c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

NASIONAL

15 Maret 2018

22:38 WIB

Patah Pucuk Manifestasi Mobil Nasional

Pemerintah tak berhenti menganakemaskan industri otomotif asing ketimbang mengembang karya anak bangsa

Editor:

Patah Pucuk Manifestasi Mobil Nasional
Patah Pucuk Manifestasi Mobil Nasional
Mobil Tawon. (Antaranews/Imam Santoso)

JAKARTA- Ruas-ruas jalan di berbagai wilayah Indonesia pada medio 1970-an mulai banyak dipadati kendaraan roda empat atau mobil. Dimulai dari dominasi mobil keluaran Eropa dan Amerika Serikat, hingga mengguritanya mobil-mobil ciptaan Jepang, tak heran jalanan kita disesaki produksi mobil-mobil asing.

Melihat peluang bisnis yang besar di Indonesia, Mazda, Mitsubishi, dan Suzuki, merek-merek ternama di Negeri Sakura itu pun mulai melirik ceruk bisnis otomotif Nusantara, mengganggu zona nyaman Toyota yang lebih dahulu menancapkan kukunya di Indonesia.

Di tengah hegemoni mobil produk asing, Indonesia seolah tak mau kalah dengan membangun industri karoseri. Berdasarkan buku Budaya Visual Indonesia (2007), tumbuh kembang industri karoseri ini dilatarbelakangi oleh gagasan untuk merombak dan mengubah fungsi kendaraan niaga menjadi kendaraan keluarga atau angkutan kota. Secara umum, kebijakan pengembangan industri ini dilandasi oleh empat sasaran utama.

Pertama, bertujuan untuk pengurangan subtitusi impor untuk penghematan devisa negara, kedua, peluasan lapangan kerja di dalam negeri sehingga mengurangi angka pengangguran.

Ketiga, peningkatan teknologi untuk bangsa sendiri sehingga terjadi peningkatan kualitas keahlian di bidang otomotif, dengan kata lain ada alih teknologi. Keempat, sebagai bagian dari strategi pertahanan dan keamanan nasional lantaran penguasaan teknologi dinilai strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak.

Terhitung hingga tahun 1993, kebijakan tersebut masih dipegang sebagai rujukan untuk pengembangan teknologi kendaraan nasional. Namun seiring berjalannya kebijakan, pemerintah nyatanya merasa kecewa terhadap industri otomotif pemegang merek (khususnya Jepang) yang memperlambat pelaksanaan alih teknologi itu.

Kenyataan itulah yang kemudian dijadikan sebagai alasan pemerintah untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional (Mobnas). PT Timor Putra Nasional sebagai pelaksana inpres tersebut dengan berbagai macam kemudahan dan pembebasan bea masuk PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah).

Inilah cikal bakal Timor (Teknologi Industri Mobil Rakyat), merek mobil pertama yang diberikan hak untuk mengambil alih teknologi dan diberi kesempatan untuk mengisi pasar mobil nasional.

Hak Istimewa
Kala itu Senin 8 Juli 1996 lahirlah rupa cikal-bakal mobil nasional. Produk pertama PT Timor Putra Nasional yang diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto di pelataran parkir pusat perbelanjaan Sarinah, Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat, itu berupa sedan dengan kapasitas 1.500 cc.

Di tahun 1996, mobil yang sebetulnya merupakan hasil kerja sama dengan KIA Motors Korea Selatan itu sudah memproduksi sekitar 33 ribu unit. Di tahun berikutnya bertambah menjadi 100 ribu unit kendaraan.

Mobil ini tersedia dalam dua jenis, yakni mobil timor DHOC dan mobil timor SHOC. Single overhead camshaft (SHOC) merupakan jenis mobil yang mesinnya hanya mengandalkan satu camshaft saja. Pembakarannya menggunakan karburator.

Sementara itu, tipe timor DHOC merupakan mobil dengan kelas yang paling mewah di mobil Timor. Bagaimana tidak, mobil ini didukung dengan fitur yang lebih komplit dan menawarkan kenyamanan  untuk penumpang yang berada di dalamnya. DHOC atau double overhead camshaft menggunakan 2 camsaft yang terdapat 16 valve.

Pemerintah saat itu menerbitkan kebijakan yang boleh dibilang tak biasa. Untuk mendongkrak penjualan di pasar Indonesia, mobil Timor mendapatkan hak istimewa berupa pembebasan pajak barang mewah. Keistimewaan itu membuat harganya lebih murah dari mobil lainnya. Harga mobil Timor dijual dengan harga Rp35 juta, jauh lebih murah dibandingkan dengan harga mobil kompetitor.

Harga tersebut nyatanya tidak bisa diterima para kompetitor seperti Jepang dan Amerika Serikat dan beberapa negara eropa pada waktu itu. Kebijakan ini dianggap sebagai monopoli perdagangan sehingga para kompetitor membawa persoalan ini ke organisasi perdagangan internasional World Trade Organization (WTO). Alhasil, WTO memutuskan agar Indonesia mencabut keputusan penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah yang di dapat mobil Timor.

Pemerintah Indonesia terpaksa patuh. Apalagi terlanjur ada syarat IMF yang telah ditandatangani oleh Soeharto yang menyebutkan bahwa tidak boleh ada lagi subsidi (termasuk subsidi pajak seperti pada kasus Timor) untuk industri yang umum dianggap bertujuan komersil.

Di kisaran waktu yang sama, juga sempat muncul mobil kreasi anak bangsa yang menggandeng pabrikan mobil ternama Jerman Mercedez Benz bernama Macan (manis dan cantik). Sayang umurnya seumur jagung lantaran krisis moneter di tahun 1998. Tidak diketahui lagi jejak mobil ini, meski pada awal tahun 2000-an satu prototipe mobil itu pernah dipamerkan di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ).

Modal dan Regulasi
Seiring dengan berjalannya waktu, ada pula jenis mobil lain yang dibangun oleh teknisi-teknisi Indonesia, yakni mobil dengan kapasitas besar (bus dan truk) yang diberi nama Perkasa. Mobil besar ini dibuat dengan menggunakan mayoritas bahan buatan dalam negeri.

Meski berbahan lokal, mobil besar ini juga mengadopsi dan memperoleh lisensi dari pabrikan truk ternama dunia. Untuk urusan mesin diesel dan persneling, Perkasa mengantongi lisensi dari Styer Austria.

Di awal kemunculannya, Perkasa sempat digadang-gadang bakal menjadi salah satu mobil nasional. Ironisnya mobil ini tidak seperkasa namanya karena dengan cepat menghadapi masalah finansial. PT. Texmaco yang memproduksi mobil ini masuk dalam salah satu perusahaan yang asetnya diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Kendala keuangan yang tidak terselesaikan membuat pabrik PT Texmaco yang berlokasi di Desa Karang Mukti, Subang, Jawa Barat berhenti beroperasi. Padahal mulanya oleh sejumlah kalangan proyek ini memiliki prospek bagus. Selain mampu membuat truk, perusahaan ini juga dapat membuat alat pertanian, kendaraan militer (ranmil), kendaraan taktis (rantis), bahkan panser sekalipun.

Tak hanya mampu memproduksi kendaraan besar, Indonesia sebetulnya juga mampu membuat kendaraan roda empat yang berbobot ringan. Hal ini ditandai dengan kemunculan Kendaraan Niaga Cilik Irit Lincah (Kancil).

Pada awal kemunculannya di tahun 2001, oleh PT Karunia Abadi Niaga Citra Indah Lestari mobil ini dijadikan kendaraan pengganti roda tiga (bajaj) dan bemo di Jakarta. Meski sudah mendapatkan lisensi, sayangnya Kancil tidak dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak. Mobil ini hanya dizinkan membuat produksi sesuai jumlah bajaj dan bemo yang ada.

Di tahun 2002 perusahaan BUMN melalui PT Industri Kereta Api juga menggarap proyek mobil nasional dengan mengusung mesin hasil Riset Unggulan Strategis Nasional yang berkapasitas 640 cc.

Gea (Gulirkan Energi Alternatif), demikian mobil itu diberi nama. Namun baru dikenalkan pihak konsorsium sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2012.

Harga mobil GEA dipasarkan dengan harga antara Rp45—50 juta. Mobnas ini masuk kategori city car berdimensi 3.320×1.490×1.640 mm dengan wheelbase 1.965 mm. GEA memiliki mesin 650 cc dan mampu melaju hingga kecepatan 85 km /jam dengan mesin 650 cc yang sistem pembakarannya injeksi EFI dengan penggerak roda depan. Namun sayang, GEA belum dapat masuk pasar berskala besar akibat masih minimnya investasi pengembangannya.

Pada tahun 2003 muncul mobil mini dengan kapasitas dua orang buatan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) yang mengusung mesin berkapasitas 125—200cc. Mobil yang kecil ini di buat agar bisa masuk ke dalam gang-gang yang banyak diperkotaan maka diberi nama Gang Car.

Mobil mini ini menggunakan bahan bakar bensin. Meskipun sudah terdapat purwarupa, lagi-lagi mobil ini gagal untuk diproduksi massal. Masalahnya pada saat itu PT DI secara bersamaan juga telah merumahkan 9 ribu karyawan. Untuk mengembangkan gang car ini PT DI telah menyerahkan 4 unit kendaraan kepada Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

Sulitnya pengembangan mobil nasional juga dialami mobil Arina atau Armada Indonesia yang muncul pada tahun 2009. Mobil buatan Semarang ini dibuat dengan menggunakan mesin sepeda motor dengan kapasitas mesin 150, 200, 250 cc dan dibiayai oleh Kementrian Perindustrian. Mobil ini mampu melaju hingga 70km/jam dengan mesin berkapasitas 150cc.

Di masa kini Wahana Cipta tengah memproses pembentukan badan usaha baru yang diberi nama PT Arena Motor. Sedangkan untuk mempermulus pemasaran, produsen juga telah memiliki komitmen jaringan atas bantuan Asosiasi Karoseri Indonesia (Askrindo). Ada empat daerah yang bakal menjadi penetrasi pasar, yakni Banten, Jakarta, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mobil mikro Arina rencananya akan terus dikembangkan sehingga nantinya akan menjadi 100% buatan dalam negeri. Jika sudah 100% lokal, harganya bakal berada di bawah Rp30 juta. Namun untuk menjadi mobil nasional, lagi-lagi masalah regulasi dan investasi menjadi penghambat.

Kemudian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di tahun 2012 juga mengembangkan mobil listrik yang diberi nama marmut listrik (Marlip). Pembuatan mobil ini lebih kepada mobil skala kecil, seperti digunakan untuk mobil golf, pasien ataupun mobil keamanan. Meski mengandalkan tenaga listrik sebagai pengganti bensin mobil tersebut mampu menempuh kecepatan mencapai 50 km/jam dengan maksimal jarak tempuh 120 KM. Harga Marlip berkisar antara Rp60 juta sampai Rp80 juta.

Meski belum diproduksi secara massal, Marlip sudah diproduksi secara terbatas. Tercatat hingga tahun 2005 sudah banyak digunakan sebagai kendaraan operasional, baik itu instansi pemerintahan ataupun swasta. Namun untuk diproduksi secara massal juga terkendala modal dan regulasi.

Mobil jenis offroad juga coba dikreasikan di dalam negeri. Mobil jenis offroad ini diberi nama Komodo. Bobotnya juga ringan sehingga mudah dikendarai di area hutan. Selain mempunyai tenaga yang tidak kalah dengan mobil offroad pada umumnya mobil ini juga irit bahan bakar. Kapasitas tengki mampu menampung 20 liter bensin dan itu dapat digunakan selama empat hari perjalanan.

Mobil Komodo adalah garapan PT Fin Tetra Indonesia asal Cimahi, Jawa Barat. Hingga saat ini masih terus dikembangkan sebagai salah satu cikal bakal mobil nasional.

Ada satu lagi mobil nasional bernama Tawon. Mobil garapan PT Super Gasindo Jaya ini memiliki desain sangat sederhana dan juga mesin dengan kapasitas kecil. Bisa dimaklumi memang, Tawon dicanangkan sebagai mobil murah yang diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah.

Mobil berkapasitas 650 cc ini sedang melalui tahap untuk mendapatkan perizinan produksi. Meski belum mendapatkan izin, PT Super Gasindo Jaya sudah mampu memproduksi 50 unit dalam satu bulan. Meski belum diakui negara sendiri, namun pada ajang pameran internasional 2014 lalu mobil Tawon justru mendapatkan apresiasi dari negara Pakistan. Tak tanggung-tanggung Pakistan bahkan berani menanamkan modal untuk mengembangkan mobil mungil ini.

Mobil Komodo. (www.finkomodo.com)

Pentingnya Orisinalitas
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementrian Perindustrian (Kemenperin), Harjanto mengungkapkan, untuk mewujudkan pengembangan mobil nasional, Indonesia sebetulnya mampu. Tapi dengan catatan, mau membuat teknologi terbaru dalam industri otomotif.

“Kalau kita bisa melakukan lompatan teknologi dengan inovasi tertentu, bukan tidak mungkin kita bisa menguasai pasar,” katanya kepada Validnews, Rabu (14/3).

Permasalahan yang terjadi saat ini ialah budaya masyarakat Indonesia masih ragu untuk menggunakan mobil yang baru muncul. Oleh karenanya, Haryanto meminta jika ingin benar-benar mewujudkan mobil nasional maka hal yang harus dikembangkan ialah teknologi, lantaran sekarang Indonesia sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain.

“Ada brand baru dengan konsep inovasi yang lebih tinggi tentu masyarakat akan berpikir untuk melihat produk itu,” ucapnya

Berdasarkan pengakuan Harjanto, saat ini pemerintah tidak memiliki program mobil nasional. Walaupun dulu pernah ada, Harjanto mengaku pemerintah melihatnya dengan cara yang berbeda. Sekarang pemerintah lebih mendorong industri otomotif yang sudah tumbuh, seperti Honda, Yamaha, Suzuki dan sebagainya.

“Dulu memang ada program nasional untuk kendaraan. Ada program nasional yang memang diberikan insentif khusus untuk hal itu. Nah sekarang kita tidak bisa mengatakan bahwa kita punya memiliki program khusus terkait itu. Kalau kita bilang seperti itu, artinya insentif yang diperlukan harus disiapkan semua,” tuturnya.

Secara umum Harjanto mengakui semua proyek mobil nasional sebetulnya didukung oleh pihak Kemenperin. Akan tetapi skemanya adalah Kemenperin bersama dengan pembuat prototipe untuk kerja sama dalam pengembangan.

“Karena pada hakikatnya pengembangan otomotif nasional memang menjadi tanggung jawab pihak swasta. Jadi pemerintah dalam hal ini hanya menjadi fasilitator untuk pengembanganya,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua 1 Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Joenkie Sugiarto, menyatakan kemunculan mobil nasional, salah satunya Timor, nyatanya belum bisa diterima oleh mayoritas penduduk di Indonesia. Sebab wujudnya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat saat itu yang lebih menginginkan mobil untuk keluarga. Yang dapat membawa penumpang 7—8 orang.

“Mobil nasional yang mana? Timor kan waktu itu bentuknya sedan. Timor kan bukan MPV. Jadi itu yang saya bilang, yang lain itu tidak 100% memenuhi kebutuhan dan selera masyarakat. Maka dari itu, yang berkiprah terus ya Kijang itu,” katanya.

Jongkie mencontohkan Kijang. Kijang terlebih dahulu melakukan riset dan pengembangan di Indonesia. Jadi, mobil ini bisa dijadikan rujukan yang bisa dibanggakan karena inovasinya.

“Di Jepang enggak ada produksi Kijang, enggak ada. Di dunia produknya satu-satunya ya di Indonesia. Sekarang saya kurang tahu ada di negara mana saja, tetapi di negara manapun itu produknya kan dari Indonesia. Komponen-komponennya dari Indonesia, semuanya dari Indonesia,” tutupnya.

Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI), Bambang Sugiarto, menyatakan Indonesia sebenarnya punya rencana dan kemampuan bangun mobil nasional mulai dari zaman Orde Baru sampai dengan sekarang ini.

Tetapi, jatuh bangun mobil nasional Indonesia itu juga bukan tanpa penyebab. Pemerintah, lanjut Profesor Bambang, selalu membuat kebijakan dari setiap pemerintahan baru.

"Inkonsistensi. Ingat ada Timor Mobnas? Kebijakan total kandungan dalam negeri (TKDN)," kata Bambang kepada Validnews, Kamis (15/3).

Kendala lain, adanya inkonsistensi pemerintah yang kurang melibatkan swasta. Kata dia, pemerintah memang harus bekerja sama dengan swasta di level permodalan. Tapi sebelum itu, tentunya pemerintah harus membuat kebijakan terlebih dahulu. Sebab, ranah swasta dikatakannya memiliki banyak persaingan dan perlu pula keterlibatan pemerintah.

"Persaingan swasta dapat memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah. Ada yang mau membangun mobil nasional, tapi lebih banyak lagi yang hanya ingin berdagang mobil mendapat untung besar," ucap dia.

Mirisnya, dari keuntungan besar tersebut, ia juga mengatakan para pengusaha swasta malah dapat memakai keuntungan dari mobil nasional untuk usaha lain, bukannya mengembangkan otomotif Indonesia. Jadi memang perlu begitu banyak komitmen dari semua elemen.

Pemerintah Indonesia harus memiliki langkah bijak dalam mengembangkan otomotif dalam negeri sebagai cikal bakal masa depan. Menurut Bambang, harus ada konsistensi kebijakan, keberpihakan, yang hingga kini dirasanya masih kurang.

"Terutama, di sektor regulasi Kementerian Keuangan (pajak), Kementerian Perindustrian (TKDN), dan Kementerian Perdagangan dalam penanaman modal," tegas dia.

Ia mengaku sangat prihatin atas kondisi otomotif Indonesia saat ini. Indonesia sudah tertinggal jauh oleh Malaysia, Thailand, bahkan sekarang Vietnam.

Diakuinya kehadiran Timor di era 1990-an pada awalnya sudah benar maksud dan tujuannya. Sayang dalam praktiknya, Timor yang dipegang perusahaan rezim penguasa waktu itu (Tommy Soeharto) jadi mobil nasional yang berakhir dalam gugatan pengadilan. Timor diduga menjiplak dari salah satu merek mobil luar negeri. Makanya, Bambang mengingatkan pentingnya orisinalitas dalam mobil nasional.

"Tapi tidak bisa shortcut buat sendiri seluruh komponen yang beribu-ribu jumlah. Harus dimulai dengan TKDN 20%, lalu meningkat tiap berapa tahun hingga 100% seluruhnya komponen dalam negeri," kata dia.

Sementara terkait potensi mobil nasional di Indonesia zaman sekarang, ia menilai itu masih ada. "Sangat-sangat ada. Sekarang trennya ke MOLINAS (mobil listrik nasional). Main-main deh ke UI, kami punya prototipenya," ujarnya. (Fuad Rizky, Fadli Mubarok, Denisa Tristianty)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar