c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

11 Maret 2019

21:24 WIB

Penerbangan Perintis, Angkutan Pemersatu Yang Kian Layu

Penerbangan perintis membuka akses daerah terpencil, sekaligus sebagai instrumen komunikasi pemerintah pusat dan daerah. Seiring waktu berjalan, angkutan pemersatu ini kian layu akibat kian terbukanya akses darat atau laut ke sejumlah daerah

Penerbangan Perintis, Angkutan Pemersatu Yang Kian Layu
Penerbangan Perintis, Angkutan Pemersatu Yang Kian Layu
Pesawat berbadan kecil milik jasa penerbangan Trigana dan Susi Air, melakukan aktivitas naik turun penumpang di bandara Mulia, kabupaten Puncak Jaya, beberapa waktu lalu. Topografinya yang sulit serta cuaca relatif ekstrim seperti di sebagian besar daerah di Pegunungan Papua, membuat daerah itu hanya bisa dijangkau dengan penerbangan perintis pesawat berbadan kecil. FOTO ANTARA/Marcelinus Kelen

JAKARTA – Penerbangan perintis lahir sebagai alat pemersatu bangsa dan azas pemerataan pembangunan. Pemerintah pusat pun rela mengeluarkan uang banyak untuk menyubsidi angkutan ini. Tujuannya, tentu agar akses dan kebutuhan pokok masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman terpenuhi.

Cikal bakal lahirnya penerbangan yang mampu menerobos daerah-daerah pedalaman ini, tidak bisa dilepaskan dari semangat politik dan budaya beberapa dekade lalu, dimana semangat nasionalisme masih meledak-ledak.  Apalagi, ada deklarasi negara kepulauan oleh Perdana Menteri Djuanda pada 13 Desember 1947.

Undang-Undang Penerbangan nomor 83 Tahun 1958, memang sama sekali tidak mencantumkan soal penerbangan perintis. UU itu sedianya lebih ditujukan untuk menggantikan produk hukum kolonial, agar selaras dengan semangat nasionalisasi.

Pada majalah Angkasa terbitan tahun 1975 disebutkan, keberadaan pesawat perintis ini dibutuhkan sebagai alat komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu juga menjadi salah satu cara dalam meningkatkan strategi pertahanan, khususnya pengawasan daerah-daerah terpencil dan pedalaman.

"...Pertimbangan politik dan juga budaya tidak dapat diabaikan. Hal yang tidak kalah penting adalah perwujudan komunikasi dan transportasi antar daerah di tanah air yang semakin lancar dengan adanya penerbangan perintis, termasuk antara pusat dan daerah. Selain itu, aspek strategi pertahanan tidak boleh dilupakan, karena melalui jaringan penerbangan ini, daerah-daerah perbatasan dan terpencil menjadi terawasi dan merupakan bagian dari komunikasi nasional,” begitu yang tertulis dalam artikel majalah tersebut.

Dalam perjalanannya, pemerintah terus melengkapi performa perintis dengan menghadirkan aturan, salah satunya keluarnya SK Menteri Perhubungan No. 126 tahun 1990 yang menjabarkan penerbangan perintis sebagai, “Penerbangan yang dilakukan secara regular dengan mendapat subsidi dari pemerintah untuk membuka daerah yang terisolasi dan berfungsi untuk pemerataan pembangunan”.

Dengan aturan tersebut, penerbangan perintis itu memiliki ciri; reguler, disubsidi pemerintah, di daerah terisolasi dan pemerantaan pembangunan. Khusus untuk subsidi, diperoleh melalui aliran dana dari Departemen Perhubungan berupa subsidi bahan bakar dan subsidi operasi angkutan. Belakangan, istilah perintis mengacu pada daerah yang dituju penerbangan tertentu.

Asal tahu saja, dua tahun setelah keluarnya SK Menhub tersebut, meluncur UU No 15 Tahun 1992, yang memperbolehkan penerbangan perintis melayani kegiatan angkutan udara niaga di dalam negeri. Hanya saja, pelayanan jaringan dan rute penerbangan tetap menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal, atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial menguntungkan.

25 Tahun Lalu
Sejak itu, penerbangan perintis berjalan tanpa bisa melepas diri dari persoalan yang mengiringi kegiatan terbangnya. Dibukanya kegiatan komersial di penerbangan perintis ternyata tetap tak mampu membuatnya tetap eksis.

Berdasarkan hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan (Balitbang Kemenhub) tahun 2018, sebanyak 10 penerbangan perintis direkomendasikan untuk ditutup alias dihentikan. Adapun 10 rute yang direkomendasikan ganti baju ke komersial itu di antaranya Nagan Raya–Singkil, Banda Aceh–Blangpidie, Blangpidie–Sinabang, Medan–Tapak Tuan, Medan–Blangpidie, Medan–Gayo Luwes, Banda Aceh–Gayo Luwes, Sangata–Balik Papan, Palangkaraya–Kuala Pambuang, dan Kambuaya–Sorong.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Udara Kementerian Perhubungan Mohammad Alwi seperti dikutip Antara mengatakan, usulan penghentian subsidi penerbangan perintis di 10 rute itu karena sudah tersedia infrastruktur moda lain yang menjadi pilihan masyarakat, seperti jalan darat yang sebagian sudah dibangun di Papua.

Menurut Alwi, transportasi lain yaitu darat, laut, dan sungai yang memiliki rute ke kota provinsi dan kabupaten, memiliki kapasitas dan waktu tempuh yang memadai. Alasan lainnya, layanan penerbangan secara berkesinambungan juga sudah dilayani rute penerbangan komersial. Apalagi, persentase realisasi frekuensi dan penumpang sejumlah penrbangan perintis juga rendah.

Terpisah, Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Maria Kristi Enda Murni sendiri, mendukung adanya upaya peningkatan dari angkutan perintis, menjadi angkutan komersial. Namun tetap dengan mempertimbangkan sejumlah hal seperti ketersediaan armada serta daya beli masyarakat.

"Sebetulnya ini saran yang bagus dari Balitbang, tapi kita perlu melihat dulu operatornya, armadanya serta daya beli masyarakat karena saya yakin pasti akan ada protesnya," ujar Maria seperti diberitakan Antara.

Dia menyebutkan, dengan berkurangnya penerbangan perintis di tahun depan, Kristi menyebutkan anggaran untuk subsidi pun menurun dari Rp604 miliar menjadi Rp532 miliar. "Turun sekitar Rp70 miliar," ujarnya.

Adapun pemain penerbangan perintis ini kata dia masih terbatas. Beberapa di antaranya yaitu Susi Air, Transnusa dan Marta Buana Abadi yang mengoperasikan Demonim Air.

Sejatinya, persoalan yang mengganggu penerbangan perintis ini bukan hal baru. Seperempat abad lalu, atau pada tahun 1994, penerbangan perintis pernah diguncang dengan problem yang sama.

Mengutip Paradigma, Jurnal Kajian Budaya dengan judul “Kebijakan Penerbangan Perintis di Indonesia: Latar Belakang, Tatangan dan Kontribusi” yang ditulis Yuda Benharry Tangkilisan disebutkan, pada tahun 1994 bisnis penerbangan perintis mengalami penurunan. Hanya saja, Yuda sama sekali tidak mencantumkan data pasti jumlah penurunan penumpang pesawat perintis.

Dalam laporan tersebut sejarawan Universitas Indonesia ini memunculkan penyebab penurunan tersebut, di antaranya adalah persaingan dengan angkutan darat yang berkembang. Apalagi, fasilitas perhubungan darat muncul dengan menawarkan pelayanan lebih baik. Sebaliknya, sebagian jalur perintis dipandang sudah mulai menguntungkan dari sisi komersial.

Ada Peluang
Sebenarnya, bisnis penerbangan perintis tak muram-muram amat. Masih ada beberapa peluang yang bisa dilihat dari sejumlah indicator dan parameter.

Buku statistik perhubungan 2017, mengacu data tahun 2013 sampai 2017 menyebutkan, rute penerbangan perintis sebenarnya mengalami tren kenaikan rata-rata sebesar 9,28%. Begitu juga dengan jumlah kota yang terhubung dalam kurun waktu yang sama terus menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 5,89%.

Data tersebut menunjukkan, kebutuhan penerbangan perintis meningkat selaras dengan aktivitas ekonomi. Keterbatasan moda angkutan darat dan laut yang tidak mampu menembus hambatan waktu, juga menjadi faktor meningkatnya rute penerbangan perintis. Penyebab lainnya yakni kondisi geografis yakni bentangan laut, sungai dan pegunungan yang memisahkan antar daerah.

Karena faktor-faktor tersebut pembukaan dan pengembangan sarana dan prasarana penerbangan perintis menjadi salah satu cara mengatasi hambatan alam. Ditambah lagi penerbangan perintis tidak mengenal peraihan keuntungan (gains of profit).

Pemerintah menyediakan subsidi sehingga masalah biaya atau tarif dapat ditekan. Jadi, tercipta angkutan cepat yang terjangkau serta bersaing dengan moda angkutan darat jarak jauh, seperti bus dan kapal, termasuk kapal cepat.

Subsidi yang diberikan pemerintah sendiri diberikan dalam bentuk subsidi biaya operasi angkutan udara, subsidi bahan bakar minyak di lokasi bandara yang tidak memiliki depo pengisian BBM. Kemudian, ada juga yang berupa kompensasi berupa pemberian rute lain di luar rute perintis bagi maskapai penerbangan perintis.

Sayangnya, terlepas dari adanya peluang tersebut, investasi untuk pemenuhan armada seakan tersendat. Dikutip dari buku Pengkajian Kebutuhan Pesawat Dalam Mendukung Kegiatan Angkutan Udara Perintis di Indonesia (2011), ada lima jenis pesawat yang biasanya digunakan dalam penerbangan perintis yang beredar di Indonesia. Pesawat-pesawat tersebut, yakni C-212, DHC 6 Twin Otter, Beechcraft 1900D, Cessna Caravan, dan LET 410/420.

Dari kelima jenis pesawat tersebut, C-212 buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dan Construcciones Aeronauticas SA (CASA) Spanyol memiliki jumlah populasi paling banyak yakni 33 unit.

Rata-rata umur pesawat tersebut 26 tahun dan yang paling tua berumur 33 tahun. Lalu populasi pesawat paling sedikit yakni LET 410/420 buatan Republik Ceko yang berjumlah dua unit saja. Umur pesawat tersebut masing-masing 17 tahun dan yang satu lagi 18 tahun.

Pesawat tertua yang beredar di Indonesia yakni DHC 6 Twin Otter asal Kanada dengan umur paling tua 36 tahun. Sementara, pesawat paling muda yang beroperasi, yakni Cessna Caravan dengan umur maksimal 19 tahun dan umur minimum satu tahun. 

Dikuasai Asing
Kepala Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Capt. Novyanto Widadi mengatakan, kepemilikan pesawat perintis saat ini juga lebih didominasi asing. Tak hanya armada, tenaga pilot pun lebih didominasi tenaga asing.

Capt. Novyanto menyebutkan, 70% pilot pesawat perintis merupakan tenaga asing, 30% sisanya baru pilot lokal. Tidak seimbangnya porsi pilot asing dengan lokal ini terjadi karena faktor teknis. Salah satunya adalah ketersediaan sumber daya manusia pilot yang mampu menerbangkan pesawat perintis, sangat terbatas.

“Minimnya minat menjadi pilot pesawat perintis lantaran lulusan pilot sekolah penerbang tidak diajarkan untuk menguasai medan, seperti di pedalaman Papua,” katanya kepada Validnews, Senin (11/3).

Medan yang dimaksud kata Capt. Novyanto di antaranya, kebanyakan pesawat perintis mendarat (landing) dan terbang (take of) bukan di landasan aspal melainkan tanah. Padahal di sekolah penerbang, pada umumnya, pilot hanya diajarkan untuk terbang dan mendarat di lintasan beraspal.

Berbeda dengan pilot asing yang justru melihat hal tersebut sebagai peluag. Novyanto mengatakan, menjadi pilot pesawat perintis, dimanfaatkan oleh pilot asing sebagai batu loncatan untuk memegang kemudi pesawat level atasnya, yakni Boeing dan Air Bus. Pendeknya, menjadi pilot pesawat perintis ini menjadi tabungan jam terbang untuk naik kelas.

Kelangkaan pilot pesawat perintis ini, kata Capt. Novyanto, sebenarnya bisa menjadi solusi bagi sekolah penerbangan untuk menambah kemampuan siswanya terutama dalam penerbangan dan pendaratan di landasan, selain aspal. Maka dari itu, lulusan yang dihasilkan dari sekolah penerbangan tersebut mampu menjawab kebutuhan pilot pesawat perintis.

Novyanto menambahkan, STPI sendiri sejauh ini telah menjalin kerja sama dengan maskapai pesawat perintis, dalam mendukung kegiatan belajar mengajar siswanya.

“Sekarang kita sudah memberikan pemahaman kepada para siswa bahwa menerbangi pesawat perintis dapat menambah jam terbang. Karena sebelum membawa pesawat perintis calon pilot akan mendapatkan pelatihan terlebih dulu,” tambahnya.

Sementara itu, Pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengatakan, sekarang ini sulit untuk menentukan wilayah mana saja yang membutuhkan penerbangan perintis. Alasannya karena pembangunan sudah dilakukan di berbagai daerah.

Meskipun begitu, lanjutnya, sebenarnya, tetap masih ada kebutuhan untuk jalur penerbangan perintis yang disubsidi untuk kebutuhan lain. Ia mencontohkan, ada suatu daerah yang ingin menggalakkan investasi dari luar, namun terbentur dengan sulitnya akses jalan yag ditempuh dalam waktu lebih dari 6 jam. Nah untuk kondisi ini, keberadaan penerbangan perintis bisa menjadi solusinya.

“Akan menjadi wajar bila diadakan penerbangan perintis. Supaya investor bisa memangkas waktu lebih cepat ketika meninjau lokasi dengan aman dan nyaman,” ujar Gerry.

Kebutuhan penerbangan perintis dinilai Gerry relatif, tidak bisa dinilai secara mutlak dengan angka. Ia juga mencontohkan daerah di Papua, penerbangan perintis di sana sudah tidak lagi disubsidi karena begitu banyak orang dan barang yang diangkut bisa menutup biaya operasional.

Di Pulau Kalimantan pun, imbuhnya, masih ada daerah-daerah yang sudah terbangun jalan raya, namun masih butuh penerbangan perintis. Pasalnya, selain letak geografis, faktor keamanan juga penting adanya.  Misalnya saja, ada risiko jauh lebih besar jika perjalanan darat itu ke daerah terpencil ditempuh pada malam hari.

Hanya saja, meski dibutuhkan, masih banyajk pekerjaan rumah yang perlu dibenahi untuk menyehatkan industri penerbangan perintis. Gerry menjelaskan saat ini infrastruktur penerbangan perintis di Indonesia bermacam-macam kondisinya. Ada di beberapa tempat yang bandaranya sudah dibangun dan ada juga yang sudah dibangun ulang. Namun juga masih ada infrastruktur bandara yang dibiarkan seadanya.

Belum lagi soal kepastian rute dan frekuensi terbang dari sejumlah msakapai. Hal-hal tersebut membuat kontrak penerbangan perintis bukan menjadi hal yang mudah.

“Yang pasti adalah kesiapan pesawat dan personilnya. Kesiapan untuk memberikan jadwal pada rute tersebut,” ucap Gerry. (George William Piri, Fuad Rizky)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar