c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

31 Maret 2021

14:53 WIB

Greenpeace: Obral Lahan Gambut Picu Karhutla Tahunan

Beberapa peraturan turunka fungsi lahan gambut. Review kebijakan mesti dilakukan

Greenpeace: Obral Lahan Gambut Picu Karhutla Tahunan
Greenpeace: Obral Lahan Gambut Picu Karhutla Tahunan
Petugas TNI menyemprotkan air untuk memadamkan kebakaran lahan gambut di Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau, Selasa (9/3/2021). Satgas Karhutla Riau terus berupaya melakukan pemadaman kebakaran lahan yang masih terjadi di Provinsi Riau agar bencana kabut asap tidak kembali terulang. ANTARA FOTO/Rony Muharrman

JAKARTA – Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Rusmadya Maharuddin prediksi, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahunan di Indonesia masih akan terus terjadi dalam waktu dekat.

“Prediksi ini karena pemerintah kerap memberi kelonggaran penggunaan lahan gambut kepada perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI),” jelas Rusmadya dalam keterangan tertulis, Rabu (31/3).

Penelitian Greenpeace Indonesia terbaru mengungkapkan, sekitar sepertiga dari Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut berada pada level kritis. Hal ini disebabkan karena penggunaan lahan untuk HTI dan perkebunan sawit skala besar.

Greenpeace juga mencatat masih banyak kejadian kebakaran di sejumlah KHG. Di mana ada 936 ribu hektare (ha) terbakar di dalam wilayah KHG pada 2016–2019 saat restorasi gambut sedang berjalan.

Pemerintah sebenarnya telah membangun Infrastruktur Pembasahan Gambut (IPG) untuk mencegah terjadinya kebakaran. Namun, empat wilayah KHG di Kalimantan Tengah masih saja terbakar seluas 165 ribu ha pada tahun 2019.

Kebakaran besar juga terjadi di 220 dari 520 KHG yang wilayahnya terdapat konsesi kelapa sawit dan HTI. Sebaliknya, kasus karhutla lebih sedikit muncul pada wilayah yang tidak ada izin-izin konsesi dan kanal drainase.

“Perkebunan skala besar secara empiris menjadi ganjalan bagi restorasi gambut. Meski ada bantuan perusahan merestorasi konsesi mereka yang belum tentu signifikan hasilnya,” kata dia.

Pemerintah, menurut Rusmadya memahami persoalan ini. Karena, pada 2014 Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menyerukan perlindungan gambut secara menyeluruh. Yakni, dengan melarang usaha di lahan gambut dan mengembalikan fungsi lahan-lahan gambut.

"Namun, tekad ini dianulir sendiri oleh pemerintah dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan dan aturan yang kontradiktif terkait perlindungan gambut," lanjutnya.

Dia mencontohkan, Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor P.10 Tahun 2019 yang membatasi perlindungan gambut hanya pada area gambut paling dalam dan puncak kubah gambut. Sebelumnya, terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 yang membagi fungsi gambut menjadi dua yaitu fungsi lindung dan budidaya.

Terakhir, lahir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menghapus prinsip tanggung jawab sehingga membatasi tanggung jawab perusahaan yang terkait karhutla.

“Pemerintah secara sistematis telah melemahkan ekosistem gambut dengan menerbitkan sejumlah aturan dan dikotomi fungsi gambut demi mengakomodasi kepentingan bisnis, pengusaha atau industri semata,” terangnya.

Menurut Rusmadya, selama pemerintah memberi izin perkebunan dan tanaman industri di lahan gambut, maka upaya restorasi tidak akan efektif.

Pembukaan lahan dan pengeringan di zona gambut budidaya akan berdampak langsung pada zona gambut fungsi lindung di KHG yang sama. Hal ini akan menyebabkan KHG menjadi rentan terbakar di musim kemarau dan banjir di musim hujan.

"Maka pemerintah perlu segera melakukan review perizinan yang menyebabkan tumpang tindih dengan KHG,” lanjut dia.

Pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) sempat menjadi harapan publik untuk memimpin upaya pemulihan gambut. Namun belakangan, BRG justru merestui usulan Presiden Joko Widodo untuk mengalihfungsikan lahan gambut di Kalimantan Tengah menjadi areal persawahan (program food estate). Padahal Kalimantan Tengah merupakan salah satu dari tujuh provinsi prioritas restorasi gambut BRG.

Hal ini tidak sejalan dengan komitmen pemerintah dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menanggulangi permasalahan krisis iklim. Terkait hal ini, Presiden Jokowi bahkan menyerukan negara-negara harus mengambil langkah yang luar biasa.

“Sulit menemukan persamaan antara janji Presiden Jokowi dengan kebijakan dan aturan yang berlaku. Perlindungan gambut Indonesia masih sebatas ala kadarnya,” pungkasnya. (Seruni Rara Jingga)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar