02 Juli 2019
20:56 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Di tengah perlambatan sejumlah sektor industri belakangan, ternyata sektor perdagangan dalam jaringan alias online masih bisa bernafas lega. Data Bank Indonesia menunjukkan, laju pertumbuhan sektor e-commerce di dalam negeri tak menunjukkan perlambatan. Disebutkan transaksi belanja online di dalam negeri pada 2019 rerata mencapai Rp13 triliun setiap bulan, atau Rp140 triliun per tahun.
Google dalam laporan e-Conomy SEA 2018 juga memperkirakan ekonomi digital Indonesia akan mencapai US$100 miliar (sekitar Rp1,4 kuadriliun) pada tahun 2025. Angka tersebut bakal membuat Indonesia menjadi negara dengan pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Pertumbuhan ini pun membawa konsekuensi. Bisnis ritel, wabil khusus ritel offline, terus tergerus. Strategi tutup gerai jadi solusi. Konsekuensi lainnya, menyisakan masalah pada tenaga kerja yang ada di industri ini.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, tutupnya sebagian toko ritel karena gempuran pesaing perusahaan ritel sendiri. “Seperti menjamurnya Alfamart dan Indomaret di berbagai daerah,” ungkap Eko saat dihubungi Validnews, Senin (2/7).
Sekitar lima tahun yang lalu, ia mengatakan bahwa tren berbelanja di sebuah supermarket sangat tinggi. Namun, generasi sekarang tidak lagi mencari hal seperti itu.
Apalagi, bila dilihat dari produk-produk yang dijual, Eko mengatakan, baik supermarket maupun minimarket hampir sama jenisnya dengan yang dijual di toko online. Nah, kepraktisan berbelanja di gerai ritel fisik lambat laun pun tak lagi menarik minat konsumen sekarang.
Ketika e-commerce makin berkembang, Eko menuturkan, secara beramai-ramai cara itu yang dipilih konsumen karena dinilai jauh lebih praktis. Animo belanja dengan cara mendatangi tempat belanja, alhasil kian berkurang.
“Obat pun sekarang mungkin sudah bisa dibeli lewat e-commerce, itulah fenomenanya sekarang,” ungkap Eko.
Mencoba beradaptasi, perusahaan ritel, menurut Eko, sebenarnya juga menjajal berjualan lewat e-commerce. Namun, hal tersebut dinilainya tak terlalu berhasil. Ia mencontohkan, Matahari sebagai toko ritel kenamaan juga berupaya merambah konsumen online lewat matahari.com. Sayangnya, langkah tersebut nyatanya belum bisa menandingi promo-promo yang disediakan oleh e-commerce, seperti Tokopedia, Shopee, dan lainnya.
Eko pun menyimpulkan, sekalipun sudah memiliki pengaruh merek yang kuat, bila promosinya kurang masif, hal itu akan mempengaruhi jumlah pengguna yang berkunjung ke website toko ritel. Selain itu, variasi barang yang dijual juga menjadi perhitungan. Eko menduga variasi yang ditawarkan toko ritel belum tentu lebih banyak dari yang disajikan oleh marketplace e-commerce.
Eko berpendapat, pengusaha ritel sebaiknya menggunakan model pendekatan baru seperti perubahan tampilan aplikasi ataupun perubahan konsep tempat berbelanja secara fisik. Ia mencontohkan dengan perubahan yang dilakukan oleh Transmart.
Dulu, ia bercerita, orang yang pergi ke Carrefour hanya disajikan produk kebutuhan sehari-hari. Namun, sekarang kata Eko, Transmart mengubah konsepnya dengan menawarkan konsep shopping experience. Di gerai Transmart, kini orang tak melulu hanya berbelanja, tapi juga bisa berburu kuliner sambil mengajak main anak-anaknya.
Kalah Efisien
Kepala Sub Direktorat Statistik Ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik (BPS) Indra Surbakti ikut berkomentar. Menurutnya, langkah penutupan sejumlah gerai saat ini tak bisa dihindari pemain ritel. Pasalnya, perusahaan ritel butuh beradaptasi dengan persaingan bisnis.
“Setelah itu mereka melakukan repositioning atau mengubah identitas,” sebut Indra ketika dihubungi Validnews, Selasa (2/7).
Indra menguraikan, peristiwa yang menimpa Giant adalah rentetan fenomena dari pertumbuhan bisnis digital. Kehadiran bisnis tak hanya mengikis industri ritel karena dirasakan pula oleh industri perbankan dan sektor industri lainnya.
Terutama, lanjut Indra, terasa benar imbas kehadiran bisnis digital di sektor pemasaran. Bagi pelaku usaha, perdagangan elektronik (e-commerce) memungkinkan perusahaan dapat mengakses pasar yang lebih luas.
Manfaat lain bagi pengusaha, perusahaan atau pemilik usaha tidak perlu membuka banyak cabang penjualan ataupun distribusi. Meski dalam beberapa kasus, banyak e-commerce yang tetap membuka gudang penyimpanan ataupun produksi di berbagai negara untuk memudahkan pengiriman barang.
Tapi, setidaknya secara umum pemilik usaha atau perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya berlebih dalam menyediakan banyak toko atau gedung serta pegawai. Jangkauan pasar juga semakin luas dan menembus berbagai segmen masyarakat, tanpa harus banyak mengeluarkan sumber daya pemasaran.
Hal ini tentu jauh menekan biaya operasional perusahaan. Akumulasi dari manfaat e-commerce tersebut pun pada akhirnya memungkinkan harga barang dapat ditekan lebih murah ketimbang yang dijajakan di toko ritel fisik. Tak heran, konsumen lebih tertarik membeli produk lewat e-commerce dan ujungnya menekan bisnis ritel fisik yang sebelumnya sudah lumayan mapan.
Soal dampak dari banyaknya penutupan gerai ritel kepada tenaga kerja, ia menilai hal ini juga sebagai bagian dari konsekuensi dari makin berkurangnya kebutuhan akan tenaga kerja pada bisnis e-commerce yang lebih mengandalkan teknologi. Buntutnya, pekerja dengan kemampuan rendah (low skill) yang pertama menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurutnya, dengan keterampilan yang terbatas, para pekerja yang di-PHK ini diperkirakan punya dua pilihan untuk bertahan hidup. Yakni, masuk ke sektor informal, atau membuka usaha sendiri.
“Menurut data yang kami miliki, usaha di sektor informal terbilang tinggi diminati,” katanya
Sekadar mengingatkan, mereka yang kehilangan pekerjaan karena enam gerai Giant tutup, mau tak mau memang menambah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi DKI Jakarta yang sejatinya tengah mengalami tren mengalami penurunan.
Berdasarkan data yang dimiliki BPS Provinsi DKI Jakarta, TPT Provinsi DKI Jakarta pada 2019 tercatat sebesar 5,13% atau turun dibandingkan Februari 2018 sebesar 5,34%. Penurunan itu setara dengan 10.530 orang. Sementara pada 2019, target penyaluran tenaga kerja di ibu kota sebanyak 21.000 orang.
BPS merinci, dengan berkurang 10.530 orang, jumlah pengangguran di Jakarta pada 2018 tercatat sebanyak 290.120 orang. Sementara dalam data bulan Februari 2019, kini menjadi sebanyak 279,590 orang.
Hanya saja, di tengah data penurunan tersebut, BPS mendata jumlah penduduk yang bekerja telah mengalami peningkatan. Pada 2018 jumlah pekerja tercatat sekitar 5.139,080 orang. Sedangkan pada Februari 2019 tercatat naik menjadi sebanyak 5.167,920 orang.

Tak Tertampung
Sayangnya, pertumbuhan e-commerce tak serta merta bisa menampung banyak pengangguran, baik yang sudah ada maupun yang baru menganggur karena penutupan gerai ritel. Pasalnya, tenaga yang dibutuhkan peritel online kebanyakan adalah pekerja middle dan high skill khususnya di bidang Information Technology (IT), bukan sekadar pramuniaga atau penjaga toko yang selama ini banyak diserap peritel offline.
Menurut Indonesian E-Commerce Association (idea), saat ini jenis pekerjaan yang tengah diburu pebisnis online dan pasokannya paling langka adalah software engineer. Untuk unicorn saja, menurut Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung pada sebuah acara di Roemah Kuliner, Jakarta, Selasa (26/2) kebutuhan software engineer bisa mencapai 1.000 orang. Jumlah tersebut belum bisa diimbangi dengan kemampuan perguruan tinggi menghasilkan lulusan di bidang tersebut.
Selain software engineer, kata Untung, Indonesia juga kekurangan tenaga ahli di bidang product management. Menurut dia, kebutuhan ini amat langka dan mahal. Kebutuhan untuk ini menurut dia susah dipenuhi karena belum ada lembaga Pendidikan yang menelurkan lulusan siap kerja di bidang tersebut.
Kemudian, tenaga kerja sektor digital yang masih sulit ditemukan di Indonesia adalah tenaga analis data. Padahal, peran analis data dalam bisnis e-commerce sangat penting dalam menentukan strategi dan kelangsungan bisnis itu sendiri di masa depan.
Seperti yang diprediksikan banyak kalangan, Indra memprediksi, pertumbuhan e-commerce mau tak mau memang akan mengurangi pekerja di bidang perkantoran. Kebutuhan akan sekretaris maupun pekerja administrasi misalnya, kata Indra hampir dipastikan bakal berkurang.
“Sekretaris dan juru ketik nantinya akan mengalami otomatisasi, pun dengan sektor logistik kemungkinan akan terdampak pengurangan,” ungkap Indra.
Lalu, bagaimana tenaga kerja di industri ritel yang memiliki kategori high skill? Sayangnya, menurut Indra, tenaga kerja dengan kategori tersebut juga belum tentu bisa terserap oleh industri e-commerce, mengingat karakteristik bisnis yang berbeda antara ritel offline dengan ritel online.
Untungnya, jika mau telaten, masih ada harapan dari sektor ekonomi digital buat tenaga kerja low skill. Lowongan untuk kategori tersebut misalnya adalah data entry dan kurir. Semakin banyak pengguna layanan e-commerce, setidaknya, kata Indra, semakin banyak pula kurir yang dibutuhkan untuk mengantarkan barang-barang hasil dari transaksi e-commerce.
“Pekerjaan baru akan tercipta dan bertambah, walaupun pekerjaan lama berkurang,” kata Indra.

Kurang Terampil
Sementara itu, Mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi mengakui, hadirnya e-commerce, secara otomatis memang akan membuat lapangan pekerjaan menurun. Menurutnya, ini karena banyak perusahaan sudah tidak membutuhkan gerai di beberapa tempat, ditambah lagi sistem penjualan sekarang sudah tidak lagi membutuhkan orang banyak
Ia menjelaskan, adanya sistem teknologi informasi yang baik, perusahaan bisa leluasa memotong kebutuhan pekerja dan otomatis juga memotong biaya perusahaan. Dengan begitu perusahaan bisa lebih menghemat dana dan kemudian dialokasikan untuk pengembangan perusahaan di sektor lain.
“Misalnya untuk mengembangkan sistem IT dan jaringan perusahaan itu sendiri,” ujar Sofjan saat dihubungi Validnews, Selasa (2/7).
Kendati demikian, Sofjan tidak setuju apabila e commerce menjadi pemicu meningkatnya angka pengangguran. Lebih lanjut, Sofjan mengatakan, permasalahan pengangguran yang terjadi kini, lebih kepada kemampuan para tenaga kerja yang sudah tidak cocok lagi dengan era sekarang.
“Bagi saya itu tidak ada hubungannya ya, ini hanya masalah keterampilan apa yang masih bisa dipakai di perusahaan,” kata Sofjan.
Maka dari itu, Sofjan mengatakan bahwa kini banyak perusahaan yang melakukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan karyawan mereka. Terutama di bidang jaringan perusahaan itu sendiri.
Untuk mempersiapkan tenaga kerja di era digital, Indra pun menyarankan pemerintah untuk mempersiapkan infrastruktur digital yang bagus. Pasalnya, untuk menjadi pekerja di era digital, dibutuhkan kemampuan yang mumpuni menggunakan perangkat digital yang didukung internet. Nah, untuk daerah-daerah yang belum terjamah internet, kemampuan tenaga kerjanya masih jauh tertinggal.
Sekalipun ada pasokan tenaga kerja dari sekolah menengah kejuruan (SMK), Indra menanggapinya dengan nada pesimistis. Ia hanya bilang, saat ini tingkat pengangguran tertinggi justru berasal dari tenaga kerja yang dihasilkan oleh SMK.
Asal tahu saja, pada tahun 2018, terdapat 1.731.743 orang lulusan SMK yang menganggur, meningkat dari sebelumnya di 2017 tercatat sebanyak 1.621.402 orang. Pendeknya, ada peningkatan pengangguran lulusan SMK sebanyak 110.341 orang di tahun 2018.
“Link and match harus diperhatikan, permintaan pasar terhadap SMK harus disesuaikan,” tutur Indra.
Untuk pekerjanya sendiri, supaya bisa bertahan di era digital, Indra menyarankan para pekerja untuk tak hanya memiliki satu kemampuan. Karena bila seseorang hanya memiliki satu kemampuan, ia menilai akan sulit untuk bergerak ke tempat lain.
Lalu, dukungan dari sertifikasi kemampuan juga dibutuhkan. Menurutnya, jaminan untuk mendapat kerja dengan adanya sertifikasi dinilai Indra bisa membantu. Apalagi, siap tidak siap para pekerja akan dihadapkan dengan kehadiran tenaga kerja asing akibat dari pasar bebas tenaga kerja.
Tuntutan Regulasi
Sementara itu, menanggapi tentang persaingan bisnis ritel dan e-commerce, Sofjan berharap ke depannya ada regulasi yang jelas untuk menengahi persaingan tersebut. “Karena saya nilai ini sudah tidak sehat, baik dari penjualan dan perpajakan,” kata Sofjan
Lebih lanjut, Sofjan menyayangkan banyak perusahaan e-commerce mengambil barang dari luar negeri, terutama dari China. Karena persaingan harga yang makin ketat, lanjutnya, saat ini, banyak distributor dan konsumen yang menginginkan barang yang sangat murah.
“Dengan begini, mereka justru bisa mematikan UMKM yang ada di Indonesia,” kata Sofjan.
Menurutnya, selama ini perusahaan konvensional sudah lama berkolaborasi dengan UMKM dan memajukan perekonomian daerah. Jika perusahaan konvensional ini terhambat, Sofjan menilai, secara otomatis sektor UMKM pun akan tersendat.
“Untuk masalah kerja sama dengan UMKM inikan belum ada regulasi yang jelas,” katanya.
Sofjan berharap pemerintah segera menetapkan peraturan yang jelas dan tegas agar polemik ini bisa segera teratasi. Apalagi hal ini juga menyangkut perekonomian daerah di Indonesia.
Ia mengeluhkan masih belum jelasnya sistem perpajakan untuk e Commerce di Indonesia. Padahal, terangnya, dengan meningkatnya bisnis e commerce di Indonesia yang sangat signifikan, ini bisa menjadi sumber devisa negara yang bagus.
Terlepas dari semua polemik yang ada, Kepala Bidang PR Media Asosiasi e-commerce Indonesia (ideA) Astrid Irawati Warsito menilai, sejatinya bisnis e-commerce tak bisa begitu saja dituding mengancam bisnis ritel. Pasalnya, kegagalan yang dialami sejumlah perusahaan ritel terjadi karena pelaku usaha ritel itu sendiri yang gagal atau terlambat mengadopsi perkembangan teknologi dalam menjalankan bisnisnya di era ekonomi digital.
Ia mencontohkan, Bhinneka.com, pionir e-commerce Indonesia menjadi salah satu perusahaan yang cepat tanggap mengadopsi teknologi digital. Toko ritel konvensional ini cepat beralih menjadi toko online dan akhirnya bisa bertahan di industri ini hingga melewati 25 tahun.
“Ternyata lebih dari 60% revenue didapat dari divisi Bhinneka Bisnis, yang melayani UKM, Enterprises & institusi pemerintahan,” ujar dia pada Validnews. (George William Piri, Ryo Yudha)