28 November 2020
17:22 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Nizam mengatakan, beberapa dosen telah diberhentikan secara tidak hormat karena terbukti melakukan kekerasan seksual. Mereka berasal dari tiga perguruan tinggi, tetapi Nizam tidak merinci nama perguruan tinggi itu.
"Beberapa dosen sudah diberhentikan secara tidak hormat, ada di tiga perguruan tinggi dari yang saya catat. Jadi kita tegakkan apa yang menjadi concern kita bersama," kata Nizam dalam webinar 'Kampus Merdeka dari Kekerasan Berbasis Gender', Sabtu (28/11).
Dia mengklaim, setiap laporan yang diterima terkait kekerasan seksual di kampus selalu ditindaklanjuti pihaknya. Misalnya, dengan langsung menghubungi rektor dari kampus yang bersangkutan untuk memastikan tindak lanjut atas laporan tersebut.
Ketika pelaku terbukti melakukan kekerasan seksual, Nizam mengatakan, tindakan dan sanksi keras harus langsung diberikan. Kemendikbud disebut terus memastikan bahwa hukuman atau sanksi kepada pelaku benar-benar ditegakkan dan dieksekusi.
Nizam menuturkan, pihaknya telah meminta rektor meneken pakta integritas sebagai komitemen untuk mewujudkan perguruan tinggi yang sehat, nyaman, dan aman. Salah satunya adalah terkait kampus yang aman dari perundungan dan kekerasan seksual.
"Kita minta pakta integritas dari rektor-rektor untuk memastikan kampus yang aman, sehat dan nyaman terwujud. Untuk itu, itu menjadi bagian dari kinerja perguruan tinggi yang kita pantau dan tagih setiap tahunnya," ucap Nizam.
Setiap perguruan tinggi didorong memiliki mekanisme dan standar operasional prosedur (SOP) yang jelas untuk pelaporan dan tindak lanjut pelaporan kasus kekerasan seksual. Kemendikbud sendiri masih menyiapkan Permendikbud untuk mengatasi masalah tersebut.
"SOP menjadi bagian integral dari Permendikbud, sehingga kita harapkan itu nanti bisa lebih punya gigi, jadi bukan sekadar surat edaran dirjen. Jadi kita mulai dari makronya yang landasan pertamanya yaitu Permendikbud sebagai dasar hukum positifnya," imbuhnya.
Kampus Rawan Kekerasan Seksual
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah menyatakan, pihaknya masih terus menunggu permendikbud disahkan. Pasalnya, perancangan Permendikbud ini disebut sudah dimulai sejak awal 2020, namun sampai saat ini belum juga disahkan.
"Karena ini sangat penting. Maka dalam waktu dekat kami juga ingin mengajak Kemendikbud berkolaborasi untuk kira-kira tahun 2021 apa yang bisa kita lakukan bersama untuk memastikan ada Permendikbud itu keluar dan terimplementasikan dengan baik," ujar Alimatul.
Menurut Alimatul, menguatkan regulasi yang sangat mempertimbangkan dampaknya pada korban kekerasan seksual di perguruan tinggi sangat penting. Baik itu mencakup pencegahan, penanggulangan, pemulihan, pemantauan, maupun pemidanaan pelaku.
Selain penguatan regulasi, ada lima hal lain yang penting untuk menciptakan kampus aman dan nyaman tanpa kekerasan. Antara lain menciptakan budaya zero tolerance kekerasan dan menganggarkan program yang responsif gender baik secara praktis maupun strategis.
Data Komnas Perempuan pada 2015-2019 mencatat, aduan kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan paling banyak dari perguruan tinggi yakni 14 kasus. Selanjutnya adalah pesantren sebanyak 10 kasus dan di tingkat SMA/SMK sebanyak 8 kasus.
"Memang yang paling rentan itu sebenarnya yang melapor itu ya di perguruan tinggi. Itulah kenapa salah satu yang kita upayakan dengan Kemenag dan juga nanti Insyaallah dengan Kemendikbud untuk bagaimana supaya sistem itu terinstitusionalisasi," ucap Alimatul.
Survei Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019 menyatakan bahwa sekolah dan perguruan tinggi berada di posisi ketiga ruang publik tempat terjadinya kekerasan seksual. Di urutan pertama adalah jalanan umum, sedangkan yang kedua adalah transportasi publik.
Berdasarkan riset berjudul Nama Baik Kampus pada 2019 tercatat ada 174 kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Sementara itu, data KPAI menyebut ada 123 anak yang menjadi korban kekerasan seksual di sekolah. (Wandha Nur Hidayat)