c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

29 Januari 2018

10:45 WIB

Kekerasan Anak Meningkat, Sumatra Utara Alami Degradasi Moral

Sebanyak 29 kasus inses yang dialami anak justru terjadi di wilayah religius

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Kekerasan Anak Meningkat, Sumatra Utara Alami Degradasi Moral
Kekerasan Anak Meningkat, Sumatra Utara Alami Degradasi Moral
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Komite Aksi Perempuan melakukan aksi

JAKARTA – Kasus kekerasan terhadap anak di Sumatra Utara masuk dalam kategori memprihatinkan. Dari banyak kasus yang terjadi di wilayah tersebut, kasus kekerasan seksual berada dalam posisi tertinggi. Karena itu Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebut bahwa telah terjadi degradasi moral di Sumatra Utara.

Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait mengungkapkan, selama ini terdapat sebuah pemahaman di kalangan warga Sumatra Utara (Sumut), khususnya masyarakat Batak, yang menyebut anak adalah anugerah, harta atau kekayaan yang sangat berharga. Pemahaman tersebut menurutnya kini hanyalah sebagai jargon yang sekadar diucapkan jika melihat maraknya kasus kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual.

Kasus terbaru yang kini dalam sorotan Komnas PA adalah kejahatan seksual yang dialami bocah berusia 14 tahun di wilayah Tobasa, Sumut. Bocah berinisial AS tersebut disetubuhi oleh ayah kandungnya berinisial JS (38) dan paman kandung berinisial MN (33). Apa yang menimpa AS telah berlangsung selama dua tahun sejak dirinya berusia 12 tahun, dan kini dia tengah mengandung empat bulan dan tengah mengalami depresi berat.

Mirisnya lagi, diduga kuat perbuatan bejat ayah dan paman itu diketahui oleh ibu korban yang berusaha menghilangkan bukti dengan cara memaksa korban meminum obat untuk menggugurkan kandungannya.

“Ini adalah peristiwa memalukan dan harus mendapat perhatian serius dari semua pihak,” ucap Arist kepada Validnews, Senin (29/1) pagi.

Dia melanjutkan, kasus kejahatan seksual yang dilakukan terduga ayah dan paman merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) setara dengan tindak pidana korupsi, narkoba dan terorisme. Untuk itu ia meminta agar penegak hukum menjerat tersangka dengan Ketentuan UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penerapan PERPU No. 01 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU RI No. 23 Tahun 2002, juncto UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

“Sehingga Jaksa Penunut Umum (JPU) dapat menuntut pelaku dengan ancaman pidana minimal 10 tahun dan maksimal pidana penjara 20 tahun dan dapat ditambahkan dengan pidana tambahan fisik seumur hidup dan hukuman tambahan "kastrasi" kebiri melalui suntik kimia dan dapat ditambahkan pula dengan tambahan hukuman sepertiga dari pidana pokoknya,” kata Arist.

Selain itu menurutnya jika ibu korban terbukti dan meyakinkan ikut serta atau mendukung terjadi kejahatan seksual ini, ibu korban juga dapat dijerat pidana penjara maksimal 15 tahun dan minimal 5 tahun.

Selanjutnya ia berharap warga masyarakat di Tobasa secara agar lebih waspada dan peduli terhadap anak dengan menumbuhkan gerakan bersama menjaga dan melindungi anak yang harus dilakukan sekampung atau "sahuta” dengan moto “sada anak sada boru” yang artinya anakmu adalah anakku dan setiap orang wajib menganggap setiap anak adalah anaknya sendiri yang harus dijaga.

Degradasi Moral
Terjadinya degradasi moral di Sumut menurut Arist bukanlah sebuah anggapan yang berlebihan. Bahkan menurutnya degradasi moral di Sumut sudah sangat memprihatinkan. Diungkapkan dia, di wilayah Tobasa saja, tahun lalu Komnas PA mencatat terjadi 29 kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam bentuk inses.

Sedangkan di Sumatera Utara, berdasarkan catatan akhir tahun dari 21 lembaga perlindungan anak di kabupaten kota, sebanyak 52% kejahatan yang terjadi di Sumut adalah kejahatan seksual anak. Dari sini didapati kesimpulan bahwa Sumut berada dalam fase darurat kejahatan seksual anak.

Menurut Arist, fakta tersebut berbanding terbalik dengan prinsip yang menjunjung tinggi anak sebagai harta kekayaan atau anugerah yang harus dijaga. Karena itu sudah terjadi degradasi pemahaman, karena rumah tidak lagi memberi keteladanan.

“Pemimpin di Sumatra Utara tidak mencerminkan pemimpin yang memberikan perlindungan ataupun pengayoman kepada masyarakat. Banyak pemimpin di Sumatra Utara yang ditangkap karena kasus korupsi, dari kepala desa sampai pemimpin tertinggi bermasalah secara hukum. Karena itu tidak memberikan perhatian kepada warganya. Ini salah satu bentuk degradasi moral,” jelas Arist.

Dia menambahkan, nilai religius tidak terbangun di Sumatra Utara, terlebih jika melihat fakta 29 kasus inses di Tobasa yang sebenarnya adalah wilayah religius.

“29 kasus terjadi di wilayah religius, ini memalukan. Ada degradasi moral, karena tidak ada lagi keteladanan di kalangan pemimpin, orangtua atau orang terdekat anak, dan ini sangat menakutkan,” katanya.

Solusinya, lanjut Arist, masyarakat melalui institusi keagamaan perlu meningkatkan gerakan bersama “sada anak sada boru” agar menjaga setiap anak yang ada di wilayah masing-masing.

Sebelumnya, Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, Nahar, mengatakan bahwa kasus kekerasan maupun pelecehan seksual terhadap anak selama 2017 meningkat dibandingkan 2016.

"Sebanyak 1.956 kasus kita tangani selama 2016 dan meningkat menjadi 2.117 kasus selama 2017," kata Nahar.

Sementara laporan terkait pelecehan seksual yang masuk ke telepon pelayanan sosial anak (Tepsa) Kemensos pada 2017 juga mengalami peningkatan dibandingkan setahun sebelumnya.

Pada 2016 laporan yang masuk sebanyak 238, sementara pada 2017 naik menjadi 383 laporan, kata Nahar.

Meningkatnya laporan kasus kekerasan seksual pada anak menurut Nahar karena orang semakin berani untuk melapor sehingga semakin banyak juga laporan yang masuk.

Selain itu, saat ini warga yang mengetahui adanya kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak punya saluran untuk melaporkannya melalui Tepsa.

"Setelah laporan masuk, Tim Sakti Peksos kita berkoordinasi dengan kepolisian untuk menanganinya," kata Nahar. (Jenda Munthe)

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar