Selamat Malam

Kamis, 6 November 2025

NASIONAL

01 September 2020

10:34 WIB

KPK: Pengurangan Hukuman Sri Wahyuni Preseden Buruk Pemberantasan Korupsi

Putusan PK mengurangi hukuman Mantan Bupati Talaud Sri Wahyuni dari 4,5 tahun menjadi hanya 2 tahun penjara

KPK: Pengurangan Hukuman Sri Wahyuni Preseden Buruk Pemberantasan Korupsi
KPK: Pengurangan Hukuman Sri Wahyuni Preseden Buruk Pemberantasan Korupsi
Mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyuni Maria Manalip pada persidangan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (18/11). (Antaranews)

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku kecewa terhadap putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang mengurangi hukuman buat mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip. KPK khawatir hal ini menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Kami khawatir putusan tersebut menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (1/9)

Ia mengatakan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK saat ini belum menerima salinan putusan PK resmi dari MA tersebut.

"Namun, jika putusan tersebut benar demikian, maka membandingkan antara putusan PK dan tuntutan JPU yang sangat jauh, KPK kecewa atas putusan tersebut. Walaupun tentu kami tetap harus menghormati dan menerima putusan tersebut," tuturnya.

Seperti diketahui, Sri Wahyumi telah dijatuhi hukuman selama 4 tahun 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Namun melalui putusan PK dikurangi menjadi hanya 2 tahun penjara.

"Apalagi kita ketahui bahwa Majelis Hakim memutus yang bersangkutan terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Namun, vonis yang dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, yaitu minimum pidana penjara selama 4 tahun," ucap Ali.

Pada 9 Desember 2019, Sri Wahyumi sendiri telah divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia dinilai terbukti menerima berbagai hadiah, termasuk tas mewah dan perhiasan senilai total Rp491 juta dari pengusaha Bernard Hanafi Kalalo.

Vonis tersebut lebih rendah dibanding dengan tuntutan JPU KPK yang meminta agar Sri Wahyumi divonis 7 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Putusan tersebut berdasarkan dakwaan pertama pasal 12 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Selain kurungan penjara, Majelis Hakim juga memutuskan mencabut hak politik Sri Wahyumi selama 5 tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.

Tren Pengurangan
Senada dengan KPK, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengecam putusan PK Mahkamah Agung yang mengurangi hukuman buat mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip.

"Sejak awal yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman selama 4 tahun 6 bulan penjara, tetapi karena putusan PK tersebut malah dikurangi menjadi hanya 2 tahun penjara," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Selain itu, lanjut dia, ICW menilai putusan PK itu terasa aneh sebab hukuman perantara suap dalam perkara itu yakni Benhur Lalenoh, justru lebih tinggi dibanding dengan hukuman penyelenggara negara yang menjadi dalang dari tindak pidana korupsi.

"Sebagaimana diketahui, Benhur yang merupakan perantara suap Bupati Kepulauan Talaud dijatuhi pidana selama 4 tahun penjara," kata Kurnia.

Menurut dia, vonis PK tersebut juga jauh lebih rendah dibanding hukuman terhadap Abdul Latif, Kepala Desa di Kabupaten Cirebon yang dihukum selama 4 tahun penjara, karena terbukti melakukan korupsi dana desa sebesar Rp354 juta.

"Namun, ICW tidak lagi kaget sebab sejak awal memang MA tidak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pemberantasan korupsi. Tren vonis pada tahun 2019 membuktikan hal tersebut, rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi," tuturnya.

Ia menuturkan dalam konteks itu, Ketua MA mesti selektif untuk memilih majelis yang akan menyidangkan perkara pada tingkat PK.

"Semestinya hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi tidak lagi dilibatkan. Tak hanya itu, klasifikasi korupsi sebagai extraordinary crime seharusnya dapat dipahami dalam seluruh benak Hakim Agung. Ini penting agar di masa yang akan datang putusan-putusan ringan tidak lagi dijatuhkan," ujar Kurnia.

ICW juga meminta tren untuk mengurangi hukuman di tingkat PK tersebut mesti menjadi perhatian khusus Ketua MA. Pasalnya, berdasarkan data ICW sejak Maret 2019 sampai dengan saat ini setidaknya MA telah mengurangi hukuman sebanyak 11 terpidana kasus korupsi di tingkat PK.

"Jika ini terus menerus berlanjut maka publik tidak lagi percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi," kata dia.

ICW pun juga meminta kepada MA agar menolak 20 permohonan PK yang sedang diajukan oleh para terpidana kasus korupsi. "Sebab, bukan tidak mungkin PK ini hanya akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat hukum," tandasnya. (Faisal Rachman)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar




INFOGRAFIS

INFOGRAFIS | Validnews.id
Memahami Sanksi

Memahami Sanksi