15 April 2019
18:24 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menilai jika keberadaan landasan untuk pendaratan helikopter (helipad) di antara persawahan Subak Kabupaten Tabanan, Bali, dapat mengancam status Subak sebagai warisan dunia.
“Pembangunan helipad tersebut di antara persawahan adalah kesalahan total, kami memohon kesadaran dari Bupati Tabanan untuk mengubah kembali menjadi persawahan karena itu sudah merusak keaslian dari bentuk sawah,” kata Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud, Nadjamuddin Ramly, seperti dikutip Antara, Senin (15/4).
Menurut Nadjamuddin, terjaganya keaslian dari bentuk sawah di kawasan itu dirasa sangat penting. Pasalnya, Subak sendiri sudah masuk ke dalam daftar warisan dunia yang diluncurkan oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (Unesco). Tak heran, subak pun menjadi sorotan dan terus dievaluasi oleh Unesco.
“Salah satu penilaiannya adalah keasliannya, jika sudah ada helipad maka bentuknya sudah tidak asli lagi,” tuturnya.
Nadjamuddin menambahkan, perubahan bentuk itu bisa mengakibatkan Subak masuk ke dalam daftar merah. Status warisan dunia itu bahkan memungkinkan dicabut bila tidak ada perbaikan.
“Untuk itu perlu komitmen dan kesadaran pemerintah daerah dan warga setempat untuk menjaga warisan dunia tersebut,” ucapnya.
Sekadar informasi, keberadaan helipad di tengah Subak Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan itu merupakan bentuk pelayanan fasilitas bagi tamu VVIP. Pembuatannya pun sudah melalui MoU yang juga ditandatangani oleh kelompok subak dan penduduk.
Helipad itu pun sebenarnya terbilang masih dalam tahap uji coba mengikuti siklus tanam. Hal itu dimaksudkan untuk mengetahui seberapa dampak yang akan ditimbulkan, khususnya terhadap lingkungan.
Meski begitu, Kemendikbud sejak awal 2019 telah melayangkan surat agar Bupati Tabanan bersedia mengembalikan helipad tersebut menjadi area persawahan. Kemendikbud menyakini, pembangunan helipad tersebut telah melanggar dua undang-undang yaitu UU Cagar Budaya dan UU Perundangan Pertanian.
Nadjamuddin mengatakan, hingga saat ini belum ada tanggapan dari Bupati Tabanan. Ke depannya, jika terus-menerus tidak ditanggapi, Kemendikbud akan melaporkan hal tersebut kepada gubernur setempat.
Selain mempertahankan keaslian subak, Nadjamuddin menambahkan bila pemerintah daerah harus dapat menyejahterakan para pemilik lahan sawah tersebut.
“Desakan ekonomi membuat pemilik sawah menjadi gelisah, mereka kan tidak bisa menjual sawahnya. Harusnya komitmen pemerintah daerah untuk mengalokasikan APBD untuk kesejahteraan para pemilik lahan,” pungkasnya.
Patut diketahui, subak itu sendiri merupakan perwujudan dari Tri Hita Karana, salah satu filosofi dalam agama Hindu yang menekankan keseimbangan hidup antara manusia, lingkungan alam, dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Lebih lanjut, refleksi dari ajaran tersebut terlihat dari penekanan soal pengaturan pembagian air secara seimbang untuk menjaga ekosistem melalui organisasi subak.
Terkait dengan statusnya, Komite Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2012 lalu telah menetapkan sistem subak sebagai Warisan Dunia. Tercatat, ada beberapa kawasan yang dipilih, yakni Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur di Kabupaten Bangli.
Ada pula lanskap subak dan Pura Subak di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan di Kabupaten Gianyar, kawasan Caturangga Batukaru di Kabupaten Tabanan dan Buleleng, serta yang terakhir Pura Taman Ayun di Kabupaten Badung.
Sementara itu, jika bicara soal warisan dunia, tercatat ada 7 kawasan lainnya di Indonesia yang masuk ke daftar milik Unesco itu, yakni Candi Borobudur dan Prambanan, serta Situs Sangiran (Jawa Tengah), Taman Nasional Komodo (NTT) , Taman Nasional Lorentz (Papua), Taman Nasional Ujung Kulon (Banten), dan wilayah hutan hujan tropis di Sumatra. (Shanies Tri Pinasthi)