c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

19 Desember 2018

18:00 WIB

Mengais Kehidupan Lewat Ondel-ondel Jomblo

Filosofi Ondel-ondel yang seyogianya berpasangan kini lebih sering terlihat jalan sendiri, terpisah dari pasangannya

Mengais Kehidupan Lewat Ondel-ondel Jomblo
Mengais Kehidupan Lewat Ondel-ondel Jomblo
Pengamen ondel-ondel saat melintas di samping gerobak Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (18/12) malam. Validnews/Agung Natanael

JAKARTA – "Nyok kite nonton ondel-ondel, nyoookkk, nyok kite ngarak ondel-ondel, nyookkk…" Penggalan lirik lagu ikonik  berjudul ‘Ondel-ondel’ karya seniman legendaris Betawi, Benyamin Sueb ini santer dilantunkan sekumpulan anak remaja di daerah Kramat, Jakarta Pusat, siang itu, Selasa (18/12).

Gerombolan remaja yang jumlahnya tak kurang dari 12 orang itu tampak berjejal memasuki sebuah mikrolet berwarna biru dengan rute Senen–Kampung Melayu. Tak satu pun di antara mereka berjenis kelamin perempuan dan kompak berbagi peran menenteng instrumen musik, yaitu kendang kempul, tehyan, gong, dan krecek ke dalam mikrolet.

Adapun di bagian atas mikrolet terlihat sepasang boneka raksasa yang jika dilihat dari wajahnya mencirikan perawakan pria dan wanita. Masyarakat Jakarta mengenal boneka raksasa itu dengan sebutan ondel-ondel.

Ondel-ondel sesungguhnya merupakan warisan budaya Betawi yang kental dengan alunan khas musik Betawi seta diikuti oleh gerakan tarian dari sepasang boneka dengan ciri khas berpakaian adat Betawi.

Oki, selaku pemimpin rombongan mengatakan adalah kewajiban mereka memperkenalkan dan melestarikan warisan budaya Betawi, salah satunya lewat mengamen. Oki mengaku sering berkeliling wilayah Lenteng Agung, Jakarta Selatan bersama rombongannya.

Seperti hari-hari biasanya, hari itu pun mereka mantap melangkahkan kaki meninggalkan wilayah Kramat menuju Lenteng Agung untuk mencari rupiah.

"Biasanya kite jalan dari Lenteng Agung ke Ampera," ucapnya dengan logat Betawi yang kental.

Biasanya, Oki dan kawan-kawan menyusuri jalan sejak sekitar pukul 4 sore hingga menjelang pukul 10 malam. Pada pukul 10 malam itulah Oki dan kawan-kawannya akan dijemput dengan mikrolet yang sama di tempat pemberhentian terakhir.

Sembari menunggu jemputan, anak-anak terbiasa menghitung jumlah penghasilan yang diraih selama beberapa jam mengais peruntungan dari ondel-ondel. Rata-rata per hari yang didapat, berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp300 ribu. 

"Kita bagi rata ke anak-anak. Tapi kalo lagi hujan, penghasilan lebih sedikit," cerita Oki.

Bukan hanya penghasilan yang fluktuatif saja, kerap kali dalam perjalanan juga bentrok pengamen lainnya, lantaran dulu-duluan ngamen dan dapat receh lebih dulu.

Dikatakan Oki, hal ini dilakukan sejak empat tahun ke belakang. Sebab, sanggar yang didirikan oleh keluarga besarnya mulai mengalami penurunan pesanan ondel-ondel, baik untuk karnaval ataupun acara adat lainnya.

“Daripada ngejogrok (diletakkan begitu saja) di teras rumah, mending kite kenalin deh tuh ke masyarakat. Kalo bukan kita, siapa lagi," tegasnya.

Warisan Budaya
Keinginan Oki untuk mengenalkan ondel-ondel kepada masyarakat luas adalah tujuan mulia. Terlebih sejak lama ondel-ondel telah mewarnai kehidupan budaya Betawi. Dalam catatan sejarah, dari catatan W. Scot, seorang pedagang Inggris yang pada awal abad ke-17 berada di Banten (dikutip oleh W. Fruin Mees dalam bukunya yang berjudul Geschiedenis Van Java, jilid II), ditulis bahwa kemunculan ondel-ondel sudah ada sejak tahun 1605.

Saat itu, Pangeran Jayakarta Wijayakrama yang ikut iring-iringan dalam merayakan khitanan Pangeran Abdul Mafakhir, disebutkan antara lain membawa boneka berbentuk raksasa.

Raksasa itu, atau yang sekarang dikenal dengan ondel-ondel ini, lazim dianggap perwujudan Danyang Desa, penolak malapetaka. Sejak saat itulah, orang-orang betawi pada masa itu percaya bahwa ondel-ondel dapat mengusir roh jahat ataupun penyakit.

Di daerah Cirendeu, Ciputat, ondel-ondel digunakan dalam upacara atau pesta baritan (bersih desa) setelah panen raya di antara bulan Juli–Agustus (saat itu).

Sempat juga, saat itu, pada perayaan tahun baru, baik masehi maupun imlek, ondel-ondel mengadakan pertunjukkan keliling, ngamen, di daerah elite, seperti Menteng yang dihuni oleh orang-orang Kristen. Pada Masa itu, pendukung utama kesenian ondel-ondel, khususnya adalah orang-orang pinggiran kota yang terdiri dari petani dan golongan abangan.

Sejarawan JJ. Rizal yang menyatakan bahwa ondel-ondel merupakan tradisi masyarakat agraris Betawi.

"Itu bagian dari upacara adat menyambut musim baru menanam. Ondel-ondel adalah bagian utama dari upacara itu yang berfungsi sebagai tolak bala agar semua kejahatan dan keburukan lenyap," ucap Rizal, saat dihubungi Validnews, Senin (17/12).

Setiap akan mengadakan pertunjukkan atau mengeluarkan ondel-ondel dari tempatnya, mereka melaksanakan upacara ngukup atau ukup, yaitu ritual menyediakan sesajen dan membakar kemenyan agar pertunjukkan dapat berjalan dengan lancer dan selamat.

Dia menjelaskan, wajah ondel-ondel perempuan diberikan warna putih sebagai arti bahwa ondel-ondel perempuan merupakan lambing dari jiwa kebaikan dan kesucian.

“Sedangkan (ondel-ondel) yang laki-laki manifestasi hal buruk atau jahat sehingga wajahnya merah bertaring,” terang Rizal.

Lantaran fungsi sakralnya, ondel-ondel kala itu, dibuat dengan mantra-mantra dan sesaji. Setelahnya, masyarakat percaya, ondel-ondel akan dimasuki dewa penolong. Jadi, untuk melawan dan mengusir roh-roh jahat, mereka harus dipikul dan diarak berkeliling kampung.

Warga juga diminta menabuh kentongan, memukul pohon-pohon besar, serta memasang sesaji pada tempat keramat. Sesaji yang disiapkan terdiri dari telur ayam kampung mentah, rokok lisong/ cerutu, kembang dan kemenyan, sirih, kopi manis dan kopi pahit, rujak tujuh rupa, limun, pisang ambon, kelapa, beras, minyak tanah dan minyak kelapa.

“Jadi, hakikatnya ondel-ondel memang mengamen. Keluar masuk kampung karena fungsinya sebagai tolak bala,” lanjut Rizal.

Ia menambahkan, kampung yang dilalui ondel-ondel akan berterima kasih karena dijauhkan dari bala. Atas jasanya, ondel-ondel lalu disawer, uang atas jasa pengamanan spiritual. Jadi bisa dikatakan, maraknya ondel-ondel ngamen, justru mengembalikan tradisi awal ondel-ondel.

“Karena ketidakpahaman tradisi, sejarah, serta pandangan konsep adiluhung budaya maka ada respons seolah-olah itu merendahkan, padahal itulah tradisinya.” kata Rizal.

Ondel-ondel memang terkesan seram dan mistik. Namun, dalam catatan Ragam Seni Budaya Betawi yang cetak tahun 2001, sampai tahun 1990-an kesan seram dan mistik mulai bergeser yang membuat ondel-ondel semakin disukai banyak orang. Ia adalah Hasyim, seorang seniman ondel-ondel yang mengkreasikan ondel-ondel tidak ditakuti masyarakat. Bahkan tidak sedikit orang sudi berfoto bersama ondel-ondel.

Kreasi yang dilakukan Hasyim yakni menggunakan warna-warna menarik. Wajah yang lebih cantik dan tampan, namun artistik yang disertai pakaian dengan motif dan warna yang menarik.

Ondel-Ondel Jomblo
Tidak semua pengamen ondel-ondel berfokus pada nilai budaya. Beberapa pengamen ondel-ondel justru mengakui bahwa tujuan mereka mengamen dengan ondel-ondel adalah mencari keuntungan ekonomi.

Ditemui di kawasan Daan Mogot, Jakarta Barat, pasangan Azwar dan Lastri mengakui bahwa mereka menjadikan ondel-ondel sebagai alat untuk mengamen, dengan tujuan untuk mendapatkan rupiah sebagai bekal hidup mereka setiap hari.

Terlihat memang dari apa yang mereka tampilkan, berbeda dengan arakan ondel-ondel yang dilakoni Oki dan kawan-kawan.  Jika Oki menyajikan tarian ondel-ondel dengan iringan alat musik lengkap, Azwar dan Lastri hanya menggunakan pengeras suara dan lagu “kicir-kicir” yang diputar dari alat pemutar kaset.

Persamaannya dengan ondel-ondel yang diarak oleh Oki, pasangan suami istri ini juga menyusuri permukiman warga. Azwar berperan menggerakkan badan ondel-ondel. Sedangkan sang istri berperan memungut sumbangan sukarela dari warga. Lastri menggunakan ember bekas cat untuk menampung receh demi receh yang dia dapat. 

"Awalnya sih coba-coba, tapi sekarang keterusan. Kadang bertiga sama teman," ungkap Azwar, Sabtu (15/12).

Profesi ini dilakukan Azwar setelah dua tahun ke belakang kontrak kerjanya sebagai office boy di salah satu perusahaan di Jakarta berakhir. Sebetulnya sudah beberapa kali melamar ke perusahaan lain, tapi nasibnya belum mujur.

Hingga pada akhirnya Azwar nekat mengambil alih profesi ngamen untuk mencukupi kebutuhan hidup anak dan istrinya. Dia mengakui penghasilan yang didapat dari ondel-ondel terbilang lumayan.

“Kalau lagi rame kita dapat Rp200 sampai Rp250 ribu. Itu juga nanti dipotong biaya sewa dan ongkos transportasi,” ungkapnya.

Lalu kenapa Azwar hanya menggunakan satu ondel-ondel saja. Karena sesuai dengan nilai budaya dan sejarahnya, ondel-ondel adalah sepasang, terdiri dari ondel-ondel berperawakan pria, dan ondel-ondel perawakan wanita.

Terkait hal ini, Azwar mengungkapkan bahwa untuk mengamen ondel-ondel, diperlukan biaya sewa sebesar Rp50 ribu untuk satu ondel-ondel. Artinya, jika harus menyewa sepasang ondel-ondel, uang yang harus disiapkan sebesar Rp100 ribu. Itu pun berarti dia harus menambah personil, yang tentunya akan berdampak pada pembagian hasil.

Cerita Azwar tak jauh berbeda dengan Wawan yang ditemui Validnews saat mengamen ondel-ondel di Kawasan Cawang, Jakarta Timur. Dia mengakui biasa mengamen ondel-ondel hanya berdua dengan temannya. Dia yang menari dengan ondel-ondel dan temannya yang memungut sumbangan.

Menurut Wawan, sebenarnya dia memiliki grup pertemanan yang sama-sama berprofesi sebagai pengamen ondel-ondel. Namun, diakui dia bahwa mereka berpisah di jalan dengan masing-masing membawa satu ondel-ondel.

Dia menyebutkan, membawa satu ondel-ondel dengan membawa sepasang ondel-ondel hasil yang didapat tidak jauh berbeda. Karena itu mereka memilih untuk membawa ondel-ondel satu saja.

“Jadi ada yang bawa ondel-ondel yang cowok, dan ada yang bawa ondel-ondel yang cewek. Bawanya dipisah,” jelas Wawan.

Dari cerita para pengamen itu terlihat jelas bahwa alasan ekonomi adalah faktor terbesar yang membuat ondel-ondel kini tak lagi berjalan sepasang beriringan. Banyak ondel-ondel diarak terpisah dari pasangannya. Padahal sebagai warisan budaya, ondel-ondel yang diarak harus sepasang.

Fenomena ondel-ondel jomblo ini menarik perhatian sejumlah budayawan Betawi. Salah satunya pegiat budaya Betawi, Martin Maulia yang menyatakan bahwa dirinya sedih akan fenomena ondel-ondel saat ini.

 "Jujur ane sedih ngeliatnye. Karena budaya ondel-ondel yang esensinya dijadikan acara adat, tapi dipakai buat minta-minta," ucap Martin, saat dihubungi Validnews, Jumat (14/12).

Apalagi, kata dia, banyak pengamen yang menggunakan ondel-ondel hanya satu jenis. Padahal ondel-ondel diidentikan dengan berpasangan (laki-laki dan perempuan).

 "Kalo kite lirik ke sejarah, sebetulnya itu sudah melanggar aturan, enggak boleh itu (ondel-ondel jomblo). Ane larang," ucap pria yang juga merupakan Pemimpin Sanggar Seni Budaya Betawi Rifky Albani ini.

Dikatakan Martin lagi, menurutnya penyebab ondel-ondel jomblo ada beberapa faktor, antara lain biaya sewa yang mahal dan ingin mendapatkan keuntungan yang lebih. 

"Kalo dari segi pengamen mereka lebih dapat banyak karena enggak terlalu banyak anggota, dan hasil baginya sedikit orang," kata dia.

Martin menegaskan, dirinya mengecam keras segala tindakan berbau ondel-ondel yang digunakan untuk mengamen.

Ane berjuang keras untuk tetap menjadikan ondel-ondel sebagai Ikon Jakarta. Bukan dikenal khalayak umum sebagai alat ngamen di Jakarta,” katanya lagi.

Sebetulnya, Martin sempat melayangkan surat ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) untuk menindak dan membina aset budaya Betawi ini. Namun, menurutnya surat yang sudah dikirimkan sejak tahun 2017 itu tak kunjung mendapat respons hingga saat ini. 

Tidak ada kelanjutan dari hal itu, dirinya pun pasrah terhadap keberadaan yang semakin tidak karuan. Padahal, disebutkan dia, Betawi memiliki tiga unsur, yakni “salat, silat, dan solawat”. Namun, banyak pengamen ondel-ondel tidak mencerminkan unsur tersebut.

Hal senada diucapkan oleh salah satu Budayawan Betawi yang merupakan pimpinan Sanggar Si Pitung, Bachtiar. Dia mengingatkan, merujuk pada asal-usul ondel-ondel, jika warisan budaya tersebut ingin ditampilkan, harus tampil secara berpasangan.

“Tetapi sekarang kan aneh karena dipisah. Perpisahan ondel-ondel ini karena kebutuhan ekonomi tadi dengan cara pembagian hasil dari ngamen,” tutur Bachtiar kepada Validnews saat ditemui d sanggarnya, Jumat (14/12).

Dia menyebutkan, kebanyakan pengamen berdalih ingin melestarikan budaya Betawi dengan ondel-ondel.

“Dimana dia mengembangkan dan melestarikan ondel-ondel tampil seadanya, kalau ondel-ondel jalan sendiri, mendorong gerobaknya sendiri dan beberapa hal lainnya,” ucap Batchiar.

Ada beberapa hal yang begitu mengganggu Bachtiar. Pertama, sebagai seni yang adiluhung, ondel-ondel tidak seharusnya dijadikan alat untuk ngamen. Kedua, terjadi pergeseran budaya dalam arakan ondel-ondel ketika pemain musik telah digantikan oleh rekaman kaset. Artinya, kata Bachtiar, esensi seni ondel-ondel hilang.

“Sebagai seniman saya cukup prihatin karena Indonesia yang ibu kotanya Jakarta dan penduduk intinya Betawi. Selain itu, kita juga tuan rumah di sini kenapa harus menjadi pengamen ondel-ondel di rumah sendiri,” ucap dia.

Dia juga menyebutkan, banyak pengamen ondel-ondel yang ternyata bukan penduduk asli Betawi. Terlebih dia pernah menemukan adanya pengamen Betawi yang dari sikap dan perawakannya tak menunjukkan identitas budaya Betawi itu sendiri.

Bachtiar pernah menemukan pengamen ondel-ondel yang terlihat urakan, berpakaian seenaknya dan ondel-ondel yang digunakan terlihat tidak terawat.

Dia juga mengingatkan bahwa penggunaan ondel-ondel tidak hanya sekadar dimainkan saja. Dulunya ondel-ondel memiliki ritual khusus yang harus dilakukan.

“Maka dari itu untuk orang yang masuk ondel-ondel tidak bisa sembarang orang yang memainkan itu,” jelasnya.

Peran Pemerintah
Bachtiar mengharapkan pemprov untuk merespons pengamen ondel-ondel supaya tidak berkeliaran.

Karena rencananya melalui Perda DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 dan Pergub Nomor 11 tahun 2017 tentang ikon Budaya Betawi, ondel-ondel harus mendapatkan tempat terhormat di tanahnya sendiri. Dengan begitu ondel-ondel tak perlu lagi digunakan untuk mengamen, melainkan ditempatkan di mal, hotel atau tempat rekreasi di Jakarta.

Ketua Majelis Tinggi Badan Musyawarah (Bamus) Betawi, Eddi Marzuki Nalapraya mengharapkan sikap pemerintah agar lebih tegas menindak ondel-ondel kelliling.

“Kita telah mengarahkan mereka. Salah satunya untuk menindak dan membina pengamen itu,” kata Eddi saat dihubungi, Selasa (18/12).

Selain itu, disampaikan Eddie, setelah melakukan penindakan jangan sampai para pengamen ondel-ondel itu ditelantarkan begitu saja.

“Setelah ditindak, mereka harus diberikan pelatihan skill misalnya, lalu buatkan lapangan pekerjaan. Itu lebih baik daripada minta-minta,” tegas Eddie.

Memang, menertibkan para pengamen atau seniman jalan ondel-ondel bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, hampir tiap wilayah ibu kota memiliki sanggar ondel-ondel yang resmi dan tidak resmi.

Bedanya, pengamen yang tidak resmi menggunakan musik dari kaset. Sementara, seniman ondel-ondel yang terdaftar di pemprov memainkan ondel-Ondel dengan iringan musik secara live menggunakan alat musik. 

Maka dari itu, belakangan, Pemprov DKI Jakarta telah bekerja sama dengan perkumpulan pegiat kesenian ondel-ondel untuk membina para pengamen ondel-ondel jalanan. Kelak, para pengamen akan dibina dan diajarkan kebudayaan ondel-ondel seutuhnya. Jadi, tampil di jalanan sesuai dengan budaya yang ada.

Terkait hal ini, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata Asiantoro menyatakan, menjelang pergantian tahun 2018, pihaknya telah beberapa kali berdiskusi bersama Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), dan Badan Musyawarah (Bamus) Betawi guna mencari cara untuk menata keberadaan ondel-ondel ibu kota.

Harapannya, perbincangan pemprov dengan pegiat ondel-ondel itu bisa menghasilkan cara untuk membina para seniman jalanan ibu kota agar lebih tertata rapi saat menampilkan kesenian budaya Betawi di Jalanan.

Sebab, saat ini, banyak seniman jalanan yang menggunakan ondel-ondel dengan mengenakan kostum yang tak layak. Khawatirnya, sebagian masyarakat merasa tak nyaman dengan kehadiran hiburan tersebut.

Masalah lainnya, beberapa seniman yang beraksi di pinggir jalan, sering meminta uang kepada warga sekitar secara paksa. Aksi ini, bertentangan dengan Perda DKI Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

“Dari aturan tentang ketertiban umum tidak boleh ngamen. Nanti kita akan memberikan pengertian kepada seniman ondel-ondel supaya lebih tertib,” kata Asiantoro, saat ditemui Validnews di kantornya, Selasa (18/12).

Lebih lanjut, Asiantoro menjelaskan, sesungguhnya, Pemprov DKI Jakarta memiliki program untuk melestarikan ondel-ondel sebagai bagian budaya Betawi ini. Salah satunya, dengan mewajibkan pemerintahan kota yang menyelenggarakan acara besar wajib menampilkan ondel-ondel.

“Kita punya lima wilayah dan satu kabupaten di kepulauan seribu. Mereka kalau bikin acara harus menampilkan ondel-ondel,” lanjutnya.

Asiantoro mengaku, pernah membawa ondel-ondel ke pentas seni di Dumai, Pekanbaru dan Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Tujuannya, untuk memotivasi sanggar ondel-ondel di ibu kota agar bersaing ketat menjadi yang terbaik sehingga dapat tampil di berbagai wilayah.

“Para sanggar kan tidak pernah berpikir dapat membawa ondel-ondel keluar daerah naik pesawat. Makanya, mereka harus berusaha menjadi yang terbaik,” lanjut Asiantoro.

Asiantoro menceritakan, sejak kecil dia telah melihat ondel-ondel digunakan masyarakat untuk mengamen di jalanan. Bedanya, sewaktu kecil dia melihat ondel-ondel itu diringi oleh seluruh alat musik Betawi.

“Ada gendang, ada gong. Semua lengkap,” tambahnya.

Diakuinya, memainkan alat musik tradisional ala Betawi bukanlah hal yang mudah. Karena itulah, pemprov berencana memberikan pembinaan kepada seniman jalanan maupun seniman yang ada di sanggar agar dapat memainkan alat musik itu dengan baik.

“Pada 2019 mendatang, kita akan intensifkan pembahasan ondel-ondel ini. Targetnya akan berjalan,” jelasnya.

Kendati demikian, Asiantoro mengapresiasi upaya pengamen untuk melestarikan kebudayaan ondel-ondel di tengah modernisasi yang ada. Para seniman jalanan ini menunjukkan upaya generasi muda untuk memperkenalkan budaya Betawi itu.

Sejauh ini, belum ada peraturan dari Pemprov DKI Jakarta yang melarang keberadaan pengamen ondel-ondel. Jadi, untuk penertiban perihal aktivitas mengamen yang dilakukan, diakui oleh Asiantoro bukan masuk dalam ranah kewenangannya.

Dasar Hukum
Terkait pembinaan, Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Irmansyah mengatakan pihaknya akan melakukan pembinaan kepada pengamen ondel-ondel yang masih beroperasi di seputaran wilayah Jakarta, apabila melanggar ketentuan Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

"Harusnya tidak boleh. Apalagi melibatkan anak-anak. Sudah itu mereka kelilingnya malam hari. Apalagi kalau sampai mengganggu ketertiban, bisa kita tertibkan," kata Irmansyah, Selasa (18/12).

Menurut Irwansyah, dasar hukum yang dipakai dalam penertiban ondel-ondel tersebut tertuang pada Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, dan Pergub Nomor 221 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2007.

Dalam pasal 40 Poin a, b, c, tertulis dengan jelas bahwa setiap orang atau badan dilarang menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan penggelap mobil; menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan penggelap mobil; membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen dan penggelap mobil.

Irmansyah melanjutkan bahwa pengamen dengan ondel-ondel yang diarak masuk dalam kategori mengganggu lingkungan sekitarnya. Pasalnya pengamen ondel-ondel, lanjut Irmansyah, kerap kali meresahkan masyarakat.

"Kalau mereka jalan suara mengganggu, dan lalu lintas terganggu juga karena memakan badan jalan ondel-ondelnya. Mengintimidasi orang-orang juga seolah olah mereka meminta juga seperti memaksa," katanya.

Sedangkan, untuk pembinaan menurutnya, tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 Pergub DKI Jakarta Nomor 221 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2007, tertulis pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ketertiban umum dilaksanakan oleh Satpol PP bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.

Dalam pasal 5 ayat 1 Pergub DKI Jakarta Nomor 221 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2007, tertulis dalam rangka pembinaan, pengendalian dan pengawasan penyelenggaraan ketertiban umum, Satpol PP dan SKPD terkait antara lain berwenang melakukan 17 tindakan, salah satunya adalah razia.

"Jadi nanti apabila ada yang ditertibkan, barang-barang mereka kita amankan dan lakukan pembinaan. Setelah selesai pembinaan mereka bisa mengambil alat mereka, tapi tidak boleh mengamen lagi," ungkap Irmansyah.

Dia melanjutkan, penggunaan ondel-ondel bisa diizinkan, apabila untuk kepentingan kebudayaan, pemprov membolehkan pertunjukkan ondel-ondel di permukiman warga. Ia juga berharap selain dinas, sanggar-sanggar yang melestarikan budaya ondel-ondel lebih proaktif melakukan pembinaan kepada ondel-ondel yang meminta uang tersebut. 

"Tapi kalau untuk kebudayaan kan beda lagi. Mereka sudah biasa untuk tampil di kampung-kampung, di lapangan," lanjutnya.

Selain itu juga, pengamen ondel-ondel tidak akan ditertibkan apabila masih berada di zona tiga atau jalan kecil tidak dijangkau. Irmansyah menjelaskan, zona satu merupakan area strategis yang harus steril atau bebas dari penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), seperti jalan-jalan protokol. Zona dua adalah jalan besar di luar jalan protokol, sementara zona tiga adalah jalan yang lebih kecil. Meski begitu, pihaknya akan terus melakukan pengawasan terhadap ondel-ondel yang meminta uang.

"Kalau ingin melestarikan budaya kan banyak cara lain. Mereka bisa ke tempat yang sudah ditetapkan oleh pariwisata budaya. Mengamen dengan ondel-ondel di jalan bukan menjadi alasan," tandasnya. (Fajar Setyadi, Annisa Dewi Meifira, James Manullang, Benny Silalahi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar