25 Oktober 2019
17:17 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Dinas Perhubungan DKI Jakarta tengah mengintensifkan sosialisasi pelarangan operasional odong-odong atau angkutan lingkungan yang biasa ada di ibu kota. Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur, juga menegaskan ini. Odong-odong dinyatakan sebagai kendaraan yang tak aman, dan melanggar Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Transportasi serta Perda Nomor 5 Tahun 2015.
Terhadap pengemudi odong-odong, diberikan kompensasi. Di antaranya direkrut menjadi pengemudi bajaj atau pengemudi Jak Lingko. Meski demikian, belum dipastikan kapan pemberlakuan larangan operasional odong-odong di Jakarta Timur berlaku. Sejumlah tahapan yang perlu ditempuh.
"Tahap pertama sosialisasi kepada para warga bahwa naik odong-odong itu berbahaya, karena kendaraan itu tidak sesuai dengan spesifikasi standar kendaraan. Bahwa jenis angkutan itu harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Entah itu spesifikasi teknisnya, entah layak jalannya, standar operasionalnya, sehingga dapat memberikan keselamatan dan kenyamanan," kata Kepala Seksi Lalu Lintas Sudinhub Jakarta Timur, Andreas Eman, di Jakarta, Jumat (25/10).
Sosialisasi dilakukan sejak 11 September 2019 kepada pengusaha, komunitas, kelurahan, hingga RT/RW di sepuluh kecamatan dan 65 kelurahan. Hingga kini sosialisasi, seperti diberitakan Antara, telah menjangkau Kecamatan Jatinegara dan Cipayung, Jakarta Timur.
"Kita juga sosialisasikan kepada pengemudi odong-odong dan pemiliknya di wilayah masing-masing terutama di Jatinegara dan Cipayung karena hampir semua kecamatan itu ada," katanya.
Sosialisasi juga disampaikan kepada pihak RT/RW agar membantu memberikan penjelasan atau pemahaman kepada pengusaha. Dan, kompensasi juga dipikirkan untuk diberikan kepada mereka; baik sopir ataupun pengusahanya.
"Atau kita bantu kursus-kursus, jadi Pemkot Jaktim juga membantu nantinya didata sopir-sopirnya itu. Kan alasannya urusan 'perut'," katanya.

Lebih Dari UMP
Sebaliknya, Komunitas Kereta Mini atau Odong-odong Anglingdarma atau perkumpulan pemilik odong-odong menolak pelarangan itu. Sekretaris Komunitas Odong-odong Anglingdarma, Muhammad Yasin menegaskan, penolakan pelarangan operasional ini karena mereka menjadikan itu sebagai mata pencarian utama.
"Dari teman-teman sebenarnya kita ingin odong-odong tetap beroperasi, karena kita hidup dari sini. Ya kita menolak larangan itu," kata Yasin saat ditemui di Pool Odong-odong, di Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, Jumat (25/10).
Yasin mengatakan, sudah mengirim surat kepada Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap larangan tersebut. Para pemilik odong-odong meminta operasional diperbolehkan karena odong-odong menurut mereka cukup aman beroperasi.
"Kita masih pakai pintu, kita lumayan safety, kapasitas sudah lebih memang. Kita pajak juga hidup, punya SIM, sopir-sopir ada yang dari angkot, dari Transjakarta. Itu sempat disampaikan, kita minta dilegalkan," ujar Yasin.
Puluhan pengusaha odong-odong itu juga mengungkapkan, Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta 2020 belum setara dengan pendapatan usaha bulanan. Sementara, sebagai pengusaha odong-odong yang memiliki satu unit kendaraan, seharinya bisa diperoleh pendapatan Rp6 juta per bulan.
Dibeberkan juga, dalam keseharian, rata-rata per hari, seorang pengusaha odong-odong mampu memperoleh Rp150–200 ribu pendapatan bersih.
"Tarif odong-odong Rp3.000 untuk perjalanan 30–60 menit keliling kampung. Rata-rata per rit bisa angkut maksimal 18 penumpang," katanya.
Yasin menandaskan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menawarkan sekitar 60-an anggota komunitas Anglingdarma bergabung ke sejumlah perusahaan daerah yang bergerak di bidang transportasi. Namun, hingga kini, para pengusaha ini belum tertarik dengan tawaran tersebut, sebab pendapatan sebagai pegawai di perusahaan transportasi pemerintah dinilai belum sesuai.
"Kami masih nyaman kerja sebagai sopir odong-odong, tidak terikat jam kerja dan pendapatannya juga lebih besar dari UMP yang dijanjikan pemerintah," katanya.(Rikando Somba)