15 Agustus 2020
14:03 WIB
JAKARTA - Pandemi covid-19 mengakibatkan kekhawatiran dan ketakutan di kalangan masyarakat, sehingga informasi yang benar menjadi hal yang sangat diharapkan. Namun, isu-isu kesehatan sendiri merupakan ladang penyebaran berita palsu (hoaks).
"Berkaitan dengan kesehatan merupakan salah satu peluang terbesar orang menyebarkan berita palsu dan tidak benar," kata Ketua Tim Kampanye I Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), Lestari Nurhajati saat diskusi seperti ditayangkan di YouTube BNPB, Sabtu (15/8).
Persoalan berita hoaks akan menjadi kompleks ketika masyarakat mempercayainya. Ketika masyarakat membenarkan isu yang salah, kata Lestari, tindakan-tindakan di luar kontrol memungkinkan terjadi.
Semisal, seseorang akan mempercayai bahwa sudah ada obat atau penawar covid-19. Bahkan, rela merogoh kocek untuk hal yang tidak ada manfaatnya. Padahal, semua negara masih berjibaku dengan bagaimana mencari formula yang tepat ihwal vaksin covid-19.
"Tindakan-tindakan yang salah terjadi karena dampak percaya pada berita hoaks," kata dia.
Untuk menangkal berita atau informasi hoaks, setiap masyarakat harus selalu melakukan pengecekan setiap berita atau infirmasi yang diterima dari berbagai media, termasuk media sosial.
Dia menjelaskan, cara mengecek berita atau informasi dengan cara memverifikasi. Berita atau informasi yang bombastis bisanya berpotensi mengandung hoaks. Kemudian, masyarakat jangan terlalu dini menyebarkan informasi yang belum diperiksa kebenarannya.
"Yang perlu dipikirkan masyarakat saat ini bagaimana memahami pentingnya mempelajari literasi media digital," ujarnya.
Dosen Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Ikhwan Lutfi menilai, hoaks adalah masalah paling klasik di dunia. Efeknya sudah jelas, bahwa informasi hoaks sangat negatif untuk seseorang. Dari mulai menimbulkan kecemasan, mengganggu eksistensi, tidak percaya pada sendiri, orang lain, dan pemerintah.
Munculnya hoaks saat pandemi dapat memicu ketidakpatuhan masyarkaat akan imbauan pemerintah. Karena informasi yang diterima dianggap tidak benar. Sehingga mencari alternatif informasi yang dimaknai lebih berarti daripada informasi yang disebarkan pemerintah.
"Masyarakat kita malas untuk mengecek berita atau informasi yang diterima. Itu sangat berbahaya. Intinya adalah selalu terapkan prinsip kehati-hatian," kata Ikhwal. (Herry Supriyatna)