17 April 2021
18:00 WIB
JAKARTA – Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mengajukan uji materi penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Mereka meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan mereka, agar diberi kewenangan seperti penyidik Polri, untuk menyidik dugaan pencucian uang dari perkara tindak pidana asal yang mereka tangani.
Permohonan itu diajukan dua PPNS dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), yakni Cepi Arifiana dan M Dedy Hardinianto. Serta dua PPNS dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Garibaldi Marandita dan Mubarak. Berkas permohonan mereka didaftarkan ke MK secara online, pada 14 April 2021 lalu dunggah di situs MK, pada hari yang sama.
Pemohon menguraikan, Polri memegang penuh penyidikan dugaan pencucian uang dari 26 jenis tindak pidana asal berdasarkan UU 8 Tahun 2010. Padahal, ada beberapa tindak pidana asal yang tidak hanya menjadi kewenangan penyidik Polri.
“Jika diberi wewenang, penyidik tindak pidana asal bisa mengurangi beban Polri dan mempercepat penanganan perkara pencucian uang,” urai pemohon seperti dikutip dari berkas permohonan.
Argumen pemohon, periode 2005–2020, pengadilan memutus 549 perkara pencucian uang dengan total denda dan uang pengganti Rp122,3 triliun. Namun, menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), rasio tindak lanjut laporan lembaga itu ke penegak hukum yang berwenang menangani baru 32,6%.
Bila diurai, baru 10% laporan PPATK yang diselidiki. Kemudian, 8,9% disidik, dan hanya empat persen yang sudah diputus dan memiliki kekuatan hukum tetap.
Pemohon menduga, 67,4% laporan PPATK yang tidak direspons karena tidak optimalnya upaya tindak lanjut oleh instansi penerima. Salah satunya, karena keterbatasan jumlah penyidik yang dimiliki instansi penerima laporan.
Terkait jumlah penyidik, Polri pernah menyampaikan hal itu saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR pada 12 Mei 2010. Polri sampaikan, beban itu akan berkurang jika penyidik tindak pidana asal diberi wewenang untuk menangani pencucian uang.
Pembentuk undang-undang merespons dengan menambah instansi yang berwenang menyidik dugaan pencucian uang di UU 8 Tahun 2010. Selain Polri, ada Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai. UU Pencucian Uang kali pertama disahkan pada 2003 lalu diubah pada 2005 dan 2010.
“Pasca UU 8 Tahun 2010 diundangkan, 66,4% laporan PPATK masih jadi beban Polri dan Kejaksaan, dan terbanyak di Polri,” urai pemohon.
Pemohon menguraikan, pencucian uang disepakati sebagai transnational organized crime. Sehingga, penanganan perkara ini harus sesuai dengan standar internasional, dalam hal ini yang dibuat Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).
Indonesia, lanjut pemohon, menjadi satu-satunya negara G20 yang belum diterima sebagai anggota FATF. Padahal, menjadi anggota organisasi ini penting bagi Indonesia untuk manfaat di sektor ekonomi, pembuatan kebijakan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang serta diakui dalam hubungan internasional.
Salah satu sebab FATF belum menyetujui untuk menerima Indonesia sebagai anggota, karena belum terpenuhinya sebagian dari 40 rekomendasi organisasi itu. Rekomendasi ke-30 adalah membentuk sistem pemberantasan pencucian uang yang efektif. Salah satunya, menurut pemohon, dengan membuka pintu bagi penyidik tindak pidana asal ikut menyidik pencucian uang. (Leo Wisnu Susapto)