07 Oktober 2020
18:18 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – DPR RI bersama pemerintah telah mengesahkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada Senin (5/10) lalu. Namun, pengesahan UU Ciptaker ini membuat polemik dan penolakan di masyarakat yang menganggap UU Ciptaker ini tidak membela hak rakyat.
Direktur Social Policy dan Political Studies (Sospol's), Cecep Sopandi menilai, polemik yang terjadi di pengesahan UU Ciptaker ini akan berpengaruh negatif bagi partai politik (parpol) yang mendukung pengesahan UU Ciptaker di Pilkada nanti. Menurutnya, akan ada penurunan suara dari kaum buruh untuk parpol yang mendukung UU Ciptaker.
“Kalau dilihat dari komposisi koalisi di Pilkada, rasanya sulit bagi buruh untuk mendukung partai yang terlibat dalam pengesahan UU Ciptaker, mengingat terjadi polarisasi dukungan,” kata Cecep kepada wartawan, Rabu (7/10).
Cecep berpandangan, salah satu cara perlawanan buruh kepada pemerintah dan DPR atas pengesahan UU Ciptaker ini dapat dilakukan dengan cara memilih untuk tidak memilih atau golput di Pilkada Serentak 2020. Jika aksi golput ini dilakukan, lanjut dia, akan mengubah tatanan politik, terkhusus bagi calon yang diusung oleh partai pendukung yang ikut mengesahkan UU Ciptaker.
“Pilihan rasional bagi perlawanan buruh pada simbol kekuasaan adalah dengan golput di Pilkada. Jika itu dilakukan, ini mengubah konstelasi politik. Calon yang diunggulkan diprediksi akan menyusut, mengingat ada sekian persen pemilihnya golput dan tidak hadir di TPS menyuarakan hak pilihnya,” jelasnya.
Diketahui, sejak Senin (5/10) lalu, buruh di hampir seluruh daerah menggelar aksi penolakan terhadap disahkannya UU Ciptaker. Menurut Cecep, aksi penolakan ratusan ribu buruh ini akan berpotensi berpengaruh terhadap suara di pilkada nanti. Pasalnya suara buruh cukup signifikan dalam setiap kontestasi demokrasi.
Magister Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana ini mengambil contoh di daerah Karawang, Jawa Barat, di mana ratusan ribu pekerja buruh melakukan aksi penolakan. Hal ini diyakininya akan berpotensi mendorong gerakan delegitimasi pada simbol kekuasaan, termasuk Pilkada.
"Suara buruh itu cukup signifikan, ditambah pengangguran dan para pekerja rentan. Jumlahnya kurang lebih 400 ribu orang. Ini belum termasuk emak-emaknya yang juga ikut terdampak,” tutur Cecep. (Gisesya Ranggawari)