c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

NASIONAL

27 November 2020

14:21 WIB

Perempuan Pembela HAM Kerap Alami Kekerasan dan Intimidasi

Negara harus memberikan perlindunganĀ 

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Perempuan Pembela HAM Kerap Alami Kekerasan dan Intimidasi
Perempuan Pembela HAM Kerap Alami Kekerasan dan Intimidasi
Ilustrasi kekerasan pada perempuan. Shutterstock/dok

JAKARTA – Women Human Right Defenders (WHRD) atau perempuan pembela HAM di Indonesia kerap mengalami kekerasan berbasis gender, stigma negatif, hingga intimidasi dari berbagai pihak. 

Menurut catatan Forum Pengada Layanan (FPL), para WHRD yang banyak melakukan pendampingan pada perempuan korban kekerasan seksual, kerap didatangi orang-orang tak dikenal. Tak hanya itu, ancaman fisik pun juga kerap diterima oleh mereka.

"Para pendamping korban ini juga dianggap sebagai komunitas yang tidak diakui di desa dan kelurahan, dipersulit ketika mengurus administrasi, dianggap pembawa aliran sesat, dianggap menolak ketentuan adat, diancam oleh suami korban dan teman-temannya,” kata salah satu perwakilan Koalisi Perempuan Pembela HAM dari Yayasan Ume Daya Nusantara, Damaris, saat Konferensi Pers Memperingati Hari Internasional Perempuan Pembela HAM secara daring, Jumat (27/11).

Damaris menjelaskan, kondisi tersebut makin diperparah karena relawan perempuan pembela HAM ini tidak punya jaminan perlindungan, kesehatan serta kesejahteraan. Kasus itu terbukti dari adanya dua WHRD yang meninggal karena sakit dan kelelahan, yaitu pengacara HAM bernama Olga Hamadi dari Papua Barat pada 2016 dan perempuan petani Patmi dari Kendeng, Jawa Tengah, pada 2017.  

"Eva Bande, aktivis perempuan agrarian juga dijatuhi hukuman empat tahun penjara pada tahun 2013, karena memperjuangkan hak atas tanah masyarakat dari sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit,” ungkap dia.

Anggota koalisi dari Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), Ainul Yaqin mengatakan, beberapa kasus di atas merupakan segelintir masalah yang dihadapi para perempuan pembela HAM. Masih banyak persoalan, misalnya dalam konteks buruh, beberapa WHRD yang juga merupakan pekerja rumah tangga sering terancam kehilangan pekerjaan karena aktivisme mereka. 

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah Indonesia memastikan bahwa semua WHRD memiliki akses terhadap keadilan. Keadilan itu diciptakan melalui bantuan hukum, penyediaan pemulihan bagi korban, dan memastikan akuntabilitas sistem peradilan, sejalan dengan Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 33. 

Negara Harus Melindungi
Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati menambahkan, hingga saat ini perempuan pembela HAM masih terus mengalami kekerasan dan tantangan dalam kerja-kerja. Setidaknya, terdapat lima kasus kekerasan yang dilaporkan lima lembaga mitra tempat perempuan pembela HAM bekerja, berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) 2020 Komnas Perempuan.

"Profesi mereka beragam, termasuk sebagai pendamping korban baik pada isu kekerasan terhadap perempuan, aktivis, ataupun relawan pada isu lingkungan, kemiskinan dan konflik," ujarnya pada acara yang sama.

Ia mengatakan, upaya untuk membantu para perempuan pembela HAM sepatutnya juga dilakukan oleh negara, melalui berbagai kebijakan yang memungkinkan mereka bisa bekerja dalam rasa aman dan tanpa kekerasan.  

Namun hingga saat ini, pengakuan dan perlindungan negara terhadap perempuan pembela HAM masih sangat minim. Padahal, Pasal 28G Ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Oleh karena itu, ia menegaskan kepada DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), yang mana menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual. Kemudian, mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk menyegerakan hadirnya protokol perlindungan untuk pendamping pengada layanan atau perempuan pembela HAM. 

Serta juga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, untuk bekerja secara sinergis memastikan perempuan penegak HAM aman saat melakukan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan. 

“Kemenkes juga perlu membantu perempuan pembela HAM melalui penyediaan jaminan kesehatan dengan biaya terjangkau terutama terkait dengan kerja-kerja penegakan yang perempuan lakukan,” jelasnya. (Maidian Reviani)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar