c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

30 September 2020

12:12 WIB

RUU Kejaksaan Bisa Timbulkan Benturan Kewenangan Antar Lembaga

Kewenangan penyadapan oleh kejaksaan berpotensi disalahgunakan

Editor: Agung Muhammad Fatwa

RUU Kejaksaan Bisa Timbulkan Benturan Kewenangan Antar Lembaga
RUU Kejaksaan Bisa Timbulkan Benturan Kewenangan Antar Lembaga
Ilustrasi gedung kejaksaan agung. (antara)

JAKARTA – Peneliti hukum dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Ardery A Saputro menilai Revisi Undang-Undang (RUU) No16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang saat ini dibahas DPR RI dapat menimbulkan gejolak akibat berbenturan kewenangan dengan lembaga lain. Benturan dimaksud yakni terkait tugas dan wewenang jaksa dalam penyidikan dengan lembaga peradilan pidana lain seperti kepolisian.

Dalam Pasal 1 ayat 1 RUU Kejaksaan disebutkan, jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Ardery berpandangan, kewenangan jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, bermaksud untuk menghidupkan kembali hukum Herzien Inlandsch Reglement.

"Dalam Herzien Inlandsch Reglement, memang konsepnya jaksa adalah Dominus Litis. Dominus Litis adalah jaksa seperti pengendali perkara. Dia pengendali perkara, misal polisi mau melakukan penangkapan, penyidikan, penggeledahan dan penyitaan itu di bawah komando jaksa. Jadi polisi hanya supporting," urainya dalam diskusi publik bertajuk "Ada Apa Dengan RUU Kejaksaan" yang digelar secara daring di Jakarta, Selasa, (29/9).

Namun, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menyebutkan, wewenang penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan penahanan berada di tangan kepolisian. Sedangkan penuntutan berada di tangan kejaksaan.

"Sehingga jika RUU Kejaksaan ini diimplementasikan. Nanti (aturan) mana yang mau dipakai. Misal ada orang mau ditetapkan menjadi tersangka. Terus jaksa bilang, lho kamu harus izin sama saya dulu dong untuk tetapkan tersangka. Terus polisi bilang lho KUHAP tidak mengharuskan saya izin dari kejaksaan untuk tetapin tersangka," katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Ardery juga menyoroti Pasal 30 RUU Kejaksaan. Dalam pasal tersebut disebutkan soal kewenangan jaksa melakukan penyadapan yang masuk dalam kategori ketertiban umum, bukan dalam ranah penegakan hukum.

Dia khawatir, bila posisi kewenangan penyadapan berada pada kategori ketertiban umum. Sebab, luasnya lingkup persoalan ketertiban umum ini kewenangan penyadapan ini berpotensi disalahgunakan.

"Sebenarnya kalau tujuan penyadapan adalah untuk kepentingan pro justicia. Kenapa harus diatur di UU Kejaksaan? Kenapa tidak di KUHAP?" katanya.

Selain itu, Ardery juga menyoroti soal diperlukannya izin Jaksa Agung untuk memanggil hingga menahan jaksa yang diduga melanggar hukum. Ardery berpandangan, ini dilakukan untuk menjaga independensi jaksa dalam menangani kasus.

"Jangan sampai ketika dia memegang suatu perkara, kemudian dia diperiksa, lantas dia dikriminalkan karena memegang perkara tersebut," katanya.

Dalam pasal tersebut harusnya dijelaskan perkara-perkara seperti apa yang perlu mendapatkan izin dari Jaksa Agung. "Misal dia terlibat KDRT, apakah harus izin Jaksa Agung kalau polisi memeriksa," katanya.

Melihat tiga poin tersebut, Ardery pun mempertanyakan apa alasan dasar kejaksaan melakukan revisi UU Kejaksaan.

"Sebenarnya RUU Kejaksaan ini mau mengatur apasih? Mau mengatur hukum acara atau mau atur kelembagaan kejaksaan," pungkasnya. (Restu Fadilah)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar