c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

07 April 2020

18:12 WIB

Instruksi Kapolri Soal Pidanakan Penghina Pejabat Tuai Kecaman

Telegram tersebut menegaskan sikap anti-kritik yang mengarah pada otoritarianisme negara dalam merespons keluhan dan keresahan publik pada masa pandemi covid-19

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Instruksi Kapolri Soal Pidanakan Penghina Pejabat Tuai Kecaman
Instruksi Kapolri Soal Pidanakan Penghina Pejabat Tuai Kecaman
Ilustrasi hoaks (ANTARA/Shutterstock)

JAKARTA – Instruksi Kapolri Idham Azis memidanakan penghina pejabat dan penyebar kabar bohong selama masa pandemi covid-19 menuai kecaman dari kelompok masyarakat. Lembaga Bantuan Hukum Pers, Institute for Criminal Justice Reform, Imparsial, dan Aliansi Jurnalis Independen menilai ada masalah dalam instruksi tersebut.

Instruksi itu berbentuk Surat Telegram Polri No: ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang ditujukan kepada Kabareskrim dan seluruh Kapolda. Sejumlah kelompok masyarakat itu memandang instruksi tersebut memberangus kebebasan berekspresi dan kritik terhadap penguasa.

"Di tengah situasi krisis kesehatan di masyarakat saat ini akibat penyebaran covid-19, sangat disayangkan terbitnya instruksi Kapolri untuk menggunakan pasal-pasal bermasalah," kata Rizky Yudha, dari LBH Pers, melalui keterangan tertulis yang diterima Validnews, Selasa (7/4).

Berdasarkan telegram itu, anggota Polri harus berpedoman terhadap Pasal 14, dan 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 45 A ayat (1), Pasal 28 ayat (1) UU 11 /2008 Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dalam menindak penyebaran berita bohong.

Sementara untuk menindak penghinaan terhadap penguasa, anggota Polri diarahkan untuk menggunakan pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Menurut Rizky, surat telegram tersebut menegaskan sikap anti-kritik yang mengarah pada otoritarianisme negara dalam merespons keluhan dan keresahan publik. Memang, di tengah carut-marut penanganan covid-19 oleh pemerintah, orang-orang sering bersuara mengungkapkan pendapat melalui media daring.

Rizky mengatakan, segala bentuk penyebaran berita bohong memang sangat meresahkan dan perlu ditindak secara tegas, namun dengan menggunakan pasal-pasal tersebut sebagai acuan bukan hal tepat. Sebab, tidak jelas ukuran dan definisi dari berita bohong dalam ketentuan pasal-pasal tersebut.

"Kesalahan penerapan pasal tersebut tentunya berpotensi menggerus hak untuk mengemukakan pendapat dan menyampaikan informasi sebagaimana dijamin oleh pasal 28 F UUD 1945," kata dia.

Sementara, mengenai penghinaan kepada Presiden dan Pejabat Publik, Rizky menilai itu berpotensi disalahgunakan. Pasal 207 KUHP yang menjadi acuan, dikhawatirkan dapat membelenggu kebebasan menyampaikan pendapat dalam bentuk kritik terhadap Pemerintah.

Dengan demikian, hal tersebut menjadi sebuah ancaman kepada setiap orang yang menyampaikan pernyataan kritis mengenai penanggulangan covid-19 oleh Pemerintah.

"Perlu menjadi catatan penting bahwa penerapan pasal 207 KUHP berdasarkan pertimbangan dalam putusan MK No: 013-022/PUU-IV/2006 adalah sebagai delik aduan," kata dia.

Karena itu, tanpa adanya pengaduan secara personal dari pihak Pejabat tersebut, pihak Kepolisian sebagai pihak yang bersifat imparsial tentunya tidak dapat memproses lebih lanjut. Dengan berubahnya delik menjadi delik aduan, pasal ini hanya berlaku pada konten-konten yang bersifat personal bukan lagi martabat secara institusi. Artinya, kritik atas kinerja pejabat publik tidak bisa dikategorikan ke dalam pasal 207 KUHP.

Situasi pandemi yang sedang dihadapi saat ini, menurut Rizky, membuat ketersediaan dan transparansi informasi terkait penanggulangan serta pencegahan wabah penyakit covid-19 menjadi sangat penting. Adanya instruksi tersebut, alih-alih memberantas berita bohong, justru malah berpotensi menghambat segala bentuk penyampaian informasi penting dan berimbang kepada publik. (May Rahmadi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar