c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

11 Oktober 2019

19:51 WIB

Polri: Insiden Penusukan Wiranto Bukan Rekayasa

Polri memastikan proses hukum tersangka terorisme tidak akan ditutup-tutupi. Fakta dan bukti sejumlah kasus terorisme itu bakal dibuka dalam persidangan yang digelar secara terbuka

Polri:  Insiden Penusukan Wiranto Bukan Rekayasa
Polri:  Insiden Penusukan Wiranto Bukan Rekayasa
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (kanan) menunjukkan foto tersangka pelaku dan barang bukti penikaman Menko Polhukam Wiranto saat konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (11/10). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.

JAKARTA- Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membantah tudingan adanya rekayasa dalam insiden penusukan terhadap Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (MenkoPolhukam) Wiranto di Pandeglang, Banten.

"Secara logika, tidak mungkin (rekayasa)," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (11/10).

Ia memastikan, proses hukum tersangka terorisme tidak ditutup-tutupi. Fakta dan bukti sejumlah kasus terorisme bakal dibuka dalam persidangan yang digelar secara terbuka, sehingga masyarakat bisa menyaksikannya langsung.

"Proses persidangan bisa dilihat secara langsung, digelar terbuka," serunya.

Hal senada diungkapkan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto. Menurutnya, pernyataan dan anggapan sejumlah kalangan yang menyebut peristiwa tersebut adalah sebuah rekayasa, merupakan tindakan sangat kejam dan bisa dikatakan sebagai hoaks

"Saya sayangkan bahwa ini (dianggap) setingan itu sangat tidak benar, di luar akal dan sangat kejam, statement sangat kejam," kata Sidarto sesuai menjenguk Wiranto di RSPAD, Jakarta, Jumat.

Sidarto menilai pantas memberikan cap kejam terhadap pernyataan-pernyataan tersebut, karena melihat faktanya Wiranto harus menjalani perawatan intensif. Menko Polhukam saat ini kondisinya sudah mulai membaik, tetapi karena kejadian itu, dia memperkirakan Wiranto harus menjalani perawatan sekitar satu minggu sampai 10 hari ke depan.

"Alhamdulillah kondisi pak Wiranto sudah banyak membaik, mohon doanya supaya pulih, saat ini sudah bisa bicara tapi pelan," tuturnya.

Dedi melanjutkan, ke depannya Polri akan meningkatkan kewaspadaan dalam prosedur pengamanan kunjungan pejabat tinggi. "(Pengamanan) akan kami evaluasi," kata Dedi.

Meski begitu, ia memastikan peningkatan kewaspadaan yang dilakukan jajarannya, tidak serta merta akan membatasi pejabat publik dalam berinteraksi dengan masyarakat.

"Kalau untuk pejabat publik tidak bisa dibatasi untuk dekat dengan masyarakat," cetusnya.

Ia sendiri menolak dengan tegas jika ada pihak yangmengatakan Polri kecolongan dalam peristiwa penusukan Wiranto. Menurutnya, Polri dan TNI telah melaksanakan standar prosedur pengawalan yang semestinya.

"Tidak ada istilah kecolongan. Standar operasional prosedur pengamanan sudah dilaksanakan. Ada walpri (pengawal pribadi), ajudan, pengawal kendaraan roda dua, pengawal kendaraan roda empat, satu tim dari polsek, satu tim dari polda, satu regu dari Koramil, satu regu TNI AD," tuturnya.

Seperti diketahui, Kamis (10/10) kemarin, terjadi insiden penusukan terhadap Menkopolhukam Wiranto saat kunjungan kerjanya ke Universitas Mathla'ul Anwar (Unma), Pandeglang, Banten. Saat itu Wiranto dan rombongan meninggalkan Kampus Unma menuju Lapangan Alun-alun Menes, Desa Purwaraja, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten, menggunakan mobil. Rencananya Wiranto akan kembali ke Jakarta menggunakan helikopter.

Saat Wiranto turun dari mobil untuk menuju ke helipad di Alun-alun Menes, tersangka Syahril Alamsyah alias Abu Rara menusuk perut Wiranto menggunakan pisau dan melukai dada kiri seorang warga bernama Haji Fuad. Sementara istri Syahril, Fitri Andriana menyerang Kapolsek Menes Kompol Dariyanto menggunakan gunting sehingga membuat Dariyanto luka di punggungnya.

Kedua pelaku diduga terpapar paham radikal. Dedi menyebut, dalam proses penyebaran paham radikal, teroris menyebarkan pemahamannya dengan menyentuh emosi seseorang sehingga mereka tanpa sadar mengikuti paham tersebut.

"Dalam terorisme, yang dimainkan emosi, bukan logika," katanya.

Dedi menjelaskan, tahapan yang dibutuhkan agar seseorang bisa memiliki pemikiran radikal membutuhkan proses yang panjang. "Ketika seseorang terpapar radikal, prosesnya cukup panjang. Bagaimana dia punya keberanian untuk menyerang aparat, itu berproses (butuh waktu)," imbuhnya.

 

Peristiwa penikaman Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10/2019). Ist/dok

 

Menargetkan Aparatur
Sementara itu, Pengamat terorisme Ali Fauzi mengatakan modus penyerangan yang digunakan pelaku terhadap Menko Polhukam Wiranto hampir sama seperti kejadian-kejadian sebelumnya, yakni menargetkan aparatur negara.

"Bulan lalu di Surabaya juga sama, oknum melakukan penyerangan terhadap anggota polisi di Polsek Wonokromo. Sekarang bergeser ke barat, ke Banten, malah yang diserang adalah aparat yang lebih tinggi. Ini bukan hal baru," ujar Ali Fauzi dikonfirmasi di Surabaya, Jumat.

Namun, berdasarkan hasil analisa, kata dia, ada perubahan tren penyerangan terorisme dibandingkan dengan kasus lebih lama. Ali Fauzi membagi aksi terorisme di Indonesia menjadi dua periode. Pertama aksi yang dilakukan mulai 2000 hingga 2010 yang dominan pelakunya adalah Jamaah Islamiyah (JI) dengan sasaran simbol barat, hotel, turis asing dan lain-lain.

Kemudian di periode 2010 hingga saat ini, pelaku didominasi oleh mereka yang terafiliasi ISIS, seperti Jamaah Ansharud Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Tren penyerangan yang dilakukan, lanjutnya, juga berubah. Bahkan penyerangan seperti saat ini, hampir tidak terjadi di 2000 hingga 2010.

"Dulu banyak melakukan cara kasar, bom mobil, bom rompi, jumlah korban juga bisa ratusan orang. Belakangan bergeser. Serangannya bervariasi. Kadang pakai bom tapi kecil, kadang melakukan perampokan, sering juga melakukan penyerangan terhadap polisi," ucap pria kandidat doktor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.

Selain aksi terorisme yang berubah, kata dia, doktrin dan ideologi yang dianut pelaku teror juga berbeda, yaitu kelompok lama yang didominisi JI pemikirannya lebih halus daripada kelompok sekarang. Ia mengatakan, kelompok lama pemikiran takfiri terhadap pemerintah lebih halus, dan lebih menyasar pada takfir aini atau per individu.

"Sementara kelompok ISIS menggunakan takfir Amm, pengafiran secara menyeluruh. Bahwa semua aparat pemerintah kafir. Seluruh komponen yang mendukung NKRI kafir dan boleh dibunuh," kata mantan teroris itu.

Ali Fauzi berpendapat, penyerangan terhadap aparatur negara seperti yang dilakukan ke Wiranto tidak bisa dikatakan konyol. Pasalnya, aksi seperti itu dilakukannya karena kemampuan mereka yang terbatas.

"Bisa saja mereka terlebih dahulu terkontaminasi paham jihad yang susah membendung sehingga semangat lebih besar dari kemampuan. Mereka belum pernah belajar cara peledakan, akhirnya apapun cara dan bagaimana kemampuan tetap menyerang. Yang penting eksistensi mereka ada," tandasnya. (James Manullang, Faisal Rachman) 

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar