26 Oktober 2017
17:05 WIB
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA – Pembahasan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Pertembakauan tak kunjung berujung. Silang pendapat antara DPR sebagai pengusul dan pihak pemerintah menjadi penyebabnya. Di satu pihak terkesan mengusung isu persoalan kesehatan, pihak lainnya mengatasnamakan kepentingan petani tembakau dan kesejahteraannya.
Silang pendapat pembahasan RUU Pertembakauan ini bahkan sudah terjadi semenjak DPR memasukkan RUU Pertembakauan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dua tahun yang lalu. Pada pertengahan Maret 2017 saja, Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek telah memberikan sikap tegas yang menyatakan menolak pembahasan RUU Pertembakauan.
Namun di bulan yang sama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan respons kepada DPR dengan melayangkan Surat Presiden (Supres) RUU Pertembakauan. Isinya, berupa penugasan bagi para menterinya untuk membahas RUU Pertembakauan ini bersama dengan DPR.
Awalnya Supres ini sempat menjadi bola liar. Sebab Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pernah menyatakan Supres tersebut berisi penolakan pembahasan RUU. Alasannya, karena soal perluasan tembakau dan kesehatan. Barulah dalam rapat paripurna DPR per tanggal 6 April 2017, DPR memberikan kejelasan mengenai isi Supres tersebut. Rapat Paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan membacakan isi Supres ini. Ternyata, Supres tersebut tak berisikan penolakan seperti yang disampaikan JK.
Di bulan Mei 2017, pihak DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU Pertembakauan. Sayangnya, meski Pansus RUU Pertembakauan telah terbentuk, pembahasan RUU ini tetap jalan di tempat. Sebab hingga sekarang pemerintah tak kunjung memberikan daftar inventaris masalah (DIM) kepada DPR.
Ketua Pansus RUU Pertembakauan Firman Soebagyo mengaku, hingga saat ini pihaknya masih menunggu DIM dari pemerintah. Pihaknya berharap hal ini segera terlaksanakan karena DPR berkeinginan untuk segera menyamakan persepsi dengan pemerintah terkait kebutuhan RUU ini.
“Kita masih menunggu DIM yang dibuat pemerintah. Di mana mereka yang tidak setuju, kita perbaiki dan diskusi bersama. Itu mekanisme yang akan kami tempuh,” kata Firman kepada Validnews, di Jakarta, Kamis (26/10).
Dia berharap, dalam penyusunan DIM pemerintah tak hanya melihat RUU Pertembakauan dari satu sisi saja. Pemerintah janganlah melihat RUU Pertembakauan ini dari dampak kesehatannya saja. Sebab, regulasi ini dipastikannya juga berisikan perhatian terhadap para petani tembakau. Supaya sebanyak 527.288 orang petani tembakau itu ke depannya menjadi sejahtera.

Firman mengamati pemikiran DPR dan pemerintah perlu sejalan terhadap RUU Pertembakauan ini karena tujuan pembentukan UU ini adalah untuk melindungi kehidupan serta hak dari petani tembakau. Sebab hal ini sejalan dengan prinsip dasar pembentukan UU, yang tak boleh memberikan diskriminasi kepada masyarakat, pembahasan harus secara terbuka, serta taat asas konstitusi.
Bila telah ada kesamaan persepsi dengan pemerintah kelak, maka RUU ini diyakininya akan dapat mengutamakan kepentingan rakyat. Toh, selain dapat memberikan perlindungan hukum terhadap kehidupan para petani tembakau, RUU Pertembakauan akan mengatur tembakau secara keseluruhan. Misalnya, aturan mengenai kesehatan hingga terkait Cukai Hasil Tembakau (CHT).
“Kemudian hak-hak petani (tembakau.red) juga diatur. Kemudian aturan industri rokok ke petani. Tidak kemudian (petani.red) dibiarkan begitu saja. Artinya, jangan dilihat dari kesehatan saja. Meski kita setuju bahwa kesehatan itu nomor satu,” paparnya.
Berlarut-larutnya pembahasan RUU Pertembakauan ini bikin gemas pihak Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI). Mereka mempertanyakan keseriusan pihak legislatif dan eksekutif dalam membahas regulasi ini. Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Nurtantio Wisnu Brata menambahkan, petani tembakau mulai kehilangan harapan dalam menunggu kepastian dari RUU Pertembakauan ini.
“Beberapa kali kami melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tetapi sampai saat ini juga perkembangan dari RUU tersebut masih jauh dari harapan petani. Karena sampai saat pembahasan RUU ini, sepakatnya hanya di Badan Legislasi (Baleg). Pernah dibahas di level rapat paripurna tapi kabarnya sudah tidak jelas lagi seperti apa,” ucap Nurtantio.
Kondisi ini membuat para petani gamang. Nurtantio sampai mempertanyakan apakah terdapat kepentingan segelintir kelompok yang kuat, sehingga pembahasan RUU Pertembakauan ini stagnan. Padahal APTI hanya berharap sejumlah hal lewat RUU Pertembakauan ini. Dia ingin pembahasan difokuskan terhadap perlindungan petani. Hal krusial lainnya adalah mengenai serapan tembakau lokal serta pembatasan impor tembakau.
“Petani sudah sangat pesimis. Karena hingga saat ini impor tembakau masuk sangat banyak ke indonesia dan tidak ada satupun regulasi yang mengatur importasi tembakau,” tambahnya.
Akal-akalan Industri Tembakau
Di pihak berbeda, Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) masih tetap menolak keras rencana pembahasan RUU ini. Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Hakim Sarimuda Pohan menyarankan pemerintah agar tak mengirimkan DIM kepada DPR. Hal ini akan menjadi langkah bijak karena Menteri Kesehatan sendiri sudah memberikan pernyataan menolak RUU ini.
Dia memandang, keengganan pemerintah untuk memberikan DIM kepada DPR disebabkan karena satu hal. Menurutnya itu karena hampir seluruh substansi dalam RUU ini telah memiliki regulasinya masing-masing. Semisal, aturan mengenai perlindungan petani. Pokok aturan ini sebetulnya sudah diatur secara komprehensif dalam UU Nomor 19/2013 tentang Perlindungan dan Pembedayaan Petani. Karena itulah, ia khawatir jika dipaksakan maka regulasi ini akan menimbulkan tumpang tindih dengan aturan lainnya.
Ia berpandangan, pembahasan RUU ini merupakan akal-akalan industri tembakau saja. Para pemilik kepentingan industri tembakau seakan menjadikan petani sebagai tameng untuk melenggangkan pembahasan regulasi ini.
Selama ini, harga beli industri ke petani lokal pun tak sebanding dengan modal tanam. Fakta di lapangan, ungkap Hakim, pemilik industri tembakau terus menghargai tembakau dari petani lokal senilai Rp20 ribu, sama dengan tembakau impor dari China. Padahal, petani lokal membutuhkan modal besar untuk membeli bahan dasar tanam, seperti benih, pestisida dan lain-lain.
“Jadi pasti mereka (industri.red) tidak mau membeli dengan harga tinggi, kecuali mau membeli di bawah modal. Kalau tidak mereka akan mengatakan punya tembakau (impor.red). Apalagi, Kita impor hampir 60% untuk industri rokok Indonesia dari China,” ungkapnya.
Pasal ‘Siluman’
Alasan lainnya RUU Pertembakauan tak perlu lanjut karena Indonesia merupakan negara yang memiliki pertumbuhan perokok tercepat di dunia. Utamanya, pertumbuhan perokok ini pada rentang umur 11—15 tahun. Sehingga dikhawatirkan generasi muda akan menjadi perokok masa depan.
Mana lagi, rokok dapat menjadi pintu masuk bagi peredaran narkotika di Indonesia. Hampir setiap hari Indonesia mengalami pertumbuhan pengguna narkotika. Tak heran, Indonesia mampu menampung masuknya narkotika secara besar-bersaran.
Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menuturkan, perlu ada komunikasi yang intensif antara DPR dan Pemerintah. Saat ini, DPR telah membentuk Pansus RUU Pertembakauan. Jadi artinya, DPR sebetulnya telah siap untuk melakukan pembahasan.
Sungguh, RUU ini sejak lama telah menjadi buah bibir dipelbagai kalangan. RUU ini pernah dicurigai memiliki pasal ‘siluman’. Hal ini menjadi penyebab pembahasan regulasi tersebut tak kunjung memberikan kemajuan yang positif.
Oleh karena itu, ia menyarankan, untuk menghindari banyaknya kecurigaan dari masyarakat, DPR bersama Pemerintah melakukan pembahasan secara terbuka. Selain itu, pembahasan RUU Pertembakauan perlu melibatkan masyarakat.
“Kalau saya berpendapat karena RUU Pertembakauan tidak menyangkut rahasia negara, hal yang sama DIM tidak menyangkut rahasia negara. Sebaiknya RUU tersebut dibuka kepada publik,” tutur Emrus. (James Manullang, Muhammad Fauzi)