c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

28 April 2020

18:13 WIB

Mayoritas Guru Masih Berorientasi Ketuntasan Kurikulum

Tugas-tugas siswa menumpuk karena tugas dijadikan penilaian capaian kurikulum

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Mayoritas Guru Masih Berorientasi Ketuntasan Kurikulum
Mayoritas Guru Masih Berorientasi Ketuntasan Kurikulum
Siswi SD (Sekolah Dasar) belajar menggunakan sistem daring (online) di Jakarta Timur, Kamis (19/3/2020). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus mengembangkan sistem pembelajaran secara daring (dalam jaringan) untuk menekan tingkat penyebaran wabah COVID-19 yang kian masif di Indonesia. ANTARAFOTO/Fakhri Hermansyah

JAKARTA – Pengaduan dan hasil survei yang didapat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, mayoritas siswa menyatakan guru-guru hanya fokus memberi tugas selama pembelajaran jarak jauh (PJJ). Alhasil masalah tugas yang menumpuk menjadi salah satu keluhan utama siswa.

Tetapi hasil berbeda ditemukan dalam Survei Persepsi dan Evaluasi Guru terhadap PJJ yang dilakukan KPAI bersama Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Sebanyak 60% dari 602 guru yang menjadi responden menyatakan aktivitas PJJ dilakukan secara variatif, tak sekadar pemberian tugas.

"Mulai dari penjelasan materi, diskusi, membaca, dan pemberian tugas. Namun demikian, proses yang dilakukan para guru tersebut juga diakhiri dengan penugasan-penugasan yang tidak ringan," kata Wasekjen FSGI, Satriwan Salim, dalam telekonferensi, Selasa (28/4).

Kemudian, sebanyak 40% guru menjawab bahwa proses PJJ cenderung berupa aktivitas mandiri siswa di rumah, sedangkan guru hanya memantau atau menerima laporan. Adapun persentase guru yang mengaku hanya memberi tugas mencapai 29,6%.

Menurut Satriwan, jumlah 29,6% itu cukup besar dan berkorelasi dengan tingginya jumlah aduan siswa yang diterima KPAI. Tugas yang diberikan paling banyak dalam bentuk proyek (40,4%), lalu mengerjakan tugas di buku paket (39,7%), dan menjawab lebih dari 10 soal (37,4%).

Mayoritas guru pun (58,8% responden) menyeragamkan tugas yang diberikan kepada siswa. Padahal ada perbedaan kemampuan siswa ataupun orang tua siswa terkait akses terhadap gawai maupun jaringan internet. Hanya 8,8% guru yang memberi tugas sesuai kemampuan siswa.

"Ini membuktikan bahwa perlakuan sekolah atau guru masih relatif diskriminatif karena tidak melihat bagaimana kemampuan siswa dalam mengakses barang-barang mewah tadi," ucap Satriwan.

Dia berpendapat, masalah pemberian tugas ini lantaran mayoritas guru (53,4%) masih berorientasi pada ketuntasan kurikulum. Jadi, tugas yang diberikan kepada siswa dijadikan ukuran penilaian suatu capaian kurikulum.

"Ini yang kami katakan bertentangan dengan Surat Edaran (SE) Mendikbud Nomor 4 tahun 2020. Karena di dalam SE itu ada klausul yang mengatakan bahwa sekolah dan guru jangan lagi mengejar atau berorientasi kepada penyelesaian target kurikulum," ungkapnya.

Satriwan menyebutkan orientasi guru kepada ketuntasan kurikulum bisa jadi karena pesan dalam SE tersebut tidak sampai. Kemungkinan lainnya adalah faktor psikologis para guru. Mereka akan merasa 'berutang' jika kurikulum tak diselesaikan.

"Di semester ini misalnya ada 4 bab yang harus saya selesaikan. Karena ini tuntutan kurikulum, kewajiban saya harus menyelesaikannya. Itu yang ada di dalam psikologis guru. Kalau tidak menyelesaikan kayak punya utang," ucap Satriwan.

Diketahui bahwa survei tersebut dilakukan pada 16–20 April 2020 dengan responden dari 14 provinsi dan margin of error 0,5%. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner berbasis web menggunakan aplikasi Google Form. (Wandha Nur Hidayat)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar