c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

03 Juli 2019

18:51 WIB

Megacity dan Ego Sektoral yang Mengganjal

Untuk menyelesaikan masalah-masalah ibu kota negara, Pemprov DKI Jakarta memerlukan bantuan sejumlah pemerintah daerah di sekitarnya

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Megacity dan Ego Sektoral yang Mengganjal
Megacity dan Ego Sektoral yang Mengganjal
Suasana Bundaran HI di lihat dari atas, Jakarta, beberapa waktu lalu. FOTO ANTARA/Rosa Panggabean

JAKARTA – Provinsi DKI Jakarta berkembang pesat menjadi kota besar dengan segala kerumitan dan kompleksitas permasalahan di dalamnya. Dari sekian banyak permasalahan, persoalan lingkungan menjadi sesuatu yang sulit menemui titik terang. 

Masalah pengelolaan sampah di ibu kota saja, misalnya, berdasarkan data yang dihimpun Validnews, diketahui selama tiga tahun belakangan, volume sampah di ibu kota terus mengalami peningkatan.

Jika pada 2016, jumlah sampah di ibu kota tercatat mencapai 6.561 ton per hari, lalu pada 2017 jumlahnya meningkat menjadi 6.875 ton per hari. Kemudian, pada 2018, total sampah di DKI Jakarta mencapai sudah tercatat mencapai 7.500 ton per hari. Sebanyak, 60% dari ribuan ton sampah ini bersumber dari permukiman alias sampah domestik.   

Ironisnya, DKI tak jua memiliki tempat pembuangan sampah yang bisa menampung ribuan ton sampah tersebut, kecuali menyewa lahan ke "negeri tetangga" Bekasi. Situasi ini diperparah dengan kebiasaan sebagian masyarakat yang masih saja membuang sampah ke sungai ataupun di sekitar pintu air.

Karena sampah yang menyumbat saluran air, dan tata ruang yang tidak teratur, tak heran, banjir pun menjadi persoalan yang terus menerus terjadi di Jakarta.

Jumlah penduduk yang terus bertambah pun menjadi permasalahan yang berhubungan dengan persoalan sampah dan banjir. Hal ini juga menjadi penyebab kemacetan yang mungkin kini dianggap biasa oleh warga Jakarta. 

Dengan tambahan masyarakat di luar Jakarta (komuter) yang melakukan aktivitas rutin harian mereka di kota ini, masalah-masalah umum makin pelik terjadi dan hingga kini masih dicari solusinya.

Selain masalah keterbatasan lahan, sumber daya lain dan alasan komuter dan penglaju ini juga yang membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mau tak mau membutuhkan campur tangan pemerintah daerah (pemda) penyangga. Di antaranya, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).

Misalnya, untuk mengelola jumlah sampah di ibu kota, Pemprov DKI Jakarta selama ini menjalin kerja sama dengan Pemerintah Bekasi agar bisa membuang sampah di Bantar Gebang.

Begitu juga, mengenai banjir, Pemprov DKI Jakarta harus merangkul Pemerintah Bogor untuk menjaga hulu dan bantaran sungai bebas dari sampah. Misalnya, membuat waduk agar air tak melimpah ke permukaan. Begitu pula untuk wilayah lainnya.

Perlunya kerja sama untuk menyelesaikan permasalahan ini, sejatinya telah disadari sejak masa pemerintahan Gubernur DKI Ali Sadikin. Pada 1965, membuat Rencana Induk Jakarta. Rancangan ini disahkan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Gotong Royong melalui Surat Keputusan Nomor 9/DPRD-GR/P/1967.

Rancangan Ali Sadikin menjelaskan, mengenai 40 peta Jakarta masa itu dan masa depan untuk rentang 20 tahun ke depan. Peta-peta tersebut menunjukkan pengembangan Jakarta ketiga wilayah Jawa Barat, yakni Bogor di selatan, Tangerang di barat, dan Bekasi di timur.

Dalam perencanan ini, Ali Sadikin sadar, pelaksanaan Rencana Induk Jakarta tak bisa berhasil hanya mengandalkan peran satu pihak saja. Pemerintah DKI Jakarta harus mendapat dukungan dari Pemerintah Jawa Barat (Jabar) hingga pemerintah pusat.

Setelah pengesahan rencana induk ini, Pemerintah DKI mengeluarkan rencana turunan pada 1966 yakni Rentjana Regional Metropolitan Djakarta. Konsep ini semacam rencana pembentukan daerah pertumbuhan baru melalui penyebaran industri permukiman, dan fasilitas umum di wilayah sekitar Jakarta, yakni Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Para perancang Rentjana Regional Metropolitan Djakarta telah menargetkan beberapa wilayah sekitar Jakarta, bisa menjadi pusat pertumbuhan baru. Wilayah itu antara lain Cibinong dan Citereup di Bogor. Cibinong diplot sebagai pusat perdagangan buah, sedangkan Citereup menjadi industri.

 

 

Jabodetabekjur
Waktu terus bergulir, dalam buku Kawasan Metropolitan: Konsep dan Definisi, seiring dengan bertumbuhnya jumlah penduduk dan meluasnya kegiatan perekonomian perkotaan, pada 1990-an, kemudian kawasan target pertumbuhan pun dikenal dengan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur (Jabodetabekjur).

Kawasan megapolitan yang sebelumnya bernama Jabotabek, berkembang menjadi ini Jabodetabekjur, dengan penambahan Depok dan beberapa kecamatan di Cianjur. 

Struktur kawasan metropolitan Jabodetabekjur dibentuk dengan pola struktur yang polisentrik atau banyak pusat. Di antaranya, DKI Jakarta sebagai pusat utamanya. Kemudian Bodetabek sebagai sub pusat yang melayani kota dan daerah otonomnya. Ditambah kawasan Puncak-Cianjur.

Kepada Validnews, Kepala Biro Tata Pemerintahan (Tapem) Provinsi DKI Jakarta Premi Lasari mengatakan, kerja sama Jabodetabekjur ini masih berlangsung hingga saat ini. Dijelaskannya, pada periode 2018 hingga 2022, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terpilih menjadi ketua Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP).

“Pimpinan lainnya adalah Gubernur Jawa Barat (Jabar) dan Banten. Anggotanya sembilan Walikota dan Bupati di sembilan kabupaten dan kota,” kata Premi, di Jakarta, Rabu (3/7).        

Memang, hingga saat ini, dasar pembentukan DKI Jakarta masih berlandaskan Undang-undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

“Kita masih mengacu itu sebagai otonom, sebagai ibu kota negara. Kerja sama ini untuk membahas DKI ke depannya,” tambah Premi.

Dijelaskannya, kerja sama ini bertujuan untuk memecahkan berbagai permasalahan di ibu kota. Seperti, masalah transportasi, penanggulangan banjir, sampah, ketahanan pangan, dan air bersih. Artinya, permasalahan ini, tak hanya menjadi tanggung jawab DKI Jakarta semata. Melainkan, diselesaikan bersama untuk mendukung DKI Jakarta sebagai Ibu kota negara.

Selain itu, kata dia, dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 363 disebutkan, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, serta saling menguntungkan.     

Tak berhenti dalam regulasi itu saja, kerja sama antardaerah juga diamanatkan dalam Peraturan Daerah DKI Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Regulasi ini menyebutkan bahwa dalam permasalahan yang bersifat regional, perlu dibangun pendekatan dan keseimbangan serta keserasian pembangunan antar wilayah.

Makanya, dalam rapat kerja yang dilakukan oleh Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Banten Wahidin Halim dan para anggotanya pada 3 April 2019 lalu, dirumuskanlah program prioritas permasalahan regional. Soal yang dibahas di antaranya, penanganan masalah banjir, transportasi, pengelolaan sampah, ketahanan pangan dan penyediaan air bersih.

“Dan program prioritas ini tertuang dalam kesepakatan bersama dan perjanjian kerja sama antar pemerintan daerah,” tambah Premi.

Alokasi Dana
Premi memaparkan, bentuk kebijakan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk memperlancar kerja sama itu adalah dengan mengalokasikan bantuan berupa keuangan sebagai bentuk insentif kepada pemda lain. Tujuannya, untuk meningkatkan sinergi dan pengembangan potensi daerah.

Dikatakannya, sepanjang 2019 ini, Pemprov DKI Jakarta telah mengalokasikan anggaran bantuan keuangan sebesar kurang lebih Rp838 miliar. Ratusan miliar ini dialokasikan untuk penanganan masalah prioritas, seperti pembangunan park and ride, pemasangan trash rack dan jaring apung sampah, serta lainnya.

“Besaran alokasi ini sesuai dengan kemampuan keuangan DKI,” katanya.

Selama kerja sama ini, Premi mengklaim, DKI Jakarta dan tiap daerah anggota BKSP telah merasakan dampak positif. Misalnya, revitalisasi Setu di Depok, hingga pembangunan kolam retensi di Bogor. Pembangunan ini diyakini akan mengurangi debit air yang masuk ke kali Ciliwung.

Dampak positif lainnya, DKI Jakarta mendapatkan pasokan air tanah dari daerah penyangga. Kemudian, pemasangan trash rack dan jaring apung sampah di wilayah perbatasan bisa mengurangi jumlah sampah masuk di kali.  

“Belum lagi, pembangunan fly over atau jalan-jalan di sekitar perbatasan. Dengan begitu kemacetan daerah perbatasan dapat dikurangi,” tambah Premi.

Soal pembangunan sarana infrastruktur ketahanan pangan, Pemprov DKI Jakarta bisa membeli kebutuhan pangan dari daerah Bodetabekjur.

“Jika infrastruktur bagus maka suplai ketahanan pangan DKI bisa terpenuhi,” imbuh Premi.

Terkait hal ini, Pengamat Tata Kota dari Universitas Indonesia (UI) Muhammad Azis mengatakan, untuk menyelesaikan ragam permasalahan di ibu kota, Pemerintah DKI Jakarta memang memerlukan sistem collaborative governance. Sistem ini mewajibkan pemerintah DKI Jakarta dengan wilayah penyangganya untuk bekerja sama.

“Kalau dalam konteks ini, tidak mungkin masalah di Jakarta diselesaikan Pemerintah Jakarta saja. Tapi melibatkan daerah di sekitar Jakarta,” kata Azis kepada Validnews, Rabu (3/7).

Selama ini, jelas Azis, DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya telah berkembang menjadi suatu sistem yang tak dapat terpisahakan. Mana lagi, selama ini wilayah penyangga ibu kota memayungi seluruh kebutuhannya. Misalnya, dari sisi permukiman, penampungan sampah dan lainnya.   

“Makanya, permasalahan Jakarta harus dilihat bagaimana mengintegrasikan permasalahan ini dengan multi daerah. Artinya Jabodetabek bisa digunakan untuk meminimalkan berbagai permasalahan yang ada di Jakarta,” jelas Azis.

 

 

Ego Sektoral
Sayang, sejauh ini kerja sama itu belum terlaksana dengan baik. Tiap pemda masih mengedepankan ego sektoral dan territorial. Seakan tak ada kolaborasi apik antar setiap pemda.  

Selama ini, Azis berpandangan, Pemprov DKI Jakarta kerap berupaya untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri tanpa campur tangan pemerintahan seperti Bodetabek.

“Birokrasi ego sektoral. Jadi Jakarta selesaikan (masalah) sendiri. Dalam konsepsi megapolitan itu tidak begitu,” tambah Azis.

Padahal, untuk menyelesaikan permasalahan sampah saja, DKI Jakarta membutuhkan Bantar Gebang, Bekasi sebagai tempat pembuangan sampah. Meski DKI Jakarta saat ini juga tengah mengembangkan teknologi untuk mengurangi pengiriman sampah ke Bantar Gebang, Bekasi.

Belum lagi, permasalahan banjir. Pemprov DKI Jakarta harus berkoordinasi dengan Pemerintah Bogor untuk mencegah air sungai meluap ke permukaan. Misalnya, terkait pembangunan waduk.

“Begitu juga dengan aliran sungai yang mengalir menuju Jakarta yang mengaliri beberapa wilayah administrasi lain. Perlu ada koordinasi yang matang supaya aliran sungainya bisa lancar tanpa ada sampah,” tambah Azis. 

Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta perlu mengambil peran vital untuk merangkul para pemda sekitarnya. Pemerintah DKI Jakarta harus menimbulkan kepercayaan kepada tiap pemda.

“Misalnya, Pemprov DKI menjelaskan keuntungan dari kerja sama ini. Artinya, bagaimana membangun trust dengan actor lain,” ucapnya.

Namun, konsekuensinya, Pemprov DKI Jakarta harus menggelontorkan anggaran yang besar. Dilalah, DKI Jakarta memang memiliki anggaran paling besar dibandingkan wilayah lainnya.  

Anggaran itu, kata dia, dapat digunakan untuk pembiayaan pengembangan proyek dan program dalam kerja sama collaborative governance. Dengan anggaran itu, Pemprov DKI Jakarta bisa mengajak pemda wilayah penyangga membangun berbagai fasilitas penunjang untuk warga yang terdampak.

“Contohnya, anggaran itu bisa dikirim ke warga Bantar Gebang yang terdampak karena sampah. Jadi jangan hanya menjadi objek dan subjek, dalam menangani masalah di Jakarta. Supaya keterlibatan itu bisa sungguh-sungguh,” imbuh Azis.  

Hal yang sama dilontarkan oleh Sekretaris Komisi A DPRD DKI Syarif. Kepada Validnews, Senin (2/7). Syarif menegaskan, kerja sama antarpemda itu wajib dilakukan. Sebab, banyak warga di perbatasan yang terdampak permasalahan ibu kota.

“Kerjasama antar pemda untuk mengurai kemacetan lalu lintas. Kerja sama penanganan banjir dengan Bogor dengan waduk, dan sampah dengan Bekasi,” kata Syarif.  

Berbeda dengan Azis, Syarif menjelaskan, kerja sama antarpemda itu telah terjalin sejak lama. Bahkan, dari pantauan dewan, mereka sering melakukan monitoring dan evaluasi.

Salah satu bentuk kerja samanya adalah pemberian kompensasi berupa bantuan hibah untuk pemeliharaan Bantar Gebang. Setidaknya, jelas Syarif, selama ini Pemprov DKI Jakarta telah mengeluarkan anggaran sebesar Rp380 miliar untuk Bantar Gebang.

“Ada pula pengolahan sampah di sungai. Ada penyaringan dari sekat-sekat sungai Ciliwung yang harus dilakukan secara bersama-sama,” kata dia.

Harus diakui, kerja sama ini kerap mengalami kendala. Seperti adanya tumpang tindih kewenangan. Misalnya, tumpang tindih kewenangan mengenai pembangunan jalan dan beberapa sektor lainnya. Nah, masalah kewenangan inilah yang perlu diselaraskan.

“Belum lagi ada tumpang tindih kewenangan dengan pemerintah pusat. Karena hal inilah, Jakarta tidak bisa dibatalkan sebagai megapolitan ataupun megacity,” tambah Syarif.

Sinergi Keamanan
Selain Pemprov DKI Jakarta, di ibu kota sejatinya ada juga pihak lain yang berkepentingan terkait dengan lintas batas kewenangan administratif. Seperti yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Metropolitan Jakarta Raya yang merupakan satu-satunya Polda di Indonesia yang diberikan tipe A khusus.

Pemberian tipe A khusus ini membuat kewenangan Polda Metro Jaya melintasi batas administratif kota atau provinsi. Sekadar mengingatkan, ada beberapa kepolisian resor (polres) di Jawa Barat dan Banten yang masuk dalam wilayah hukum Polda Metro Jaya. Seperti Polres Tangerang Kota dan Tangerang Selatan. Lalu Polres Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kabupaten Bekasi. Beberapa Polres ini masuk ke wilayah hukum Polda Metro Jaya karena berada di wilayah penyangga ibu kota negara.     

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo menuturkan, pemberian tipe A khusus kepada Metro ini dikarenakan letaknya berada di ibu kota. Selain itu, metropolitan memiliki permasalahan yang kompleks.

Mulai dari aspek kerawanan dan gangguan keamanan yang banyak dari sisi kuantitas dan kualitas. Ditambah lagi, DKI Jakarta merupakan pusat perekonomian.

“Tipe A khusus itu untuk Polda Metro karena di ibu kota negara. Untuk Polda lainnya saat ini tipe A ada 25 dan tipe B ada 8,” kata Dedi, kepada Validnews, Rabu (3/7).  

Hanya saja, meski memiliki wilayah yang luas, tak membuat Polda Metro Jaya memiliki anggaran terbesar dibandingkan Polda lainnya. Jumlah anggran Polda Metro masih berada di bawah Polda Jawa Barat dan Polda Jawa Timur. Hal ini dikarenakan kedua polda tersebut memiliki jumlah anggota dan polres lebih banyak dibandingkan Polda Metro Jaya.

“Untuk diketahui, 73% anggaran digunakan untuk balanja pegawai. Hanya 27% dari total anggaran digunakan untuk belanja modal dan barang,” tutup Dedi.

Senada, Direktur Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi saputra Hasibuan menuturkan, pemberian tipe A khusus ini berdasarkan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 14 tahun 2018. Hal ini dikarenakan Polda Metro Jaya berada di ibu kota negara.  

“Saya kira sama saja, substansinya menjaga keamanan masyarakat,” Kata Edi Hasibuan, saat dihubungi, Rabu (3/7). 

Keberadaan ini, kata Edi, membuat Polda Metro Jaya harus bersinergi dengan Pemprov DKI Jakarta. Jika tidak, akan terjadi tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah DKI dan kepolisian.   

“Sebagai ibu kota negara harus mampu bersinergi dengan Polda Metro Jaya tanpa saling sikut. Jangan sampai terjadi tumpang tindih yurisdiksi antarkepolisian. Harus ada satu suara dalam menata keamanan Jakarta,” tambah Edi.

Contohnya, soal pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Samsat Daan Mogot, sinergitas masalah keuangan antar Samsat, Polda Metro Jaya dan Pemda DKI Jakarta sudah lama terjalin dengan baik.

“Pemasukan di Daan Mogot itu masuk ke DKI Jakarta, tetapi polisinya tetap Polda Metro Jaya,” tukas Edi. (James Manullang, Rio Yudha) 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar