c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

20 Februari 2019

19:02 WIB

Rawan Bencana, Kentongan Jadi Opsi Peringatan Dini

Akademisi Unsoed menilai kearifan lokal dapat dipadukan dengan ilmiah untuk memaksimalkan mitigasi bencana

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Rawan Bencana, Kentongan Jadi Opsi Peringatan Dini
Rawan Bencana, Kentongan Jadi Opsi Peringatan Dini
Petugas Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengecek kondisi Tsunami Early Warning System (TEWS) saat uji coba membunyikan sirene di Banda Aceh, Aceh, beberapa waktu lalu. Antara Aceh/Irwansyah Putra

PURWOKERTO – Sarana komunikasi peringatan dini sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Sayang, sarana tersebut belum ada di semua wilayah yang masuk kategori rawan bencana. Atas kondisi itu, akademikus dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Indra Permanajati menilai kebiasaan atau kearifan lokal dapat dijadikan sistem peringatan dini (early warning system).

“Kentongan atau alat-alat tradisi lokal dapat dimanfaatkan sebagai salah satu strategi mitigasi bencana berbasis kearifan lokal,” ungkap Indra di Purwokerto, Jawa Tengah, seperti diberitakan Antara, Rabu (20/2).

Lebih lanjut ia menerangkan, upaya menghidupkan kembali kebiasaan lokal untuk identifikasi bencana dapat dimodifikasi agar lebih efektif mengurangi dampak risiko bencana. Misalnya dengan menggabungkan kebiasaan lokal dengan informasi yang bersifat ilmiah. Suara kentongan untuk masing-masing status bencana dapat dibedakan.

“Seperti misalkan bunyi kentongan untuk kondisi waspada, kondisi bahaya ataupun kondisi segera evakuasi,” tuturnya.

Dosen Mitigasi Bencana Geologi, Jurusan Teknik Geologi Unsoed itu menerangkan, salah satu strategi yang cukup penting alam mitigasi bencana adalah percepatan informasi bencana. Selama ini, mitigasi bencana kerap tidak optimal karena kurangnya komunikasi.

“Hal ini bisa terjadi jika di suatu daerah rawan bencana tidak ada alat yang mendeteksi bahaya atau sudah ada alatnya, namun bencananya tidak terdeteksi karena merupakan bencana yang tidak terduga penyebabnya,” kata Indra.

Ia sendiri mendorong pemerintah daerah (pemda) dari daerah rawan bencana yang belum punya alat pendeteksi segera mengusulkan pemasangan alat. Jikalau bencana tersebut belum dapat diidentifikasi, diperlukan pengkajian lebih lanjut tentang sumber bencana.

Masalahnya, daerah yang dinyatakan rawan bencana cukup luas sehingga memerlukan biaya besar untuk pengadaan dan pemasangan alat pendeteksi. Hal ini menjadikan alat yang dipasang sangat terbatas atau tidak sesuai kebutuhan.

Indra berharap ke depannya alat pendeteksi yang lebih efektif dengan biaya yang relatif lebih murah segera diciptakan. Alat tersebut diharapkan dapat mengatasi kekurangan alat pendeteksi bencana di daerah-daerah yang belum terpasang.

Beberapa peringatan dini bencana yang ada di Indonesia adalah radar tsunami, sirene tsunami, buoy, seismograf dan lain sebagainya. Hingga akhir 2018 lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tercatat telah mengelola 52 unit sirene di 18 provinsi rawan tsunami.

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, upaya penanggulangan bencana terbagi menjadi empat fase.

Fase pertama adalah pencegahan dan mitigasi pada kondisi prabencana atau tidak terjadi bencana. Pada fase ini, Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan) disusun.

Fase yang kedua adalahnya kesiapsiagaan. Pada fase inilah peringatan dini bencana dibutuhkan. Sementara fase ketiga adalah tanggap darurat yang dilakukan saat bencana terjadi. Kemudian, fase yang terakhir adalah fase pemulihan usai terjadinya bencana. (Elisabet Hasibuan)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar