25 Oktober 2018
19:01 WIB
JAKARTA – Kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia menjadi pihak yang rentan mengalami diskriminasi. Hasil penelitian Human Right Watch (HRW) Indonesia mencatat, ada sejumlah kasus pelanggaran terhadap kelompok LGBT sepanjang tahun 2016-2018.
Pada November tahun 2016, Front Pembela Islam (FPI) melakukan penggerebekan di rumah pribadi di wilayah Jakarta. Polisi kemudian menangkap dan menahan 13 pria di sana.
Sedangkan pada tahun 2017-2018, HRW Indonesia mencatat setidaknya terjadi enam kasus persekusi terhadap kelompok LGBT. Pada tahun 2017, polisi melakukan penggerebekan sejumlah tempat yang diduga terdapat kelompok LGBT, seperti di sauna, klub malam, ruang hotel, salon dan rumah pribadi.
Di bulan September 2017, atas dasar laporan masyarakat yang resah, polisi menggerebek sebuah rumah di Jawa Barat yang dihuni oleh 12 orang perempuan yang diduga pasangan lesbian. Alhasil, 12 perempuan tersebut diminta untuk pindah dari rumahnya.
Selanjutnya pada tahun 2018, HRW Indonesia mendapati Twitter sempat diramaikan propaganda anti-LGBT. Bahkan sampai muncul ancaman untuk melakukan boikot terhadap sejumlah produk di Indonesia yang telah mendukung hak-hak LGBT.
Terjadi pula aksi penggerebekan kontes kecantikan waria di Aceh pada Januari 2018. Polisi menangkap puluhan waria dan memaksa mereka membuka baju dan memotong rambut mereka di hadapan publik.
Kasus-kasus itu hanyalah sedikit contoh dari aksi-aksi persekusi terhadap kelompok LGBT yang terjadi pada tahun 2016-2018. Kondisi itu disebutkan oleh HRW Indonesia sebagai bentuk kepanikan moral.
HRW sendiri telah melakukan penelitian mengenai dampak kepanikan moral anti-LGBT terhadap persoalan HIV di kalangan LGBT Indonesia. Penelitian itu berdasarkan pemberitaan media, mendatangi tempat yang ditutup, mewawancara dokter, perawat dan 46 Orang dengan HIV/AIDS di beberapa tempat di antaranya Medan, Aceh, Jakarta, Surabaya, Cianjur, Jogjakarta, Bali, Pontianak dan Banjarmasin.
Hasil penelitian HRW Indonesia menemukan jika kepanikan moral anti-LGBT yang terjadi di Indonesia telah meningkatkan rasa tidak nyaman bagi kelompok LGBT. Keadaan ini kemudian membuat mereka menjadi menutup diri.
Akibatnya, para penjangkau HIV, yakni mereka yang mendatangi para LGBT untuk memberikan konseling dan cek kesehatan, menjadi sulit untuk menemukan mereka. Para LGBT tak lagi berada di tempat-tempat mereka biasanya berkumpul seperti di gym lantaran takut dan tertekan.
Situasi ini mengkhawatirkan. Sebab HRW menemukan kalau tingkat penderita HIV di kalangan LGBT, khususnya gay, justru mengalami peningkatan lima kali lipat sejak tahun 2007. Sepertiga dari jumlah penderita HIV yang baru terjadi di Indonesia berasal dari gay. Persebaran HIV di kalangan gay meningkat secara signifikan dan cepat.
Pada tahun 2007 tingkat persebaran HIV di kalangan gay yakni 5% dan meningkat menjadi 8,5 % tahun 2011. Di tahun 2015 tingkat persebaran HIV di kalangan gay mengalami peningkatan drastis yakni 25%. Sedangkan di kalangan waria pada tahun 2011 dan 2015 yakni 22%.
Dari penelitian HRW Indonesia, dapat dipahami jika persekusi terhadap kelompok LGBT tak hanya melanggar hak mereka sebagai manusia. Aksi persekusi yang selama ini kerap dilakukan oleh aparat keamanan maupun masyarakat, memberikan tekanan dan ancaman bagi mereka. Hal tersebut nyatanya turut berdampak terhadap persoalan HIV.

Kepanikan Moral
Stigma masyarakat begitu kuat pada kelompok LGBT. Masyarakat cenderung begitu antipati terhadap eksistensi mereka.
Ironisnya, pemerintah pun sampai saat ini tak kunjung memberikan kebijakan alternatif guna menangani hal ini. Peneliti HRW Indonesia Andreas Harsono mengatakan, kebijakan pemerintah selama ini justru membuat ketakutan kelompok LGBT.
“Kebijakan ini membuat ketakutan bagi kelompok LGBT terutama waria, karena mereka yang paling nampak,” kata Andreas, dalam wawancara dengan Validnews, Selasa (24/10).
Ia menyebutkan, pada tahun lalu saja terdapat 300 individu LGBT yang ditangkap dan puluhan di antaranya ditahan. Mereka divonis dengan Undang-Undang Pornografi.
“Kesannya seperti dicari-cari. Ada yang karena di handphone-nya terdapat gambar porno,” katanya.
Padahal sebetulnya, kata Andreas, sangat mungkin masyarakat umum juga masih menyimpan konten pornografi. “Karenanya penegakan hukum bagi kelompok LGBT cenderung diskriminatif,” tegasnya.
Oleh karenanya, Andreas berharap pemerintah seharusnya melindungi semua hak warga negara tanpa pandang bulu, termasuk kelompok LGBT.
Bila ditinjau dari sisi hukum pidana, tindakan persekusi yang dilakukan oleh pihak berwajib melanggar undang-undang. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina mengatakan bahwa selama ini tidak ada pasal manapun yang melegalkan kriminalisasi terhadap kelompok LGBT.
“Dengan demikian, secara jelas tindakan penggerebekan yang dilakukan aparat itu sewenang-wenang dalam konteks ini. Sebenarnya sangat mungkin polisi ataupun aparat lain digugat atas tindakan mereka” kata Maidina, dalam wawancara dengan Validnews, Rabu, (24/10).
Ia pun mencontohkan upaya ICJR menyerukan pencopotan Kepolres Aceh Utara Untung Sangaji karena telah melakukan penyergapan terhadap 12 waria di salon pada Januari 2017 lalu. Terlebih polisi juga memaksa mereka untuk memangkas rambutnya.
“Kita waktu itu serukan untuk copot kapolresnya karena tidak ada wewenangnya sama sekali untuk melakukan tindakan tersebut. Akhirnya dia dimutasi,” ujarnya.
Ia pun berharap seharusnya pemerintah saat ini dapat juga melakukan hal yang sama terhadap aksi-aksi persekusi yang melanggar undang-undang.
Ketabuan akan pengetahuan mengenai gender dan seksualitas membuat masyarakat alpa untuk menghargai hak-hak kelompok LGBT sebagai sesama manusia.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Augustina Situmorang mengatakan stigma negatif masyarakat ini membuat posisi pemerintah sulit dalam membuat program kebijakan yang jelas bagi kelompok LGBT.
“Misal ada wacana program untuk melindungi kelompok LGBT, lalu di tingkat masyarakat akan ada pertentangan karena pemerintah akan dianggap pro LGBT,” kata Augustina saat diwawancarai Validnews, Jumat (19/10).
Dengan anggaran yang terbatas, pemerintah disebutkan Augustina akhirnya akan lebih memprioritaskan program lain yang menurut mereka lebih utama. Sebab isu LGBT masih menjadi pro-kontra di masyarakat.
Masalah pelanggaran hak terhadap kelompok LGBT ini turut diakui oleh organisasi-organisasi yang bergerak dalam isu gender dan orientasi seksual, seperti Support Group and Resource Center on Gender and Sexual Studies untuk Indonesia (SGRC Indonesia) dan Suara Kita.
SGRC Indonesia sebagai organisasi yang memiliki fokus terhadap persoalan gender dan orientasi seksual, juga menyadari bahwa adanya diskriminasi terhadap kelompok LGBT di Indonesia. Direktur Advokasi dan Kebijakan Publik SGRC Indonesia Riska Carolina melihat pemenuhan akan hak-hak kelompok dengan ragam gender dan minoritas seksual di Indonesia belum terpenuhi.
“SGRC melihat kalau teman-teman dengan ragam gender dan minoritas seksual, untuk pemenuhan haknya belum 100%. Contohnya dalam hak privasi, hak dalam kebebasan berekspresinya masih kurang,” kata Riska, saat ditemui Validnews, Senin (22/10).
Sikap pemerintah terhadap kelompok dengan keragaman gender dan minoritas seksual pun belum rata terpenuhi. Kebijakan pemerintah belum ada yang melindungi kelompok dengan ragam gender dan minoritas seksual
Padahal pemerintah seharusnya menjamin hak-hak seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. “Persekusi masih terus terjadi,” jelasnya.
Baginya, gender dan seksual orientasi seharusnya dapat dilihat sebagai suatu objek pembelajaran yang dilihat dalam konteks ilmu pengetahuan. Jadi, masyarakat awam tidak seharusnya melihat perbedaan sebagai sesuatu yang aneh tanpa mempelajari terlebih dahulu latar belakang dan kerangka berpikir ragam gender dan minoritas seksual.
“Apalagi menapis hak suatu kelompok,” terangnya.
Oleh karena itu, masyarakat diharapkan dapat mempelajari terlebih dahulu mengenai kelompok LGBT, sehingga dapat memahami dan menghargai hak-hak mereka.
Sejauh ini, SGRC Indonesia sendiri telah bergabung menjadi bagian dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP, sebagai perwakilan orang muda. Saat ini RKUHP yang menyangkut perihal pasal-pasal kesusilaan masih dalam tahap proses. Harapannya, RKUHP tidak mendiskriminasi siapapun, termasuk kelompok dengan ragam gender dan minoritas seksual.
Senada dengan SGRC Indonesia, Suara Kita, organisasi yang secara langsung dibentuk oleh kelompok LGBT pada tahun 2011, juga mengkritik pemerintah dan masyarakat yang melanggar hak kelompok LGBT.
“Penggerebekan terhadap kelompok LGBT jelas tidak boleh, kalau tidak melakukan tindakan kriminal,” kata perwakilan Suara Kita, Hartoyo, saat ditemui Validnews, Sabtu (20/10).
Sebagai organisasi yang ditujukan untuk mendidik publik mengenai keragaman orientasi seksual dan identitas gender serta advokasi diskriminasi gender, Suara Kita juga merasakan tekanan masyarakat yang begitu menyudutkan kelompok LGBT.
Hartoyo mengatakan, perkembangan teknologi memang membuat masyarakat menjadi dapat mengetahui berbagai informasi, termasuk perihal LGBT. Sayangnya dari situ pula masyarakat juga memperoleh informasi yang salah mengenai LGBT.
Tingkat literasi yang rendah, diamatinya telah membuat masyarakat Indonesia mudah terpapar informasi yang tidak benar atau hoaks. Oleh sebab itu, ia merasa perlu ada edukasi terhadap masyarakat agar dapat lebih memahami kelompok LGBT.
“Derasnya informasi yang diperoleh masyarakat kita tidak dibarengi dengan informasi yang komprehensif, sehingga masyarakat kemudian mengalami kepanikan moral atau gagap,” jelasnya.
Kepanikan moral masyarakat terhadap LGBT, akhirnya membuat mereka aktif mensosialisasikan kepada masyarakat melalui publikasi artikel terkait studi gender dan orientasi seksual. Tujuan sederhana, agar masyarakat dapat memahami dan menghargai hak-hak kelompok LGBT layaknya manusia pada umumnya. Di sisi lain, mereka juga mengaku tetap aktif berdiskusi ke teman-teman LGBT lainnya.
Kepanikan moral masyarakat berlebih juga dirasakan Ardi, salah seorang gay yang tergabung pada sebuah komunitas LGBT. Dia merasa masyarakat telah terbiasa mendiskreditkan tentang party sex pada setiap acara yang diselenggarakan oleh komunitas LGBT. Padahal menurut pengakuan Ardi, tidak ada party sex jika mereka berkumpul.
“Kita senang-senang bareng. Ngedance, ngegames, dandan, lomba fashion show. Nggak ada itu party sex,” jelas Ardi, saat diwawancarai Validnews, Jumat, (19/10).
Selain senang-senang, lanjut Ardi, pun ada kegiatan positif yang biasa mereka lakukan, seperti melakukan bakti sosial yang terfokus kepada kaum dhuafa.
Pendekatan Empatik
Perdebatan mengenai LGBT mengalir deras hingga kini. Pemerintah sendiri lebih condong mengkategorikan LGBT sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Di lain sisi, World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa kelompok LGBT bukanlah termasuk kategori gangguan jiwa dan bukan penyimpangan orientasi seksual.
Tak mengherankan jika pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) menjadikan rehabilitasi sebagai solusi untuk kelompok LGBT. Dengan harapan mereka dapat menjadi normal.
Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang (RSTS & KPO) Kemensos Sony W Manalu mengatakan, bahwa yang disebut normal atau wajar adalah kondisi ketika kelompok LGBT telah kembali ke lingkungan sosial yang semestinya.
Misalnya, seseorang yang secara biologis terlahir sebagai wanita akan kembali memiliki ketertarikan terhadap pria dan menjalankan fungsi-fungsi sosial wanita.
“Persoalan LGBT adalah persoalan sosial, makanya selesaikan dengan penanganan sosial, dengan pendekatan pekerjaan sosial, memberi ruang kepada mereka dengan metodologi mengembalikan keberfungsian sosial mereka. Kembali menjadi normal dan wajar,” tegas Sony, kepada Validnews, Rabu (23/10).
Menurut Sony, dorongan seseorang menjadi lesbi, gay, biseksual (LGB) 90%-nya itu disebabkan karena pengaruh lingkungan. Sedangkan, untuk penyebab seseorang menjadi transgender menurutnya 80% merupakan bawaan lahir. Hanya 20% yang dipengaruhi lingkungan.

Kemensos mengaku sejauh ini baru menggandeng lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus melakukan pendampingan untuk kelompok transgender saja, yaitu waria. Alasannya, karena waria suka mengekspos diri sehingga lebih mudah didekati.
Kemensos sendiri lebih bertumpu pada LSM yang diperjuangkan oleh nonwaria. Harapannya mereka dapat mengembalikan kondisi para waria seperti sebelumnya, dibandingkan menyuburkan keberadaannya.
Sony yakin, seorang waria atau pasangan homo bisa kembali ke jalan yang benar kalau dibuka ruang oleh yang nonwaria atau nonhomo. Karena ada intervensi dari luar yang menjadi penasihatnya.
“Sayangnya, masih sangat sedikit LSM yang membuat pendampingan bagi waria tetapi bukan waria. Begitu pula LGB,” terangnya.
Sementara untuk LGB, Sony mengetahui jika lesbi, gay dan biseksual tidak merasa bahwa perbedaan orientasi seksual membuat mereka perlu mengikuti rehabilitasi. Karenanya, ia pun mengakui bila memang harus dipikirkan upaya penanganan lain, selain rehabilitasi.
Meski terjadi pro-kontra terhadap persoalan kelompok LGBT, Sony turut berharap agar masyarakat tidak serta-merta merampas hak asasi mereka, seperti melakukan persekusi misalnya. Dia berkata, untuk menangani permasalahan LGBT, masyarakat perlu menempatkan perspektif yang tepat.
Sony pun menyayangkan sikap masyarakat yang cenderung memberi stigma negatif kepada kaum LGBT dan menghakimi secara sepihak.
“Keliru besar ketika berbicara tentang LGBT, lalu yang ada di otak kita adalah penyimpangan aktivitas seks karena tidak semua LGBT melakukan penyimpangan seks,” tutur Sony.
Baginya yang menyimpang dari LGBT adalah preferensi dan orientasi seksualnya. Belum tentu semua LGBT mempraktikkan perilaku seks yang tidak semestinya.
“Jangan sampai karena dia gay atau waria aparat bebas memukul. Dulu juga kita (Kemensos.red) suka mengejar-ngejar waria, tetapi itu keliru. Jangan pernah menghakimi, tetapi berusaha mengubah dia,” kata Sony.
Menurutnya, yang perlu dilakukan pemerintah adalah terus melakukan pendekatan sosial dan penanganan kesehatan. Pasalnya, hubungan LGBT, terkhusus hubungan sesama jenis pria, baik pria gay maupun transgender waria sangat memungkinkan penularan penyakit imun HIV/AIDS.
Dari 78 lembaga kesejahteraan sosial (LKS) yang bermitra dengan Kemensos dalam menangani pasien HIV/AIDS, 10 LKS di antaranya terdapat pasien waria. Delapan di antaranya terjadi di Pulau Jawa. Dua lainnya di Pulau Sumatera.
Selain memaksimalkan peran pemerintah, Kemensos turut mengimbau masyarakat untuk tidak mendiamkan atau menjauhi keluarga atau sahabat dari orang yang menunjukkan gejala seorang LGBT.
Kelompok LGBT ini acap kali dihadapkan dengan benturan nilai dan norma yang dianut masyarakat, terutama terkait agama. Akan tetapi, sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai ajaran keagamaan, tak seharusnya masyarakat melanggar hak-hak mereka.
Hal ini yang ditegaskan oleh Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin dalam wawancara dengan Validnews, Kamis (18/10). Lukman menjelaskan bahwa kaum LGBT merupakan ciptaan Tuhan juga.
Dia menegaskan, kaum LGBT hanya memiliki masalah pada orientasi dan identitas seksual mereka, sehingga masyarakat tidak sepatutnya mengadili.
"Jadi lesbian, gay, biseksual itu kan masalah orientasi seksual. Sementara transgender masalah identitas. Nah, orang-orang itu biasanya memiliki persoalan yang tidak sederhana," kata Lukman.
Menurutnya, kaum LGBT tentu memerlukan tempat untuk mereka berkeluh kesah. Karena itu perlu ada orang lain atau masyarakat yang memiliki kesediaan untuk mendengarkan mereka. Ia mengatakan bahwa hal tersebut merupakan esensi dari sebuah dakwah dan etika masyarakat beragama.
Kementerian Agama (Kemenag), diakui Lukman mencoba untuk hadir di tengah-tengah mereka. Tapi bukannya membenarkan perilaku, Lukman mengatakan yang dilakukan Kemenag lebih kepada merangkul kaum LGBT agar nantinya dapat perlahan disadarkan lewat sentuhan-sentuhan agama.
"Bahasa saya merangkul, bukan berarti kita merangkul ikut seperti mereka. Merangkul itu maknanya mengayomi, mendampingi, memberikan penyuluhan, menyediakan telinga kita untuk mendengar secara empatik," jelas Lukman.
Agama sendiri, dijelaskan oleh Lukman memiliki inti menjaga eksistensi kemanusiaan, harkat derajat martabat manusia. Justru karena mengetahui kaum LGBT menyimpang dari ajaran agama, maka tugas agama, khususnya pemuka agama, untuk mengajak atau merangkul agar mereka perlahan dapat diberi pengetahuan.
Di sisi lain, masyarakat, disebutnya juga wajib mendampingi mereka agar tidak keterusan perilakunya.
"Ini kan pada praktiknya mereka dihujat, dikucilkan, dianggap bukan manusia. Padahal perilaku mereka seperti itu bukan hanya imbas dari lingkungan, tapi ada juga karena dari faktor genetik, bukan kemauannya," tegas Lukman.
Oleh sebab itu, melalui bina masyarakat (bimas) Islam, Kemenag telah melakukan penyuluhan keagamaan bagi kaum LGBT di setiap daerah. Kemudian, secara purposive atau terstruktur, Kemenag juga secara rutin telah mendatangi komunitas yang tidak terlalu diperhatikan masyarakat, salah satunya komunitas LGBT.
Kemenag, dikatakan Lukman telah membangun dialog dan terus berusaha mencoba menjadi teman bagi kaum yang ditolak masyarakat, sehingga mereka merasa nyaman terlebih dahulu. Sisanya Kemenag akan berupaya menyusupkan bimbingan-bimbingan dalam dialog tersebut.
"Ini hanya masalah pendekatannya. Kita mendatangi mereka, berdialog, minimal bertukar pikiran, minimal mereka tidak merasa sendiri," kata Lukman.
Untuk meminimalisir pemaparan LGBT agar tidak lagi meluas, butuh koordinasi antar-stakeholder. Sejauh ini Kemenag sendiri mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kemendikbud, dan LSM terkait.
Untuk kaum LBGT, Kemenag mengatakan telah tersedia beberapa klinik-klinik konseling yang dicanangkan oleh Kemenkes. Tujuannya untuk melakukan pendampingan, memberikan pelayanan dan penyeluhan yang sifatnya konseling kepada mereka.
"Coba kita bayangkan jika saudara kita yang mengalami itu. Harus ada pendampingan, secara empatik," tutupnya. (Dana Pratiwi, Elisabeth Hasibuan, Fadli Mubarok, Fajar Setyadi)