16 Juli 2019
20:00 WIB
JAKARTA- Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly akan berbicara langsung dengan Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah terkait dengan persoalan pendirian Politeknik Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Hukum dan HAM yang berada di kawasan pusat pemerintahan Kota Tangerang.
Ketegangan keduanya berihwal dari status tanah pendirian politeknik. Menteri Yasonna mengungkapkan, pemerintah kota Tangerang tidak ramah kepada Kemenkumham. Yasonna mengaku pihaknya sudah mengajukan aduan ke Polri soal tanah kementerian yang diduga diambil tanpa izin, dan di atasnya didirikan bangunan.
"Beliau minta kepada saya untuk mengatur waktu (bertemu), nanti karena saya mau ke Batam, nanti atur waktu lah," kata Yasonna di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Selasa (16/7).
Keduanya bertemu secara singkat pada rapat terbatas dengan topik "Perkembangan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)" yang dipimpin Presiden Joko Widodo di kantor presiden, hari ini.
Yasonna sempat menyindir Arief saat peresmian Politeknik BPSDM Hukum dan HAM, beberapa waktu lalu. Politisi PDIP ini menyebut Arief mencari gara-gara. Ini bersebab tudingan Pemkot Tangerang terhadap pembangunan gedung saat itu tidak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Sebaliknya, Pemkot bahkan menyebut lahan Kemenkumham sebagai lahan pertanian di pemkot Tangerang. Sebaliknya, Kemenkumkan mempermasalahkan tanah kementerian yang dikuasai Pemkot Tangerang.
"Lah ceritanya itu kan pemerintah kota Tangerang kota, memakai banyak tanah kita. Dulu itu kantor wali kota tanah Kemenkumham, tapi itu sudah diserahkan. Masih ada tanah-tanah Kemenkumham yang dipakai, dibangun oleh pemerintah kota tidak ada izin dari kita. Nah, kemudian saat kita membangun politeknik sampai sekarang tidak dikeluarkan izinnya. Kita sudah tahu ada, dan disurati apakah ada kekurangan izin perlengkapan, tidak dijawab-jawab," jelas Yasonna, dikutip dari Antara.
Surat Keberatan
Ketegangan makin mengemuka, kala Arief melayangkan surat bernomor 593/2341-Bag Hukum/2019 tentang nota keberatan dan klarifikasi Wali Kota atas pernyataan Menkumham. Arief mengatakan memblokade layanan umum. Pelayanan tersebut termasuk penerangan jalan umum, perbaikan drainase, dan pengangkutan sampah.
Pemkot menghentikan pelayanan meliputi Kantor Imigrasi Kota Tangerang, Rumah Penyitaan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Kelas I Kota Tangerang, Lapas Pemuda, Lapas Wanita, dan Lapas Anak.
Atas terhentinya pelayanan publik tersebut, sejumlah warga sudah mengajukan keluhan.
Meski pelayanan publik di kantor Kemenkumham dihentikan, tapi pelayanan untuk masyarakat yang tinggal di Kompleks Kehakiman dan Pengayoman tidak dihentikan. Permukiman warga tetap mendapatkan layanan dari pemkot seperti biasa.
"Itu beliau itu kasihan, kan bertentangan dengan UU pelayanan publik, dan yang diputuskan fasilitas itu kan bukan lagi milik Kemenkumham sudah memiliki pribadi-pribadi warga. Kalaupun itu milik siapa pun itu bagian dari layanan publik. Kalau lampu jalan itu kan sudah dibayarkan pajaknya langsung," tukas Yasonna.
Ia pun berharap agar Wali Kota Tangerang belajar sebelum membangun bangunan. Pengaduan ke Polri diharap bisa menjernihikan ini.
"Pertanggungjawaban keuangannya kan juga berat itu karena membangun di suatu tempat yang status hukum tanahnya bukan punya pemeritah kota. Walaupun sama-sama (aparat) negara karena ini kita hitung tanah yang ini, dikuasai itu cukup luas ditaksir harganya Rp500 miliar. Kalau sudah Rp500 miliar, itu pelepasannya kami setuju sudah sampe presiden dengan DPR, tidak mudah," jelas Yasonna.
Terhadap penghentian layanan umum, Ombudsman RI perwakilan Banten menilai langkah tersebut melanggar hukum dan mengandung unsur maladministrasi. Kepala Ombudsman RI Perwakilan Banten Bambang Sumo menyayangkan tindakan Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah yang melakukan blokade pelayanan publik.
"Warga Tangerang kan telah membayar PBB dan pajak, untuk penerangan jalan umum (PJU) yang ditarik bersamaan dengan pembayaran listrik. Itu kan kewajiban lain sebagai warga yang didapat. Oleh karena itu, penghentian pelayananan publik itu tidak patut karena bersifat tidak melayani dan diskriminatif," ujar Bambang, Selasa. (Rikando Somba)