24 November 2017
13:43 WIB
JAKARTA – “Saya pernah ditolak masuk ke SMA. Alasannya enggak bisa mengikuti pelajaran jasmani, olahraga. Karena menurut beliau, kepala sekolah di situ, semua mata pelajaran di sekolah itu wajib. Mereka juga belum pernah menerima siswa dengan keterbatasan fisik”
Elva, seorang penyandang disabilitas penderita polio masih mengingat jelas peristiwa yang dialaminya pada tahun 1996. Hanya karena memiliki keterbatasan fisik di kakinya, sehingga harus menggunakan bantuan tongkat, Elva tak diterima di SMA Sejahtera Depok.
Stigma negatif akan keterbatasan kaum difabel melekat kuat di benak kepala sekolah itu. Terlebih menurut Elva, sebelumnya tak satupun penyandang disabilitas yang diterima untuk menimba ilmu di sekolah itu.
“Saya keterbatasan fisik polio, menggunakan tongkat,” ucap Elva kepada Validnews tanpa sungkan, Kamis (23/11).
Elva menceritakan, sebelumnya di jenjang pendidikan taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah pertama (SMP) ia sama sekali tak mendapat penolakan untuk menjadi seorang siswa.
“Baik-baik semua, enggak ada masalah. Aktivitas enggak ada masalah, input pelajaran enggak ada masalah, nilai juga enggak ada masalah,” jelasnya.
Apa yang dialami oleh Elva boleh jadi juga dialami oleh penyandang disabilitas lainnya. Kendati harus diakui adanya perbaikan pemenuhan hak disabilitas yang kini diatur oleh undang-undang (UU) No 8 Tahun 2016.
Hak pendidikan penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 10 beleid ini. Disebutkan bahwa, penyandang disabililtas memiliki hak mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusi dan khusus.
Penyandang disabilitas juga memiliki hak menjadi pendidik atau tenaga kependidikan maupun sebagai penyelenggara pendidikan bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Selain itu, mereka juga berhak mendapatkan akomodasi Layak sebagai peserta didik.
Persoalan pendidikan untuk disabilitas dipertegas pada Pasal 40. Pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda) wajib menyelenggarakan atau memfasilitasi pendidikan untuk penyandang disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan kewenangannya. Penyelenggaraannya dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan inklusi dan pendidikan khusus.
Pemerintah Pusat dan daerah juga berkewajiban mengikut sertakan anak penyandang disabilitas dalam program wajib belajar 12 tahun. Penyandang disabilitas diutamakan bersekolah di lokasi yang dekat tempat tinggalnya.
Kewajiban lainnya, Pemda harus memfasilitasi penyandang disabilitas yang tidak berpendidikan formal untuk mendapatkan ijazah pendidikan dasar dan menengah melalui program kesetaraan. Ketersediaan Beasiswa dan biaya pendidikan untuk anak dari penyandang disabilitas yang tidak mampu membiayai pendidikannya juga wajib dipenuhi oleh pemda.
Sementara di Pasal 41, disebutkan perihal kewajiban pemberian keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk kemandirian dan partisipasi penuh dalam menempuh pendidikan dan pengembangan sosial dalam pendidikan inklusif dan pendidikan khusus. Sesuai Pasal 43, penyelenggara pendidikan yang tidak menyediakan akomodasi yang Layak untuk peserta didik penyandang disabilitas dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis hingga pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan.
Pakar Pendidikan Doni Koesoema mengamini masih banyaknya sekolah umum yang melakukan penolakan terhadap calon peserta didik yang tergolong penyandang disabililtas. Bahkan ketika melihat adanya sedikit kekurangan pada calon peserta didik, sekolah kerap langsung menganjurkan pihak orangtua untuk memasukkannya ke SLB.
“Itu kan sudah mengadili sejak awal dan orangtua juga gitu, sama konsepnya masyarakat itu harus diedukasi. Orangtua itu seringkali mengamini, karena anak saya cacat terus ke SLB. Lebih parah lagi, anak yang SLB mengamini juga dia itu cacat dan wajib hukumnya masuk ke SLB dan itu salah,” tegas Doni kepada Validnews, Rabu (23/11).

Inklusi
Sebagian publik mungkin hanya memahami kehadiran negara terhadap hak penyandang disabiitas hanya sebatas penyediaan sekolah berkebutuhan khusus atau dikenal sekolah luar biasa (SLB). Sekolah ini memiliki beberapa kategori diantaranya untuk penderita tunarungu dan tunanetra.
Sebenarnya selain SLB. Pemerintah juga telah mengupayakan pemenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas melalui sekolah inklusi, (Inclusive Education). Inklusi merupakan penggabungan pendidikan reguler dan pendidikan khusus (special education) ke dalam satu sistem persekolahan untuk mempertemukan perbedaan kebutuhan semua siswa.
Pendidikan inklusif memiliki latarbelakang filosofi yang sama dengan pendidikan multibudaya (multicultural education). Di sekolah ini, semua anak diakomodasi tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lainnya. Anak-anak penyandang cacat, anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas maupun anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat dapat menimba pendidikan di sekolah inklusi.
Beberapa elemen dasar yang diterapkan di pendidikan inklusi diantaranya sikap guru yang positif terhadap keragaman, interaksi promotif dalam pembelajaran koperatif, serta pengembangan kompetensi akademik yang seimbang dengan kompetensi sosial.
Berlandaskan UUD 1945, UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, UU No 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, PP 17 tahun 2010 tentang penyelengaraan dan pengelolaan Pendidikan dan permendiknas No 70 tahun 2009 perihal pendidikan inklusif, pemerintah mulai menerapkan pendidikan bermodel inklusi pada tahun 2012.
SLBN Centre Payakumbuh yang berada di Kota Payakumbuh menjadi pilot project sekolah inklusi dengan kucuran dana sebesar Rp 4 miliar dari Kemendikbud untuk pembangunan infrastruktur pendukung.
Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Poppy Dewi Puspitawati memaparkan saat ini setidaknya terdapat 24 provinsi dengan 80 kabupaten/kota sudah memiliki regulasi, di mana sebagian diantaranya telah memiliki alokasi anggaran sekolah inklusi. Bagi provinsi dan kabupaten/kota yang sudah memiliki regulasi, maka ada beberapa sistem penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus.
“Ada yang langsung mewajibkan semua sekolah wajib menerima anak berkebutuhan khusus, ada yang dengan sistem quota, ada yang dengan jalur khusus. Rata-rata sekolah maksimal 3 anak berkebutuhan khusus dalam 1 rombongan belajar. Dengan semua kategori disabilitas,” tukas Poppy kepada Validnews.
Tak hanya di sekolah umum, sekolah yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag) pun dikatakan Poppy melakukan pendidikan inklusif. Ia menyebutkan, Kemenag telah melakukan program penyelenggaraan pendidikan inklusif di madrasah di tujuh provinsi. Di Kemenag sendiri sudah melakukan beberapa pelatihan baik kepada guru, kepala madrasah dan pengawas madrasah.
Data diperoleh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah siswa berkebutuhan khusus di Indonesia saat ini sebanyak 80.850 anak di tingkat SD, tingkat SMP (26.592 orang), sekolah menengah atas atau setaranya (13.802 orang), dan SLB (1.626 orang). Sementara tenaga pengajar tersedia sebanyak 24.657 orang berstatus kepala sekolah dan guru serta 1661 orang yang membantu tenaga kependidikan.
Khusus untuk sekolah inklusi, jumlah yang menerapkan pola pengajaran model ini di tingkat SD sebanyak 254 sekolah, dengan rincian 121 berstatus negeri dan 133 swasta. Di tingkat SMP, pendidikan inklusif dilakukan oleh 116 sekolah terdiri atas 20 berstatus negeri dan 96 swasta. Sedangkan tingkat sekolah menengah atas dan setaranya, inklusi diterapkan di 74 sekolah yang terbagi atas 13 sekolah negeri dan 61 swasta.
Berdasarkan sebaran, jumlah sekolah dan siswa pendidikan inklusif terbanyak, baik berstatus negeri maupun swasta keseluruhannya berada di semua provinsi Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Untuk sekolah berstatus swasta, Jawa Barat menempati urutan tertinggi dengan angka 16.694 siswa dari 329 sekolah, disusul Jawa Timur 13.179 pelajar (368), dan Jawa Tengah 8.548 siswa (133). Sedangkan untuk berstatus negeri, peringkat pertama di provinsi Jawa Tengah dengan 6.940 orang yang menjadi siswa 41 sekolah, disusul Jawa Barat 4.348 siswa (39 sekolah), dan Jatim 4.237 pelajar (69 sekolah).

Assessment
Stigma yang melekat kuat di benak masyarakat terhadap penyandang disabilitas dipandang tak lepas dari belum maksimalnya peran atau andil pemerintah menghilangkan konsep pemikiran negatif tersebut. Pemerintah justru mempertegas stigma itu dengan memisahkan antara siswa SLB dengan non SLB. Melalui pola itu, pemerintah kata Doni telah menjustifikasi cacat atau normalnya seorang anak.
“Kalau menurut saya itu sebuah kesalahan paradigma karena kita pisahkan itu sehingga munculah sekolah inklusi. Padahal pada hakikatnya sekolah itu harus inklusi, apapun bentuknya. Kalau ternyata di dalam proses ada anak yang sekolah khusus kayak di SLB, itu merupakan konsekuensi dari sebuah proses assessment,” tuturnya.
Doni memandang sepatutnya pemerintah menerapkan seluruh sekolah menjadi inklusi terlebih dahulu dan kemudian menerapkan assessment terhadap anak berkebutuhan khusus yang tidak bisa mengikuti kurikulum karena adanya “kekurangan”, kelebihan, kekhasan, maupun keunikannya. Assessment secara objektif terhadap disabilitas seseorang anak menentukan penempatan pendidikan sesuai dengan disabilitasnya.
“Sekolah inklusi kan sebenarnya menunjukkan bahwa ada sekolah yang tidak inklusi. Padahal semua sekolah itu seharusnya inklusi. Anak tunanetra kan enggak harus di SLB tunanetra, bisa masuk ke sekolah umum, fisiknya sehat, dia cuma enggak bisa baca saja. Lalu bisa dikasih akomodasi huruf braile, soal ujiannya itu lisan, dan lain-lain,” tukas Doni.
“Dalam Undang-Undang Dasar, hak semua warga Indonesia mendapatkan pendidikan. Jadi kalau dibagi dua, ada pendidikan inklusif disebut sendiri sebagai sekolah inklusi itu salah menurut saya,” imbuhnya.
Lebih jauh Doni menuturkan, seluruh sekolah seyogianya harus dapat mengakomodasi kebutuhan anak yang berkebutuhan khusus. Diakuinya, hal itu tentu saja tak lantas dapat dilakukan semudah membalikkan tangan. Persoalan anggaran dan kesiapan atas perubahan kurikulum hingga kemampuan pengajar menjadi salah satu yang harus dipenuhi saat konsep itu diterapkan secara utuh.
“Kita mulai dari yang kecil dulu, di-support dengan persiapan tenaga gurunya, pengetahuannya, gitu. Itu memang harus ada pelatihan, pengembangan. Jangan pemerintah menunjuk sekolah inklusi tanpa persiapan. Itu malah merendahkan martabat anak-anak berkebutuhan khusus,” Doni berpendapat.
“Karena ada sekolah yang ditunjuk sekolah inklusi tapi faktanya guru-guru, tenaga pendidiknya, konsepnya masih parsial. Jadi anak itu cuma disendirikan aja, enggak diapa-apain, cuma ditaruh di pojok. Karena sekolah ditunjuk sebagai sekolah inklusi, nah ini kan konsep yang salah,” timpalnya. (M Bachtiar Nur, Dianita Catriningrum, Rohadatul Aisy)