18 Februari 2019
15:32 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Kedua calon presiden (capres) periode 2019-2024 belum menyentuh isu bahari secara mendalam. Hal tersebut diungkapkan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) terkait pernyataan capres nomor urut 01 dan 02 dalam Debat Kedua Capres 2019 yang berlangsung pada Minggu (17/2) malam.
“Dari semua pemaparan capres 01 dan capres 02, masyarakat dapat menilai bahwa gagasan-gagasan yang disampaikan oleh keduanya tidak menyentuh permasalahan riil yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesisir di Indonesia,” terang Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati dalam siaran pers yang dikeluarkan Selasa (18/2).
Kiara menyebutkan enam hal yang patut disoroti dari debat kedua. Pertama, terkait isu kebaharian dan kemaritiman, kedua capres terlihat belum memiliki gagasan yang maju. Capres nomor urut 01 alias Joko Widodo hanya berbicara sebatas pemberantasan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing, tol laut, bank mikro, dan pertambangan laut. Sedangkan capres nomor urut 02 yakni Prabowo Subianto malah tidak punya gagasan apapun.
“Padahal persoalan utama dalam isu adalah kedaulatan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan yang harus berhadapan dengan praktik perampasan ruang hidup akibat proyek pembangunan infrastruktur,” tambah Susan.
Dalam catatan Kiara, reklamasi pantai, pertambangan pesisir dan pulau-pulau kecil, pariwisata pesisir serta pulau-pulau kecil dalam skema Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) terbukti merampas ruang hidup masyarakat pesisir.
Kepemilikan Pulau
Kemudian isu kedua yang patut disoroti adalah mengenai kepemilikan tanah. Dalam debat kedua itu, Susan belum melihat adanya misi penegakan keadilan sosial-ekologis, khususnya di kawasan pesisir dan pulau-pulau. Tak seorang capres pun berbicara mengenai persoalan kepemilikan pulau-pulau kecil baik oleh perorangan maupun perusahaan, sebagaimana terjadi di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
“Dari 110 pulau kecil yang ada di Kepulauan Seribu, lebih dari 60 pulau dimiliki oleh perorangan dan atau perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa kepemilikan pulau-pulau kecil ini mengancam ruang hidup nelayan,” papar Susan.
Isu selanjutnya adalah mengenai isu yang paling menyita debat, yakni infrastruktur. Kiara mencatat, pembangunan infrastruktur selama ini tidak memberikan dampak baik bagi masyarakat pesisir, terutama dalam mengakses fasilitas publik.
Infrastruktur listrik misalnya, sampai saat ini sebanyak 1.105.813 rumah tangga perikanan belum menikmati listrik dari negara. Angka tersebut terdiri atas 544.748 rumah tangga nelayan di desa pesisir yang menggunakan listrik non Perusahan Listrik Negara (PLN). Mereka umumnya memiliki alat semacam genset yang membutuhkan banyak solar. Ditambah dengan 561.065 rumah tangga di desa pesisir yang belum teraliri listrik.
Ombak Laut
Kemudian, Kiara juga menyoroti pandangan capres mengenai isu energi yang belum punya misi untuk membangun energi terbarukan (ET). Kedua capres dinilai keliru karena menganggap energi alternatif hanya berasal dari kelapa sawit, yakni energi biofuel. Padahal, Indonesia memiliki kelimpahan potensi energi alternatif seperti energi ombak laut yang belum dimanfaatkan dengan baik, selain dari energi angin dan panas matahari.
Tak hanya itu, rencana mengurangi energi fosil yang disebutkan keduanya terdengar hanya sebatas slogan semata. Hal ini karena dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027, pemerintah telah menetapkan ratusan proyek pembangunan PLTU batu bara yang lokasinya banyak di berada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Proyek ini tentu akan menghancurkan ekosistem darat dan laut Indonesia pada masa-masa yang akan datang,” sebut Kiara dalam siaran persnya.
Berbicara sawit sendiri, kedua capres malah terdengar pro pada ekspansi perkebunan sawit yang terbukti merampas tanah masyarakat. Pusat Data dan Informasi Kiara pada tahun 2018 mencatat ekspansi sawit tidak hanya terjadi di hutan-hutan tropis, melainkan juga di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Luasan sawit di pesisir tercatat lebih dari 600 hektare. Selain itu, hutan di pulau-pulau kecil yang luasnya lebih dari 4 juta hektare juga terancam habis oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Ekspansi ini mengancam keanekaragaman hayati dan lokus pangan.
Kemudian, isu terakhir yang disoroti Kiara adalah mengenai pangan. Sangat disayangkan bahwa keduanya tidak memiliki misi kedaulatan pangan sekaligus diversifikasi pangan. Baik Jokowi maupun Prabowo terjebak pada isu harga pangan murah dan ketersediaan beras serta jagung.
Padahal, kedaulatan pangan meniscayakan perlindungan terhadap alam sebagai lokus pangan. Tak hanya itu, keduanya tak terlihat bicara mengenai pangan alternatif seperti pangan laut dan juga sagu sebagai pangan strategis. Padahal alam Indonesia memiliki kekayaan pangan yang berbeda di setiap tempat.
Keenam hal yang disinggung Kiara tersebut menunjukkan bahwa debat putaran kedua ini hanya mengulang-ulang retorika lama tanpa komitmen serius untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan menegakkan keadilan sosial-ekologis yang selama ini telah dirampas atas nama pembangunan.
“Baik capres 01 maupun capres 02, sama-sama tak memiliki misi melindungi dan memperdayakan kehidupan lebih dari 12 juta rumah tangga perikanan yang tinggal di 12 ribu desa pesisir di Indonesia,” pungkas Susan.
Adapun debat Kedua Capres 2019 merupakan debat yang diagendakan bagi capres saja alias tidak didampingi cawapres. Debat tersebut membahas isu penting yakni infrastruktur, energi, pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Debat yang diselenggarakan di Hotel Sultan, Jakarta, itu dibuka oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman dengan mengungkapkan slogan “Pemilih Berdaulat, Negara Kuat” bersama enam anggota KPU lainnya. Sementara moderator yang memimpin jalannya debat adalah Tommy Tjokro dan juga Anisha Dasuki. (Elisabet Hasibuan)