21 Desember 2020
19:37 WIB
JAKARTA - Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) memandang aturan melakukan foto, rekaman audio atau audio visual harus izin hakim atau ketua majelis hakim sangat tidak relevan. Sebab pengambilan foto, rekaman audio atau rekaman audio visual adalah bagian dari akses terhadap keadilan dan keterbukaan informasi publik.
"Khususnya selama pengambilan gambar atau suara tidak mengganggu jalannya persidangan," kata perwakilan KPP dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati melalui keterangan persnya, Senin (21/12).
Dalam hal ini, KPP memandang prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum. Itu diatur dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, kecuali perkara mengenai kesusilaan atau anak.
Apabila aturan ini diberlakukan, maka Mahkamah Agung (MA) harus menjamin bahwa setiap pengadilan wajib mengeluarkan materi terkait dengan persidangan yang sedang berlangsung, baik dalam bentuk foto, gambar, audio, dan rekaman visual lainnya. Masyarakat harus dapat mengaksesnya secara bebas dan aktual.
"Sekedar melarang tanpa mewajibkan setiap pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan, merupakan bentuk penutupan akses informasi publik pada sidang yang terbuka untuk umum," ujarnya.
KPP juga mengingatkan, larangan ini dapat berdampak terhadap kerja-kerja advokat yang membutuhkan dokumentasi materi persidangan untuk dapat melakukan pembelaan secara maksimal.
Selain itu, larangan ini juga akan berdampak bagi lembaga pemberi bantuan hukum yang kerap kali mengalami hambatan untuk mendapatkan akses keadilan di persidangan.
Secara lebih luas, kata Asfinawati, larangan ini akan berdampak serius terhadap akses keadilan masyarakat, dan mereduksi keterbukaan informasi yang juga diwajibkan oleh hukum yang berlaku di Indonesia.
Koalisi juga memahami majelis hakim memerlukan ketenangan ketika menyidangkan perkara, sehingga dapat memeriksa dan memutus perkara dengan cermat dan hati-hati. Namun, ada cara lain yang dapat diberlakukan untuk dapat mengatur ketertiban di ruang sidang.
"Yakni dengan memperhatikan kepentingan berbagai pihak terkait dalam persidangan, termasuk pihak yang membutuhkan akses keadilan dari memfoto, merekam dan meliput persidangan," pungkasnya.
Baca juga: Ambil Foto Dan Rekam Sidang Harus Izin Hakim
Seperti diketahui, MA menerbitkan aturan pengambilan foto, audio dan video dalam persidangan harus seizin hakim atau ketua majelis hakim. Aturan itu tertulis dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan yang ditetapkan pada 27 November 2020.
"Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin hakim/ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan", demikian bunyi Pasal 4 ayat 6 Perma Nomor 5 Tahun 2020. (Herry Supriyatna)