum AU (Diskumau) menegaskan, penghuni rumah dinas tidak memiliki kapasitas (legal standing) sebagai penggugat. Dengan alasan, penggugat tidak mempunyai hubungan hukum terkait kepemilikan atau penguasaan obyek gugatan perkara yaitu tanah TNI AU Kompleks Dwikora Cimanggis, Depok. Kemudian penggugat bukan pemilik, ahli waris dari pemilik, maupun penguasa dan penggarap atas tanah maupun bangunan yang menjadi objek perkara.

Sementara penghuni rumah dinas mengajukan gugatan atas dasar telah menguasai, memelihara dan memanfaatkan tanah yang berasal dari tanah ditelantarkan oleh pemilik asalnya selama lebih dari 40 tahun tanpa gangguan pihak mana pun. Mereka meyakini, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 23 Tahun 1979 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3 Tahun 1979, mereka mempunyai hak prioritas untuk mendapatkan sertifikat tanah.

Lebih lanjut Azman menjelaskan, Rumah Dinas Kompleks TNI AU Dwikora, Cilangkap, Cimanggis, Depok ini terdiri dari 114 unit rumah. Di mana, 64%-nya dihuni oleh purnawirawan atau sejumlah 73 unit. Sementara enam unit lainnya dihuni anak purnawiran. Baru 35 unit lagi dihuni personel aktif yang terdiri dari prajurit maupun PNS TNI AU.

Kawasan seluas sekitar 17,9 hektare ini dinyatakan sebagai inventaris negara yang dibuktikan dengan Surat Keputusan BPN Jawa Barat nomor 1235/HP/KWBPN/1998 tertanggal 31 Maret 1999.

“Oleh karena itu, purnawirawan dan warakawuri beserta anak cucunya yang mengklaim dan menggugat tanah dan bangunan Kompleks TNI AU Dwikora Cilangkap, Depok tidak mempunyai kapasitas sebagai penggugat,” lanjut Azman.

Berdasarkan Keputusan Menhankam/Pangab Nomor: Kep/28/VIII/1975 tentang Ketentuan Pokok-pokok Perumahan Dinas Departemen Hankam, dan aturan yang mengikuti lainnya, menyatakan penggugat secara hukum sudah tidak memiliki hak untuk tinggal. Lantaran rumah dinas hanya diperuntukkan bagi anggota TNI AU yang masih aktif. Sedangkan, penggugat maupun keluarganya yang merupakan purnawirawan sudah pensiun puluhan tahun lalu.

“Sebenarnya permasalahan yang ada merupakan masalah intern TNI Angkatan Udara dengan para purnawirawan dan warakawuri beserta anak cucunya yang masih menempati rumah dinas TNI AU di Kompleks Dwikora,” lanjut Azman.

Ia menambahkan, rumah dinas TNI AU kompleks Dwikora Cimanggis ini juga tidak dapat dialihkan statusnya lantaran rumah dinas ini merupakan rumah dinas Golongan II. Sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah (PP)RI Nomor 31 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah RI Nomor: 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara.

Dalam pasal 15 PP tersebut dijelaskan, ‘Rumah Negara Golongan II yang berfungsi sebagai Mess/Asrama ABRI tidak dapat dialihkan statusnya menjadi Rumah Negara Golongan III’.

Sementara terkait pengalihan status rumah negara, Kepala Pusat BMN Baranahan Kementerian Pertahanan (Kemhan) Kolonel Arm Marahmat mengatakan harus melalui penetapan pengalihan status rumah negara. Proses ini sendiri harus terlebih dahulu diajukan dari masing-masing kesatuan, karena mereka yang tahu kebutuhannya. Pengajuan kemudian diberikan ke Kemenhan untuk dijadikan pertimbangan dan kemudian dilanjutkan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Terkait alih status ini sendiri memang hanya diberlakukan untuk rumah negara golongan III saja. Sedangkan untuk gol I (rumah dinas jabatan) dan gol II (rumah dinas non jabatan) tidak bisa dialih statuskan. Ini mengingat juga karena kebutuhannya sendiri masih kurang.

Pemberian rumah dinas sendiri menurutnya merupakan pemenuhan fasilitas kepada anggota karena perkembangan organisasi. Berdasarkan struktur organisasinya, rumah negara sejatinya merupakan barang milik negara yang dikelola oleh Kementerian Keuangan. Kementerian Pertahanan dan lembaga lain diposisikan sebagai pengguna. Khusus rumah negara untuk angkatan kuasanya ada di TNI dan Sekjen Kemenhan.

Penertiban pun dilakukan untuk mencegah habisnya aset rumah dinas Departemen Pertahanan (Dephan) maupun TNI agar kebutuhan perumahan dinas bagi generasi selanjutnya terpenuhi. Belum lagi keterbatasan anggaran negara untuk membangun rumah dinas.

Azman melanjutkan, masih banyak prajurit maupun PNS Dephan aktif yang tidak memperoleh fasilitas rumah dinas sehingga harus tinggal di luar kawasan kesatuannya. Padahal lingkungan rumah dinas TNI juga ia sebut, turut berfungsi sebagai pemusatan kekuatan dalam menunjang tugas pokok TNI.

 

Rumah Negara atau Rumah Dinas
Untuk diketahui, secara harfiah, rumah negara atau yang masyarakat biasa sebut rumah dinas adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal penunjang pelaksanaan tugas pejabat atau pegawai negeri.

Berdasarkan PP Nomor 31 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara terbagi dalam tiga golongan. Yakni rumah negara golongan I, rumah negara golongan II, dan rumah negara golongan III.

Dijelaskan, rumah negara golongan I dipergunakan bagi pemegang jabatan tertentu. Di mana hak penghuniannya terbatas selama pejabat bersangkutan masih memegang jabatan tertentu tersebut. Rumah ini dapat juga disebut sebagai rumah jabatan.

Sementara, rumah negara golongan II merupakan rumah yang mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh pegawai negeri. Apabila telah berhenti atau pensiun, rumah wajib dikembalikan kepada negara. Rumah golongan ini dapat disebut juga rumah instansi.

Sedangkan rumah negara golongan III hanya diartikan sebagai merupakan rumah negara yang tidak termasuk golongan I dan golongan II yang dapat dijual kepada penghuninya. Namun, syarat permohonan pengalihan hak atau penjualan rumah negara golongan III kepada pegawai negeri sipil (PNS) harus memenuhi beberapa syarat.

Pemohon pengalihan hak rumah negara harus berstatus menerima uang pensiun dari negara, memiliki surat izin penghunian yang sah, dan belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah atau tanah dari negara.

Pengalihan rumah hak negara tak dapat dilakukan bila rumah negara golongan III yang dimaksud berada dalam sengketa.

Pengamat Kebijakan Publik Syafuan Rozi mengatakan, berdasarkan aturan yang berlaku, rumah dinas pejabat negara semestinya dikembalikan kepada instansi terkait untuk digunakan pejabat berikutnya. Setelah, masa jabatan pejabat bersangkutan berakhir.

“Harusnya begitu, yang menempati rumah dinas mesti diberitahu status rumah tersebut, sehingga tidak ada sengketa di belakang hari. Kecuali golongan III pegawai negeri atau PNS dapat memiliki dengan cara beli atau dicicil,” jelasnya kepada Validnews, Rabu (30/1).

Sementara, Kepala Subdirektorat Pengelolaan Rumah Negara Direktorat Bina Penataan Bangunan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Budi Prastowo menegaskan, sebutan rumah negara dan rumah dinas merupakan hal yang jelas berbeda. Di mana, rumah negara pengertiannya lebih luas dan dibagi menjadi tiga golongan.

Rumah dinas adalah rumah negara golongan II dan III. Sementara rumah negara golongan I sebutannya adalah rumah jabatan.

“Nah kalau yang rumah jabatan jelas kan, bupati, presiden, terus gubernur, itu rumah jabatan. Terus ada rumah dinas, itu golongan II. Jadi, mereka tidak perlu menjabat tapi adalah PNS,” kata Budi saat ditemui Validnews di kantor Kementerian PUPR, Selasa (29/1).

Kurang
Budi menjelaskan, rumah negara disediakan dalam berbagai tipe mulai dari tipe A sampai tipe E. Dicontohkan, rumah untuk menteri luasnya 400 meter kemudian untuk direktur jenderal 250 meter, belum termasuk luas tanah. Seleksi pembagian rumah negara ini pun dijelaskan Budi, tercantum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 22 Tahun 2018.

“Kemudian misal direktur, eselon II, itu 120 meter, tanahnya 350 meter. Misalnya penjaga sungai, itu kan paling orangnya cuman golongan II ya, itu nanti dapat rumah jaga, tipenya 36 tanahnya 100 meter,” lanjut Budi.

Ia pun menjelaskan, keberadaan rumah negara diperuntukkan sebagai penunjang tugas dan fungsi dari pegawai instansi negara bersangkutan yakni PNS.

“Di luar itu agak sulit, karena jumlah rumah dengan jumlah PNS itu tidak sebanding. Katakanlah rumah sejumlah 5 unit tapi pegawainya sebagai gambaran ada 50,” ucap Budi.

Kekurangan jumlah rumah dinas turut disuarakan Kepala Pusat BMN Baranahan Kementerian Pertahanan (Kemhan) Kolonel Arm Marahmat. Ia mengungkapkan, dalam institusinya, setidaknya kebutuhan akan rumah negara bagi anggota TNI baru terpenuhi sekitar 45% atau masih kurang 55% dari total kebutuhan.

Pengadaan
Mengatasi kekurangan rumah dinas untuk personel TNI maupun pegawai institusi lain di bidang pertahanan, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) telah menempuh berbagai upaya. Salah satunya dengan menggamit Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) sejak tahun 2012. Keduanya menggandeng 17 pengembang untuk membangun perumahan bagi prajurit dan PNS TNI di seluruh wilayah Indonesia.

Menteri Pertahanan yang pada waktu itu dijabat oleh Purnomo Yusgiantoro menjelaskan, 40% rumah dinas TNI dihuni oleh purnawirawan. Jadi, prajurit aktif tidak dapat kesempatan menikmati fasilitas negara.

“Saat ini yang siap bangun di antaranya ada di Bogor, Lampung, Manado dan Palu,” ujar Purnomo dikutip dari laman resmi Kemhan, 2012.

Disebutkannya, dari total rumah dinas TNI sebanyak 192.823 unit, sedikitnya 27.460 rumah masih ditempati oleh purnawirawan atau warakawuri.  

Ia menyatakan, idealnya rumah negara bagi prajurit dan PNS TNI sebanyak 427.866 unit. Sehingga, Kementerian Pertahanan pada waktu itu perlu membangun rumah negara sebanyak 241.929 unit.

Upaya lainnya, Kemenhan terutama TNI membangun hunian vertikal yang juga disebut rumah susun (rusun). Marahmat menjelaskan, program pembangunan rumah susun negara, sudah berjalan cukup lama.

Keputusan untuk pembangunan fasilitas model hunian vertikal ini, kata Marahmat, sebagian memang karena di beberapa wilayah ada keterbatasan lahan. Namun, untuk wilayah yang lahannya masih ada maka akan tetap dibangun model rumah tapak.

Kemenhan dan TNI dalam hal ini terus mengajukan permohonan penyediaan bagi rumah negara ini. Namun disadari ada keterbatasan anggaran di pemerintah. Alhasil ada anggota yang memang berhak tapi tidak bisa menempati rumah negara karena memang jumlah ketersediaannya masih kurang.

Mereka yang tidak mendapatkan fasilitas pun harus menyewa atau membeli rumah sendiri. Tapi pembagian terkait siapa yang kemudian bisa menempati rumah negara seluruh keputusannya dikembalikan lagi pada masing-masing satuan, baik AU, AD maupun AL.

Untuk diketahui, pada tahun 2011 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 03 Tahun 2011 tentang Pembinaan Rumah Negara Tipe Susun Di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.

Berbeda dengan rumah negara untuk tentara dalam bentuk rumah tapak, rumah negara Kemenhan yang berbentuk rusun ini hanya terbagi menjadi Rusun golongan I dan II. Karenanya, rumah negara ini hanya diperuntukkan bagi anggota aktif.

Berdasarkan fungsinya sebagaimana diatur dalam Pasal 6, secara umum rumah negara Rusun ini terbagi menjadi rumah negara tipe rusun yang berada di dalam Kesatrian dan di luar Kesatrian.

Rusun yang berada dalam lingkungan Kesatrian diperuntukkan bagi anggota kesatuan sesuai pangkat dan jabatannya. Sedangkan yang berada di luar Kesatrian atau dalam suatu kompleks perumahan Kemhan/TNI adalah sebagai hunian dan tempat tinggal anggota yang berhubungan erat dengan kepentingan instansi/kesatuan Pembantu pengguna Barang Milik Negara Wilayah (PPBMNW) di lingkungan masing-masing.

Peraturan ini secara jelas juga mengatur kewajiban dan larangan penghunian. Dalam Pasal 13 ayat (2) disebutkan bahwa penghuni rumah negara tipe rusun ini dilarang untuk mengubah sebagian atau seluruh bentuk bangunan, menyewakan, memindah tangankan sebagian atau seluruh unit kepada pihak lain dan menggunakan tidak sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan.

Sedangkan terkait pengalihan status rumah negara tipe rusun ini, berdasarkan Pasal 14, menteri dapat menetapkan pengalihan rumah negara tipe rusun dari golongan I menjadi golongan II atau sebaliknya dengan memperhatikan adanya perubahan atau penggabungan organisasi dan/atau sudah tidak memenuhi fungsi penggolongan rumah susun. 

Program rumah negara tipe rusun terutama khusus bagi Kementerian Pertahanan ini secara resmi selesai pada tahun 2012.  Namun, program itu berlanjut di tahun 2013 dan 2014.

Tak hanya membangun rusun bagi tentara. Pemerintah ketika itu membuat dan melaksanakan sejumlah program pembangunan perumahan bagi berbagai kalangan, termasuk bagi nelayan.

Budi, Kasubdit Pengelolaan Rumah Negara Direktorat Bina Penataan Bangunan Kementerian PUPR pun menegaskan, proses pembangunan rumah dinas diserahkan kepada kementerian dan lembaga terkait yang membutuhkan. Dengan mengacu pada Peraturan Menteri Tahun 22 Tahun 2018 yang berisi pemrograman pembangunan rumah dinas, cara membangun, dan standar teknis.

“Setelah pemrograman itu, kan ketemu nih uangnya secara teknis kira-kira segini, diajukan ke Kementerian Keuangan, disetujui atau tidak. Udah gitu aja,” jelas Budi.

Ia menjabarkan, Kementerian PUPR dalam pembangunan rumah dinas hanya bertugas sebagai pembina teknis pembangunan dimaksud. Termasuk memberikan masukan teknis terkait pengadaan bahan bangunan dan pengelolaan rumah dinasnya.

Meski banyak pihak mengatakan jumlah rumah dinas kurang, namun Budi masih belum bisa memberi keterangan apakah akan ada penambahan pengadaan rumah dinas dalam waktu dekat. Lantaran informasi penambahan rumah dinas wewenangnya ada pada masing-masing Kementerian dan Lembaga.

“Isu nya seperti itu (akan ada pembangunan rumah dinas.red). Tapi duitnya ada atau enggak ya itu tergantung Kementerian Keuangan. Terus nanti juga kementerian itu perlu atau tidak, kan tidak mungkin semuanya akan dibangun,” kata Budi

Melansir data yang dikeluarkan Kementerian PUPR, saat ini jumlah rumah negara golongan III di Indonesia ada sekitar 43,6 ribu unit. Dengan rumah dinas terbanyak berada di Jakarta dengan jumlah 16,18 ribu unit.

Pembangunan rumah dinas secara vertikal turut disarankan Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian Politik dan Kebijakan Publik Pusat Penelitian Politik LIPI Syafuan Rozi. Menurutnya, selain harus berdekatan dengan tempat kerja, rumah dinas juga dapat dibuat vertikal ke atas maupun ke bawah. Dengan membuat tempat tinggal di dalam tanah. Hal ini dapat menjadi jalan keluar bagi keterbatasan luas lahan yang saat ini menjadi masalah di kota-kota besar.

“Usul saya rumah dinas yang dekat dengan tempat bekerja ini mesti diperbanyak jumlahnya agar masuk politik anggaran dan mampu mengatasi kemacetan kota besar. Caranya dibangun strata title, blok apartemen vertikal ke atas dan ke bawah tanah,” kata Syafuan.

Sejalan dengan saran Syafuan, pembangunan rumah dinas dalam bentuk vertikal sudah dilakukan Institut Teknologi Bandung (ITB) Kampus Jatinangor. Mereka membangun satu unit rusun khusus untuk dosen yang terletak di dalam Kampus ITB Jatinangor sebagai Living Learning Community.

Direktur Pengembangan ITB, Sigit Darmawan mengatakan, Konsep Living Learning Community ialah terbentuknya suasana kampus yang memiliki kegiatan akademik maupun non-akademik antara dosen dan mahasiswa yang saling terintegrasi di dalam kampus. Maka dari itu, kegiatan pembelajaran mahasiswa dapat lebih hidup.

“Berangkat dari situlah, kami mengajukan kepada Kementerian PUPR untuk dibangunkan rusun ini, dan Pak Menteri menyetujui,” tutur Sigit seperti dikutip dari laman resmi ITB.

Ia menambahkan, ITB berencana membangun rusun serupa untuk kampus ITB Cirebon, yang telah masuk dalam tahap pengembangan pertama pembangunan kampus tersebut.

Rusun dinas dosen di Kampus ITB Jatinangor memiliki 5 lantai, dengan 70 unit kamar di dalamnya. Harga sewanya Rp600 ribu per bulan.

Dijelaskan, penghuni akan mendapatkan fasilitas yang cukup lengkap. Selain skema bulanan, penghuni juga dapat menyewa harian ataupun tahunan sesuai kebutuhan. Rusun ini juga dapat disewa atas nama fakultas, sehingga bisa digunakan setiap staf akademik fakultas yang ingin transit selepas berkegiatan di Kampus ITB Jatinangor. 

 

Sejarah Rumah Dinas
Keberadaan rumah dinas sebetulnya sudah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya Museum Rumah Sejarah di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Museum yang diresmikan sejak tahun 1986 ini merupakan rumah dinas tempat tinggal Perwira Staf dari Sekolah Penerbangan Hindia Belanda di Pangkalan Udara (PU) Kalijati.

Saksi bisu penyerahan kekuasaan Belanda ke Jepang pada 1942 ini telah berusia kurang lebih satu abad lantaran dibangun pada tahun 1917.

Mengutip hasil kajian Visi Teliti Saksama, pemerintah kolonial Belanda juga membangun berbagai perumahan yang disediakan untuk para pegawai pemerintah kolonial (ambtenaar).

Lebih dari itu, tidak hanya perumahan bagi pegawai pemerintahan, tetapi juga perumahan bagi pegawai perusahaan milik Belanda, seperti perumahan bagi pegawai kereta api dan pabrik gula yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Memasuki masa Orde Lama, pemerintah ketika itu juga telah mengatur mengenai pemenuhan kebutuhan perumahan bagi karyawan.

Pengadaan rumah negara atau dinas ini, diatur dalam Pasal 5 Ayat 2 Undang-Undang 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan. Disebutkan bahwa sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah perusahaan-perusahaan negara dan swasta diwajibkan membangun perumahan bagi pegawai dan buruhnya sesuai dengan kemampuannya.

Dengan demikian melalui UU ini pula sebenarnya penyediaan rumah dinas ketika itu tidak hanya diwajibkan kepada lembaga milik pemerintah. Lebih dari itu, UU ini secara langsung juga memerintahkan berbagai perusahaan baik BUMN maupun swasta untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi para pekerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut.

Hal ini pula yang menjadi dasar hingga saat ini masih dapat dilihat berbagai kompleks perumahan perusahaan yang disediakan oleh BUMN bagi karyawannya.

Pada masa Orde Baru, kebijakan yang mengatur mengenai rumah negara ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara.

Baru kemudian pasca Reformasi, terdapat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2008  tentang Tata Cara Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara. (Zsazya Senorita, Shanies Tri Pinasthi, Bernadette Aderi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar