c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

29 Maret 2021

16:23 WIB

Penanganan Terorisme Tak Boleh Berkurang Karena Pandemi

Setara Institute mendesak pemerintah daerah dan elemen masyarakat sipil di daerah berkontribusi signifikan bagi pencegahan ekstremisme-kekerasan

Penanganan Terorisme Tak Boleh Berkurang Karena Pandemi
Penanganan Terorisme Tak Boleh Berkurang Karena Pandemi
Petugas kepolisian melakukan pemeriksaan di sekitar sisa-sisa ledakan dugaan bom bunuh diri di depan Gereja Katolik Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021). ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

JAKARTA – Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan mengamati, tindakan ekstremisme kekerasan tidak akan surut hanya karena pandemi covid-19. Sebab, tindak ekstremisme kekerasan pada umumnya didorong oleh stimulus ideologis sehingga pandemi tetap dapat membuat intensi kelompok teroris makin tinggi.

"Seperti kejahatan pada umumnya ya. Semakin abu-abu situasi, semakin chaos, semakin ada kebakaran di tempat tetangga, keinginan untuk memanfaatkan situasi itu malah semakin tinggi," kata dia kepada Validnews, Senin (29/3).

Oleh karenanya, ia menegaskan, di tengah konsentrasi tinggi pemerintah menangani dampak pandemi, perhatian pada penanganan ekstremisme kekerasan tetap tidak boleh hilang maupun berkurang.

Kata Halili, adanya pandemi justru dapat memperluas saluran-saluran virtual kelompok teroris. Mereka bisa saling terhubung dengan jaringan yang lain dan jauh di luar sana.

"Pandemi juga menjadi momentum untuk kelompok-kelompok teroris melakukan, misalnya memanfaatkan virtualitas itu untuk mengakselerasi kemampuan mereka bertindak dan konsolidasi jaringan," pungkasnya.

Ia menambahkan, dalam rangka mitigasi dan pencegahan tindakan ekstremisme kekerasan, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE).

Oleh karenanya, ia berharap akselerasi penerapan Perpres tersebut segera dilakukan secara komprehensif dan terukur, supaya dapat mencegah berulangnya peristiwa seperti yang terjadi di Makassar.

"Setiap aksi teror itu merupakan bagian dari konsolidasi jaringan mereka. Maka instrumen yang tersedia di tengah pandemi ini, itu harusnya tidak kemudian terkendala hanya karena alokasi sumber daya dan perhatian pemerintah itu sekarang sedang besar kepada misalnya vaksinasi," pungkasnya.

Ia menyatakan apresiasi kepada pemerintah karena telah fokus pada penanganan pandemi. Namun demikian, ia mengingatkan pemerintah agar jangan lupa dengan aspek human security, yang dinilainya juga membutuhkan sumber daya manusia memadai.

"Public health satu hal, tapi human security juga hal lain yang tak kalah penting untuk jadi perhatian pemerintah," kata Halili.

Halili pun mendesak pemerintah daerah dan elemen masyarakat sipil di daerah, untuk juga berkontribusi signifikan bagi pencegahan ekstremisme-kekerasan. Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menghapus tindakan yang dapat memicu terjadinya ekstremisme, serta membangun lingkungan yang toleran dan inklusif.

Ia menegaskan, penerimaan atas kebhinekaan merupakan upaya paling efektif, bagi keberhasilan penanganan ekstremisme kekerasan dan penguatan kebhinekaan.

Menahan Diri
Sementara itu, Pakar Hukum dari Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad mengingatkan, bom bunuh diri yang meledak di Gereja Katedral merupakan kejahatan serius. Pemerintah harus mengusut tuntas insiden memilukan tersebut.

"Saya berharap peristiwa nahas ini diusut tuntas dan dilakukan secara transparan," kata Suparji kepada wartawan, Senin (29/3). 

Dikatakannya, teror bom merupakan kejahatan kemanusiaan yang sangat serius. Insiden tersebut dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk kehidupan beragama.

Namun, Suparji juga mengimbau kepada semua pihak menahan diri dan tidak mengembangkan narasi yang tidak berdasar dan tendensius. Masyarakat sebaiknya menyerahkan kasus kepada aparat penegak hukum untuk mengungkapnya secara terang benderang.

"Jika ada yang punya data, berikan kepada penegak hukum dan tidak dijadikan materi publisitas diri," ucapnya.

Di sisi lain, ia juga berharap penegak hukum lebih bisa mencegah tindakan yang demikian. Sebab, dalam Undang-Undang (UU) Terorisme, polisi bisa melakukan tindakan preventif.

Diketahui, aksi bom bunuh diri terjadi di Gereja Katedral Makassar pada Minggu (29/3) pagi. Aksi itu terjadi saat pergantian ibadah Misa kedua menuju Misa ketiga. Berdasarkan penelusuran, didapati ada dua pelaku, yakni laki-laki dan perempuan, yang mengendarai sebuah motor matik bernomor polisi DD 5984 MD.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan, pelaku bom bunuh diri itu merupakan anggota kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kapolri juga menyebutkan, mereka masih berkaitan dengan pelaku bom bunuh diri di Jolo, Filipina. (Maidian Reviani, Herry Supriyatna)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar