06 Februari 2020
15:57 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid membantah jika pihaknya mendukung pemulangan warga negara Indonesia di luar negeri yang bergabung dalam kelompok terorisme. Sampai detik ini, Kementerian Agama belum pernah menerima usulan tersebut dari siapa pun, termasuk dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Kami ingin menegaskan kembali bahwa tidak benar Menteri Agama Fachrul Razi mendukung rencana pemulangan 600 warga negara Indonesia (WNI) eks kelompok teroris Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima media, Kamis (6/2).
Dikatakan, pihaknya dalam waktu dekat akan melaksanakan rapat koordinasi dengan BNPT dan kementerian/lembaga terkait untuk melakukan kajian secara mendalam dan menyeluruh. Pasalnya, mereka para WNI yang bergabung dalam kelompok terorisme memiliki potensi ancaman keamanan.
"Bagaimana pun mereka bukan saja sekadar terpapar paham radikal, tetapi sebagian dari mereka adalah pelaku yang terlibat langsung dalam kegiatan di ISIS. Sehingga perlu ada tinjauan dari aspek hukum formalnya," tambahnya.
Maka dari itu, kata Zainut, rencana pemulangan tersebut perlu dipertimbangkan kembali secara lebih matang, cermat dan ekstra hati-hati. Selain itu, juga diperlukan antisipasi dan kewaspadaan khususnya terhadap gangguan keamanannya.
Dia menerangkan, langkah awal yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi profil mereka secara teliti dan cermat. Sampai mereka dapat diklasifikasikan berdasarkan resikonya.
"Setidaknya ada tiga klasifikasi, pertama yang sudah sadar, kedua yang masih terpapar dan ketiga yang perlu mendapat perhatian khusus dan harus berurusan dengan hukum," ungkapnya.
Sejauh ini, Kemenag masih akan menyerap dan mendengarkan aspirasi dari masyarakat. Tujuannya agar pengambilan keputusannya benar-benar tepat dan dapat dipertanggung jawabkan.
Di Kementerian Agama sendiri, dalam menanggulangi bahaya radikalisme telah menyiapkan program kontra narasi dan program humanisasi melalui pendekatan kontra radikalisasi, yakni melalui upaya penanaman nilai-nilai keindonesiaan serta nilai-nilai moderasi beragama.
Dalam prosesnya strategi ini, dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun non formal di lingkungan sekolah Kementerian Agama.
Bertatus Stateless
Terpisah, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menyebutkan, 600 WNI yang tergabung dalam ISIS (eks-ISIS) telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya. Hal itu, kata Hikmahanto, berdasarkan Pasal 23 UU Kewarganegaraan huruf d dan f.
Huruf (d) menyebutkan kehilangan kewarganegaraan disebabkan karena "masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden". Sementara huruf (f) menyebutkan "secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut".
"Nah istilah 'bagian dari negara asing' itu bisa saja pemberontak yang hendak menggulingkan pemerintah yang sah. Bukankah ISIS pemberontak yang ada di Suriah? Bahkan mereka menggunakan cara-cara teror untuk menggantikan negara Suriah dan Irak," katanya.
Selanjutnya, andaikan kewarganegaraan Indonesia selama ini tidak hilang kewarganegaraannya berarti Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) atau Perwakilan Indonesia di Suriah akan memberi perlindungan.
"Kenyataannya, ini tidak terjadi," kata Hikmahanto.
Perlu dipahami, sejak awal para WNI yang hendak bergabung dengan ISIS, maka mereka menganggap ISIS sebagai negara mereka.
"Oleh karenanya sejak saat itu mereka telah rela melepas kewarganegaraan Indonesianya," ujarnya.
Bahkan, tambah dia, ada dari mereka yang merobek-robek paspor Indonesia yang menjadi simbol bahwa mereka tidak lagi ingin menjadi warga negara Indonesia. Oleh karena itu, wajar bila pemerintah Indonesia tidak memiliki kewajiban lagi untuk melindungi mereka.
"Memang secara teori eks-WNI ini berstatus stateless. Namun, kondisi stateless ini tidak berada di Indonesia sehingga pemerintah tidak perlu pusing untuk mewarganegarakan mereka," tutur Hikmahanto. (Fuad Rizky)