c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

09 Oktober 2020

20:17 WIB

Pelajar Kerap Disepelekan Soal Urusan Sosial-Politik

Jika melihat sejarah, pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia peran pelajar sangat besar

Pelajar Kerap Disepelekan Soal Urusan Sosial-Politik
Pelajar Kerap Disepelekan Soal Urusan Sosial-Politik
Pelajar SMK diamankan polisi saat hendak mengikuti demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di gedung DPRD Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Jumat (09/10/2020). Polres Jombang mengamankan 43 pelajar yang akan mengikuti aksi menolak UU Cipta Kerja. ANTARAFOTO/Syaiful Arif

JAKARTA - Aksi massa besar menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja terjadi di berbagai wilayah dalam tiga hari terakhir. Salah satu hal yang menjadi sorotan publik adalah keterlibatan siswa SMA/SMK di dalam aksi tersebut.

Koordinator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, Roy Murtadho mengatakan, respons publik sering kali negatif atas keterlibatan mereka. Mereka dianggap sebagai sosok yang kurang memahami persoalan sosial-politik atau kebangsaan.

"Jangan-jangan justru orang dewasa yang sering kali underestimate melihat potensi atau kapasitas mereka untuk mengembangkan diri dan merespons persoalan-persoalan aktual yang muncul dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya dalam telekonferensi, Jumat (9/10).

Menurut dia, situasi itu disebabkan kebiasaan tidak melibatkan anak-anak dalam percakapan publik selama ini. Termasuk sistem pendidikan nasional yang mengecilkan peran anak-anak dari percakapan publik, sehingga urusan publik seolah hanya milik orang dewasa.

"Bahkan dalam banyak aspek kita tidak terlalu peduli dengan aspirasi dan keinginan mereka, kalau kita merujuk pada parameter keterlibatan secara aktif dengan kehidupan sosial dan politik. Jangankan itu, pendidikan kita ini kan mendikte sekali," ucap Roy.

Dia berpendapat, mungkin sebagian siswa yang ikut aksi massa memang belum benar-benar memahami persoalannya. Tetapi itu tidak lantas karena mereka bodoh, melainkan akibat tidak ada pembiasaan mendidik anak dengan budaya berdiskusi.

Akibatnya, anak-anak cenderung menjadi konsumen informasi yang sulit mereka nalar. Apalagi dalam kasus UU Cipta Kerja ini, pemerintah maupun DPR dinilai tak transparan dalam prosesnya. Bahkan para akademisi kesulitan mendapat drafnya.

"Profesor di salah satu universitas juga kebingungan. Bagaimana dengan anak-anak? Pasti lebih sulit. Syukur-syukur kalau mereka membaca media yang benar, informasi yang benar. Kalau tidak tentu saja menjadi korban hoaks," kata dia.

Lebih jauh, Roy menuturkan, anggapan bahwa siswa SMA atau SMK belum dewasa bisa jadi keliru. Sebab sebagian dari mereka umumnya sudah berusia 17-18 tahun, sehingga sudah mempunyai hak suara dalam pemilihan umum.

"Anehnya ketika mereka menyampaikan aspirasi politiknya justru dikritik banyak pihak. Misalnya diminta hanya sekolah, belajar, untuk masa depan. Ini yang agak aneh. Pendidikan kita mengisolasi anak-anak dari percakapan politik atau kehidupan sosial mereka," imbuhnya.

Dia menegaskan, keterlibatan siswa membicarakan persoalan sosial-politik justru bagus sebagai pendidikan politik. Bukan hanya pada masalah UU Cipta Kerja, tetapi juga ketika mereka terlibat dalam aksi protes revisi UU KPK dan pengesahan RUU KUHP tahun lalu.

Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia pun, kata Roy, keterlibatan anak usia belasan tahun sangat besar perannya. Sebagaimana diungkapkan Indonesianis Benedict Anderson dalam disertasinya yang dibukukan berjudul Revolusi Pemuda.

"Menurut Ben Anderson, yang menyumbangkan revolusi Indonesia waktu itu di era kemerdekaan justru anak-anak usia belasan tahun seperti yang kita lihat hari ini. Itu menurut saya jangan-jangan kita yang underestimate," ujar Roy. (Wandha Nur Hidayat)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar