c

Selamat

Kamis, 9 Mei 2024

NASIONAL

22 Februari 2020

12:07 WIB

Pusaran Uang Haram di Kegiatan Sosial Keagamaan

Sejumlah kasus pencucian uang yang memanfaatkan kegiatan soal dan keagamaan untuk mengelabui penegak hukum atau mendapatkan keringanan hukuman

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Pusaran Uang Haram di Kegiatan Sosial Keagamaan
Pusaran Uang Haram di Kegiatan Sosial Keagamaan
Ilustrasi pembangunan masjid. ANTARA/Suprian

JAKARTA – Di persidangan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang digelar Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, ada hal mengejutkan yang dilontarkan Azman tentang praktik korupsi yang dilakukan Gubernur Kepulauan Riau (2016–2019) Nurdin Basirun.

Kepala Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Provinsi Kepulauan Riau (2015–2019) Azman Taufik yang saat itu bertindak sebagai saksi, menyebutkan Nurdin menggunakan uang suap untuk membiayai kegiatan keagamaan saat masih memimpin Provinsi Kepulauan Riau. Uang haram itu juga digunakan Nurdin untuk kegiatan perayaan Idul Fitri. 

“Saya memberikan, untuk mendukung kegiatan Nurdin Basirun sebagai gubernur untuk kegiatan seperti safari Ramadan, open house Idul Fitri, Subuh berjemaah, kunjungan pulau-pulau dan lainnya,” kata Azman.

Asal tahu saja, Nurdin merupakan satu dari tiga terdakwa dalam kasus dugaan suap terkait izin prinsip dan lokasi pemanfaatan laut, proyek reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta kasus dugaan penerimaan gratifikasi. Dua orang lainnya, yakni mantan Kepala Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Edi Sofyan dan mantan Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Provinsi Kepri Budi Hartono.

Azman mengakui, Nurdin memang tak pernah meminta uang secara langsung kepadanya. Nurdin kerap memerintahkan stafnya untuk mengambil sejumlah uang dari Azman. 

"Biasanya melalui stafnya Ayub, melalui telepon dia bilang mari sama-sama kita bantu gubernur mau turun kegiatan," beber Azman.

Sepanjang 2016–2018 Azman mengaku memberikan uang senilai Rp20 juta pada beberapa kegiatan gubernur. Azman pun mengaku sempat memakai dana pribadinya.

“Uang yang saya keluarkan berasal dari saku pribadi, seperti tunjangan perjalanan dinas dan uang pribadi seperti gaji,” ujar Azman.

Dalam kasus ini, selain Nurdin Basirun dua terdakwa lainnya, Edi Sofyan dan Budi Hartono, dituntut 5 tahun kurungan penjara, dikurangi masa tahanan dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan penjara. Pengusaha pariwisata Kock Meng juga telah dituntut pidana dua tahun penjara dikurangi masa tahanan dan denda Rp100 juta subsider enam bulan penjara.

Di luar kasus ini, nyatanya, menggunakan uang hasil kejahatan untuk kegiatan keagamaan, bukanlah hal baru. Ada beberapa kasus serupa yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung dan Polri. Mulai dari menggunakan uang hasil kejahatan untuk kegiatan keagamaan, sampai mengorupsi uang untuk pembangunan rumah ibadah. 

Pada 2011 lalu, misalnya, KPK pernah mengusut kasus dugaan korupsi Otorita Batam dengan tersangka Sofyan Usman, mantan anggota DPR periode 2004–2009. Sofyan diduga menerima uang Rp150 juta dan cek pelawat Rp 850 juta.

Saat itu, Sofyan mengelak dan mengaku tak menerima sepeser uang pun. Ozhak Sihotang, Kuasa Hukum Sofyan Usman bilang, uang seluruhnya disumbangkan untuk pembangunan masjid di Cakung, Jakarta Timur, tahun 2009 lalu.

Kasus lainnya, KPK menetapkan Bupati Solok Selatan Sumatra Barat Muzni Zakaria pada Mei 2019 lalu, sebagai tersangka kasus korupsi, terkait pemberian dan penerimaan hadiah atau janji dalam pengadaan barang dan jasa di Dinas PU, Kabupaten Solok Selatan Tahun 2018.

Ada dua kasus yang membelenggu Muzni. Pertama, pembangunan jembatan Ambayan yang rusak berat akibat bencana banjir bandang yang melanda wilayah Solok Selatan pada 2016. Kedua, dugaan suap pembangunan Masjid Agung Solok Selatan.

Dalam kasus ini, selain Muzni, lembaga antirasuah itu juga menetapkan Muhammad Yamin Kahar Pemilik Group Dempo/ PT Dempo Bangun Bersama sebagai tersangka. Pada kasus pembangunan Masjid, Yamin memberikan uang kepada sejumlah bawahan Muzni senilai Rp315 juta.

Kasus serupa juga ditangani Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2019 lalu. Pada kasus ini, terendus dugaan korupsi pembangunan Masjid Terapung Amahami, Kota Bima, Tahun Anggaran 2016. Pada tahun yang sama, Juli 2019, Kejaksaan Agung juga menangani kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Raya di Buol, Sulawesi Selatan.

 

 

Kegiatan Sosial
Ditemui Validnews, di kantornya, Kamis (20/2), Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikiri mengakui, banyak koruptor yang menyumbangkan hasil kejahatannya untuk kegiatan sosial. Seperti, bencana alam maupun pembangunan rumah ibadah.

Ada beberapa contoh kasus terkait hal itu. Di antaranya, pada 2017, Bupati Lampung Selatan nonaktif, Zainuddin Hasan yang didakwa menerima suap dengan total lebih dari Rp100 miliar. Sebanyak Rp3,8 miliar dari uang itu, dipakai Zanuddin untuk pembangunan masjid di Kalianda, Lampung Selatan.

“Dari seluruh dakwaan yang dibacakan jaksa dari KPK Desember lalu, ada poinnya di mana yang bersangkutan membangun rumah pribadi, sekaligus masjid senilai Rp3 miliaran,” kata Ali.

Perkembangan terbaru dari kasus ini, kata Ali, setelah kasasi KPK dikabulkan Mahkamah Agung (MA), KPK kemungkinan akan segera menetapkan tersangka baru.

Zainuddin sendiri, bukanlah orang pertama yang modus tersebut. Jika ditelusuri lebih jauh, KPK juga pernah berurusan dengan Mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Antonius Tonny Budiono pada tahun 2017 lalu karena terbukti menerima suap sebesar Rp2,3 miliar dan gratifikasi sekitar Rp20 miliar.

Pemberian tersebut berkaitan dengan pengerjaan proyek yang melibatkan Kementerian Perhubungan untuk tahun anggaran 2016 dan 2017. Di persidangan, Desember 2017, ia mengatakan, kepada majelis hakim uang Rp20 miliar dari hasil gratifikasi tersebut, digunakannya untuk kebutuhan yatim piatu, renovasi gereja yang rusak dan juga renovasi sekolah.

Selanjutnya, adapula kasus korupsi penerimaan suap yang melibatkan mantan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko. Dalam persidangan, ia diduga menerima uang sejumlah Rp1,155 miliar dari mantan Plt Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Inna Silestyowati, terpidana dalam kasus suap jabatan.

Namun, Nyono mengaku sudah mengembalikan uang negara senilai Rp1,220 miliar pada KPK. Sementara selisih angka sebesar Rp115 juta, diakuinya digunakan untuk kegiatan sosial dirinya selama menjabat sebagai bupati seperti memberikan santunan anak yatim dan pembangunan sejumlah rumah ibadah di Kota Jombang. Termasuk merenovasi sejumlah instansi kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit.

Majelis hakim Tipikor Surabaya pada waktu itu, September 2018, menyatakan Nyono bersalah dan ia divonis 3,5 tahun penjara. Selain itu, hak politiknya juga dicabut selama tiga tahun, terhitung setelah menjalani masa hukuman.

Ali menyebutkan, menyumbangkan hasil kejahatannya untuk kegiatan sosial dan keagamaan, tak membuat para tersangka bebas dari jeratan hukum. Pasalnya, uang yang digunakan merupakan hasil tindak kejahatan.

 

 

Yurisprudensi
Senada, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengakui, ada kasus korupsi yang menjadikan rumah ibadah dan lembaga sosial sebagai sarana untuk mengelabui penegak hukum. Menurutnya, bila uang hasil kejahatan itu diendapkan maka sudah dipastikan akan terkena jerat pidana bagi pemberi dan penerima.

Berbeda bila uang hasil kejahatan itu disumbangkan dan digunakan untuk pembangunan rumah ibadah atau pun kegiatan sosial. Ada kemungkinan, pemberi bisa mendapatkan vonis bebas. Ada yurisprudensi yang bisa digunakan majelis hakim untuk hal ini.

“Tersangka atau terdakwa bisa saja mendapatkan vonis bebas,” kata Hari, kepada Validnews, Kamis (20/2).

Alasannya, tindak kejahatan yang dilakukan seoarang tersangka tersebut untuk kepentingan umum. Kemudian, negara tak dirugikan dalam tindak pidana tersebut. “Dalam arti uang itu untuk bangun panti asuhan, untuk membayar makan masyarakat dan kepentingan umum terlayani. Nah, itu yurisprudensi yang banyak dipegang oleh hakim,” lanjut Hari.

Memang, Hari mengakui, sejauh ini, penyidik Kejaksaan Agung jarang menangani kasus yang berkaitan dengan tempat rumah ibadah. “Jarang terjadi dan ditangani penyidik,” serunya.

Hari menceritakan, beberapa tahun lalu, dia sempat menangani kasus korupsi di Sumatra Selatan. Pada kasus itu, uang hasil kejahatan digunakan untuk kegiatan Maulid Nabi. Akhirnya, kasus itu terhenti, karena uang itu digunakan untuk kepentingan umum.

“Terus untuk membantu Mahasiswa KKN. Misalnya, dana hibah ke mana duitnya? Ternyata untuk keagamaan. Intinya kepentingan masyarakat itu terlayani,” tambah Hari.

Harus diakui, sulit untuk menyelidiki satu persatu asal-muasal uang dalam satu keranjang sumbangan. Kebutuhan dana yang besar, bisa didapat dari berbagai sumber.

Nah, sekalinya dapat, mereka tidak akan mengecek uang itu berasal dari mana. Tapi setelah beberapa tahun berjalan, baru diketahui uang itu merupakan hasil dari korupsi,” beber Hari.

Karena itulah, para pengurus rumah ibadah dan lembaga sosial diminta berhati-hati dalam menerima sumbangan. Tujuannya jelas, agar terhindar dari jerat pidana korupsi. Hal itu dikatakan oleh Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad, saat dihubungi Validnews, Jumat (21/2).

“Para pengurus juga harus melihat jumlah sumbangan itu wajar atau tidak. Kalau tidak wajar, langsung lapor ke penegak hukum,” tutur Suparji.

Dikhawatirkan, rumah ibadah maupun lembaga sosial itu menjadi tempat pencucian uang para koruptor demi menghindari kejaran para penyidik. Setidaknya bisa mengurangi hukuman yang akan diberikan hakim jikapun harus terjerat hukum.

“Jadi uang korupsi itu seperti dititip. Disimpan atau dititip dulu di rumah ibadah, kemudian beberapa lama ditarik,” lanjut Suparji.  

Bila peristiwa itu terjadi, para pengurus ibadah atau pun lembaga sosial, dapat dikenakan Pasal 55 dan 56 KUHP, tentang seseorang yang turut serta melakukan tindak kejahatan. Sedangkan Pasal 56 menyebut turut membantu melakukan tindak kejahatan.

Bahkan, bisa saja, penerima terkena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). “Itu bisa saja bagian dari pencucian uang. Jadi, kalau memang itu ada modus seperti itu harus ditelusuri. Karena korupsi, tetap korupsi, harus dipertanggungjawabkan,” tegas Suparji.

Lembaga Keagamaan
Untuk menghindari masuknya uang hasil tindak kejahatan ke rumah ibadah, sejatinya pada 2012, Persatuan Gereja Indonesia (PGI) telah menyerukan kepada seluruh gereja naungannya untuk bersama-sama melawan korupsi. Bagi PGI, gereja harus ikut dalam gerakan nasional melawan korupsi, agar masyarakat dapat diselamatkan dari bencana kemiskinan dan ketidakadilan.

“Gereja perlu aktif untuk mengembangkan sikap yang tulus, jujur dan menjauhi suap dan segala bentuk korupsi,” kata mantan Kepala Hubungan Masyarakat PGI Jeirry Sumampow, saat dihubungi Validnews, Kamis (20/2).

Jeirry tak menampik, tindak korupsi ini tak tertutup kemungkinan melibatkan gereja. Misalnya, dalam hal penerimaan sumbangan uang dari hasil korupsi. Dengan kata lain, gereja menjadi tempat money laundering.

Karena itu, KPK sempat mendatangi PGI untuk meminta gereja mengantisipasi adanya praktik pencucian uang tersebut. Permintaan langsung direspons oleh pengurus PGI. Itu sebabnya, PGI mengeluarkan surat pastoral tentang gereja melawan korupsi.

“Langkah ini diapresiasi oleh KPK. Karena baru ada lembaga agama yang membuat gerakan itu,” sebut Jeirry. 

Gerakan itu, lanjut dia, dibuat dalam buku panduan antikorupsi dan dibagikan ke jemaat gereja, untuk mengedukasi jemaat soal bahaya korupsi.

“Karena itu, pendekatan lewat jalur keagamaan itu penting,” imbuh Jeirry.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun pernah melontarkan hal yang sama. NU memastikan telah mengumumkan perang melawan korupsi dan memperjuangkan negara yang bersih dari praktik korupsi.

“Karena itu, NU melalui Lakpesdam PBNU sangat fokus dengan gerakan anti korupsi,” kata Ketua PBNU yang saat itu dijabat oleh H Robikin Emhas, dilansir dari nu.or.id

Robikin prihatin dengan korupsi kian merajalela di Indonesia. Apalagi, dampak dari korupsi adalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan. “Itu sebabnya, gerakan anti korupsi di NU sangat penting karena sejalan dengan misi organisasi, yaitu terwujudnya keadilan, kemaslahatan, kesejahteraan, dan kemanusiaan,” cetusnya.

Selain PGI dan PBNU, sesungguhnya, para tokoh lintas agama juga telah menyatakan perang melawan praktik korupsi di Indonesia. Deklarasi ini dikenal dengan Maklumat Kebangsaan Tebuireng yang dibacakan pada Juli 2017 lalu, di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. 

Selain dihadiri oleh tokoh muslim, pembacaan maklumat ini dihadiri oleh perwakilan tiap organisasi keagamaan. Di antaranya, Badan Musyawarah Antar Gereja (Bamag) Jawa Timur dan Lembaga Keagamaan Kristen (LKK) Indonesia.

Kemudian, Majelis Daerah Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Dewan Pengurus Pusat (DPP) Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan perwakilan dari sejumlah klenteng atau Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD). Setidaknya, ada delapan poin terkait perlawanan terhadap korupsi dalam maklumat itu. (James Manullang, Rio Yudha)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar