13 Juli 2019
19:12 WIB
JAKARTA – Sudah hampir 4 tahun ke belakang, kawasan Jalan Raya Condet mendadak tersulap menjadi tempat festival yang erat dengan budaya Betawi. Diberi tajuk Festival Lebaran Betawi Condet, jalan raya sepanjang 2 kilometer yang berada di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, tersebut ramai dipenuhi stan yang berisi jajanan khas Betawi maupun jajanan umum lainnya. Bahkan ondel-ondel dan jali-jali pun pun tak lupa selalu dipajang di depan pintu masuk festival tersebut.
Festival yang biasa digelar saban bulan Juli tiap tahunnya, seakan mengukuhkan bahwa Condet adalah kampung anak Betawi. Penyelenggaraan Festival Lebaran Betawi di kawasan ini pun dikerjakan oleh para anak-anak kampung asli yang tergabung dalam Yayasan Cagar Budaya Betawi Condet.
Festival ini pun sebenarnya merupakan bagian promosi pariwisata Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bagi kalangan anak Betawi asli, pengusungan festival ini tak lain merupakan upaya agar budaya mereka di Jakarta tak kian tergerus. Di mana salah satunya dengan menampilkan beragam kesenian yang dapat “manggung” dalam rangkaian acara Festival Lebaran Betawi Condet tersebut.
Aktivis Budaya Betawi yang juga Ketua Komunitas Baca Betawi, Rahmad Sadeli menyatakan, Condet termasuk salah satu daerah yang masih mempertahankan tradisi Betawi hingga kini. Condet pun identik sebagai kampung asli orang Betawi yang sampai sekarang masih bertahan.
"Condet, Tanah Abang, sebetulnya kampung-kampung Betawi masih kuat ditandai dengan masih adanya seni pertunjukan DKI. Jadi, itu menunjukkan mereka punya eksistensi dengan pertunjukan budaya," ujarnya kepada Validnews melalui sambungan telepon di Jakarta, Kamis (11/7).
Untuk kawasan Condet sendiri, Sangar Seni Firman Muntaco menjadi sanggar besar yang harum namanya. Saat ini, sanggar seni yang piawai menampilkan beragam kesenian Betawi tersebut dipimpin oleh Fifi, anak dari Firman Muntaco. Anak keempat dari 10 bersaudara ini mulai mengambil alih tampuk kekuasaan di sanggar setelah ayahnya meninggal di kisaran tahun 1993.
Sanggar ini sudah mewarnai dunia seni Betawi sejak tahun 1979. Sebelumnya, mendiang Firman Muntaco dan seluruh keluarga menetap di Jalan KS Tubun, Jakarta Barat. Namun, penghasilannya sebagai penulis di era tersebut kurang mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Akhirnya, sang ayah harus menjual harta paling berharga, yakni rumah di tengah kota. Sekeluarga pun mereka hijrah ke daerah pinggiran. Condet tepatnya.
Pasca-hijrah itu, Firman Muntaco dan keluarga tak lagi mengurus sanggar seninya di Jakarta Barat. Jangankan memikirkan bagaimana berkarya seni, kala itu Condet masih sangat sepi. Tak terpikirkan berkarya, mendiang dan keluarga masih beradaptasi dengan daerah pinggiran.
Lambat laun wilayah Condet semakin ramai. Sang ayah yang juga seorang seniman pertunjukan tetiba diminta menghadirkan pertunjukan di hadapan Kedutaan Besar Amerika Serikat yang ingin bertandang ke Condet.
"Bapak dihubungin orang AS. Katanya kita mau datang kasih tontonan dong di Condet. Mau enggak mau adek saya disunat, ngarak penganten sunat bebeneran," cetusnya.
Adiknya, anak bontot yang masih berusia enam tahun pada tahun 1988, akhirnya menjadi “tontonan” para tamu bule. Pada era itu, prosesi sunat masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan bengkong. Ketika itu proses sang adik dari saat sunat hingga diarak memakai tandu dipertontonkan di depan tamu asing.
"Orang AS senang banget lihat ini," kata wanita kelahiran 19 Agustus 1959 tersebut.
Tak lama berselang Fifi pun menikah di Desember 1991. Saat itu, mendiang Firman Muntaco kembali menggelar pertunjukan seni, yakni palang pintu. Sejak itulah, pertunjukan seni Betawi mulai marak di kawasan Condet dengan Firman Muntaco sebagai pelopor.
"Tadinya nggak ada kesenian di Condet," ungkap ibu dua anak ini.
Sampai saat ini pun, Sanggar Seni Firman Muntaco masih sangat eksis di kawasan tersebut. Buktinya, hingga tahun 2019, Sanggar Seni Firman Muntaco masih laris sebagai pengisi berbagai acara. Mulai acara pernikahan, sunatan, perkumpulan maupun berbagai hajatan kerap mendatangkan sanggar ini.
"Ya adalah setahun kita main 50-an kali," ungkapnya.
Sanggar kerap menampilkan Seni Samrah, Teater Lakon, Gambang Kromong dengan musik yang sering menggunakan Akordeon agar tercipta irama mendayu-dayu.
"Pentas dengan musik yang mendayu-dayu itu yang dikhawatirkan Bapak saya akan punah. Tapi akhirnya Samrah sekarang banyak," ungkapnya.
Fifi mengaku, kini begitu banyak cabang kesenian Betawi lainnya yang tumbuh di kawasan itu. Seiring dengan semakin banyaknya orang yang menyadari keberadaan Condet yang dulu sempat tak terlacak. Kini, sanggar seni di Condet tumbuh bak jamur di musim penghujan. Beberapa seni pertunjukan yang berkembang di sana, antara lain silat, palang pintu, samrah, teater lakon, tari topeng, dan gambang kromong.

Terkikis Masa
Condet hanyalah satu kampung Betawi yang ada di Jakarta. Sejatinya jika menelisik jauh ke belakang pada era kolonia, jumlah kampung Betawi di kawasan Jayakarta bisa mencapai 70 kampung. Hal tersebut diungkapkan arkeolog Betawi dari Universitas Indonesia (UI), Candrian Attahiyat, dalam kanal YouTube Betawi Kita,
Beberapa kampung yang disebut adalah Angke, Bandan, Kayu Putih, Kalimati, Karet, Kebun Jeruk, Kelapa Gading, Kemayoran, Kemandoran, Koja, Kwitang, dan Manggarai. Ada juga perkampungan Betawi di Mangga Dua, Matraman, Menteng, Palmerah, Petamburan, Salemba, Sawah Besar, Slipi, Tanah Abang, Tambora, Cipinang, dan lain-lain. Namun sejatinya kini, Candrian menilai kampung Betawi sudah tidak ada.
"Namanya doang kampung, tapi penampilan kota. Gambaran sekarang itu tidak ada kampung," katanya kepada Validnews melalui sambungan telepon, Kamis (11/7).
Menurutnya, perkampungan sebenarnya erat dengan aktivitas pertanian. Namun, lahan pertanian sendiri di Jakarta kini nyaris tidak ada. Karena itulah, menjadi tidak cocok bila ada yang menyebut kampung Betawi. Soalnya kampung di Jakarta itu adalah perpaduan antara kampung dan kota.
"Kalau zaman dahulu, tahun 1960-an masih bisa kampung. Orang Jakarta tahun 1950 apa 1960 itu disebut kampung besar, bahasa Inggrisnya the big village," ujar pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Arkeologi Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta ini.
Mengenai kampung Betawi sendiri pada era kolonial, biasanya terletak di pinggiran kota. Ya, dahulu kawasan kota Batavia letaknya hanya di kawasan Kota Tua dan Weltreveden di kawasan Monas dan Lapangan Banteng.
"Kotanya kan di Lapangan Banteng. Kwitang itu di luar kota. Di situ, pinggiran Kota Weltevreden dan Batavia muncul yang namanya kampung lokal yang umumnya orang Cina, orang Arab dan orang Betawi," paparnya.
Dari ketiga etnis tersebut, ia menjelaskan, kampung mayoritas adalah pemukiman Betawi.
Kini menurut Kepala Bidang Nilai Budaya dan Sejarah (NBS) Disparbud DKI Jakarta, Karnedi, kawasan Kampung Betawi yang tercatat di pihaknya hanya tiga. Ketiganya, yakni Setu Babakan, Condet, dan Pesanggrahan.
“Tercatat khusus yang resmi di kita kan yang jadi PPB itu. Pusat Perkampungan Betawi (PPB) di Setu Babakan," infonya kepada Validnews di Jakarta, Jumat (12/7).
Rahmad Sadeli yang merupakan aktivis Betawi mengakui, kampung Betawi semakin terkikis. Hal ini tak lepas dari keberadaan DKI Jakarta sebagai ibu kota yang konsekuensinya adalah Jakarta terus membangun. Para pendatang pun membutuhkan properti untuk tempat tinggal.
"Kita enggak bisa bertahan karena nyari udara segar. Semua mahal. Makanya orang tua, meninggal dibagi-bagi tanahnya. Itu makanya jadi penyebab berkurang juga kampung Betawi," paparnya.
Ia juga mencontohkan di era Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, Jakarta tengah membangun Senayan untuk pusat olah raga. Akhirnya, warga Betawi asli di daerah itu pindah ke kawasan lain seperti Tebet misalnya.
"Mereka merelakan tanahnya dijadikan atau malah memberi untuk pembangunan," kata Rahmad.
Rahcmad menyatakan, ada beberapa nama kampung yang kini tak terdengar lagi disebut. Bisa jadi kampungnya hilang atau memang sudah berganti nama, seperti kampung Petunduan, Percandraan, atau kampung Pisangan di Ampera.
Iyos yang sudah menetap sedari lahir di Condet pun mengakui banyaknya tanah-tanah yang dijual orang Betawi alis kepada pendatang di kawasannya. Karena itulah, tak sulit menemukan etnis lain di kawasan Condet.
"Di sini banyak pendatang dari Jawa atau Sunda. Ambon juga ada," ungkap warga berusia 46 tahun ini.
Penduduk asli sendiri pindah ke daerah-daerah penyangga Jakarta, seperti Depok hingga Bogor. Namun, sebagai penduduk asli, dirinya dan warga Condet lain tak pernah ambil pusing dengan kehadiran para pendatang.
"Orang Condet sifatnya masa bodo. Tapi kalau sudah dihina ibarat mbangunin macan lagi tidur," celetuknya.

Lewat Seni
Walaupun warga asli Betawi di Condet sudah mulai pindah ke daerah lain, kelekatan Betawi tak jua terhempas dari kawasan ini. Ditilik-tilik, nyatanya remaja pertunjukan seni ikut membantu kawasan kampung Betawi ini mempertahankan predikatnya.
Selain Condet, daerah yang juga kental dengan budaya Betawi saat ini bisa ditemui di kawasan Kebayoran Lama, Rawa Belong, Tanah Abang, Marunda, Tanjung Priok dan lain-lain.
Menurut Rahmad, daerah itu biasanya masih banyak dihuni seniman Betawi yang ditandai dengan adanya sanggar seni.
Pegiat majalahbetawi.com ini menilai eksistensi kampung Betawi terlihat dari banyaknya seni pertunjukan dari daerah tersebut.
"Itu kan yang menunjukkan bahwa budaya Betawi masih hidup. Karena butuh kelompok orang untuk buat kegiatan itu," tambahnya.
Dijelaskan bahwa suku Betawi tersendiri menyebar di Jakarta dan sekitarnya dan terbagi dalam Betawi pesisir, Betawi tengah, dan Betawi pinggir. Menurut Rahmad, di semua bagian persebaran Betawi, kampung-kampung masih ditemui.
Sebut saja di Marunda, Tanjung Priok, Ancol sebagai Betawi Pesisir. Lalu Betawi tengah ada kawasan Tanah Abang, Sawah Besar, Slipi. Kemudian Betawi pinggir di Condet, Lenteng Agung, maupun Setu Babakan.
Ketiga persebaran suku Betawi membuat karakteristik ketiganya juga berbeda. Contohnya di daerah pesisir mempunyai kuliner khas gabus pucung. Lalu Betawi tengah yang kental dengan nilai agama Islam sehingga melahirkan seni seperti gambus. Dari segi dialek bahasa Betawi pun berbeda.
"Tapi semuanya menggunakan bahasa Melayu Betawi," tambahnya.
Rahmad mengaku senang dengan kebudayaan Betawi yang masih lestari hingga saat ini. Menurutnya, baik pemerintah daerah maupun masyarakat Betawi sendiri punya peran positif untuk mempertahankan tradisi.
Misalnya sanggar seni Setia Warga Haji Bokir yang menampilkan Seni Tari Topeng. Lalu ada wayang kulit dari Jagakarsa yang dibawakan Ki Dalang Surya Bonang misalnya.
Pelestarian budaya Betawi, kata Rahmad, juga didukung oleh Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 11 tahun 2017 Tentang Ikon Budaya Betawi. Perda ini menetapkan Ondel-ondel; Kembang Kelapa; Ornamen Gigi Balang; Baju Sadariah; Kebaya Kerancang; Batik Betawi; Kerak Telor; dan Bir Pletok sebagai ikon budaya Betawi.
Kawasan Wisata
Ke depan, Rahmad mengharapkan budaya Betawi dapat terus dilestarikan dalam beberapa media. Selain seni, Rahmad juga merekam sejarah dan budaya Betawi melalui literatur. Ia juga giat menerbitkan karya sastra maupun tulisan ilmiah budaya Betawi.
Dia juga mengusulkan ada inovasi anak Betawi dalam menjual merchandise atau oleh-oleh khas Betawi seperti miniatur ondel-ondel, tas bergambar ikon Betawi, dan lain-lain.
"Itu seharusnya melahirkan kreativitas gali potensi dari sana. Merchandise-merchandise seperti ondel-ondel itu potensi buat orang yang datang ke Jakarta," ungkapnya.
Karnedi mengatakan, ke depan Pemprov DKI akan mengembangkan kawasan Condet sebagai PPB untuk destinasi wisata air di Sungai Ciliwung dan wisata agro untuk kebun salak di Bale Kambang. Menurutnya, hal ini selaras dengan arahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan agar Jakarta membentuk kebudayaan salah satunya melalui destinasi wisata. Hal ini akan dikembangkan dan ditindaklanjuti oleh Dinas Parbud.
Selain itu ia mengklaim, pemda sudah menghasilkan beberapa regulasi untuk mempertahankan keberadaan kampung-kampung Betawi dan mempertahankan tradisinya.
"Misalnya untuk bangunan cagar budaya yang diatur mulai dari UU sampe Perda dan Pergubnya ada" sebutnya.
Terkait cagar budaya, ada Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Lalu Perda nya Nomor 9 tahun 1999, SK Gubernur Nomor 475 Tahun 1999 tentang pelestarian dan pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya. Kemudian ada juga Pergub 36 tahun 2014 tentang Rencana Induk Kawasan Kota Tua.
Tidak terkait yang berkait dengan pelestarian cagar budayanya mulai dari UU nomor 5 Tahun 2017 terkait dengan pemajuan kebudayaan. Kemudian Perda Nomor 4 Tahun 2015 tentang pelestarian kebudayaan.
"Nah soal perkampungan Betawi ini masuk ke pelestarian budaya ini. Terus Pergub 229 tahun 2016 tentang penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi,” pungkasnya.
Kesadaran mempertahankan budaya asli menjadi penting untuk membuat suatu daerah tidak seperti tengah dijajah “pendatang”, tidak terkecuali bagi warga Betawi di Jakarta. Seni yang menjadi salah satu bahasa universal pun baiknya dimanfaatkan dengan optimal agar kampung Betawi tidak menjadi tinggal nama pada masa mendatang. (Kartika Runiasari, Agil Kurniadi, Zsyasya Senorita)