c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

20 Agustus 2019

19:19 WIB

Dibalik Malapraktik, Ada Penuntasan Kasus yang Pelik

Penuntasan kasus malapraktik di Indonesia, masih menjadi sesuatu yang menguras energi dan emosi. Pasien sebagai korban kerap dalam posisi lemah, di sisi lain, dokter juga jadi profesi yang rawan dikriminalisasi

Dibalik Malapraktik, Ada Penuntasan Kasus yang Pelik
Dibalik Malapraktik, Ada Penuntasan Kasus yang Pelik
Ilustrasi demo dokter. Antara/dok

JAKARTA – Julius Ibrani, Koordinator Program Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) bercerita tentang seorang kliennya yang meminta bantuan atas penyelesaian dugaan malapraktik. Tanpa membuka identitas kliennya tersebut, ia menuturkan soal seorang perempuan yang suaminya mengalami kecelakaan hingga mengalami gangguan pada sarafnya.

Gangguan saraf ini membuat sang suami berada pada fase persistent vegetative state atau kondisi di mana sang suami masih memiliki kesadaran, tapi tidak menunjukkan reaksi kognitif terhadap rangsangan yang ada di sekitarnya.

Anehnya, lanjut Julius, sang suami malah kabur membawa kedua anaknya ke rumah keluarga besar sang suami. Tidak lama berselang, sang istri pun digugat cerai oleh suaminya.

“Bagaimana mungkin seorang yang tidak bisa bergerak mampu membuat seluruh berkas perceraian itu dan menandatanganinya,” kata Julius saat ditemui Validnews, Kamis (15/8).

Setelah PBHI melakukan investigasi lebih lanjut, tim advokat pun menemukan indikasi tindak pidana oleh dokter yang menangani suami tersebut selama di rumah sakit. Keluarga sang suami memberikan sejumlah uang kepada dokter, untuk tidak pernah memberikan resume rekam medis kepada sang istri. Agar saat di persidangan perceraian, sang istri tidak bisa membuktikan kelumpuhan sang suami.

Menurut Julius, kasus seperti ini sering kali selesai secara kekeluargaan, padahal kejadian seperti ini juga sudah termasuk malapraktik oleh tenaga medis.

Sama halnya dengan kasus bayi Fayla yang meninggal diduga karena dokter salah memasukkan obat dalam infusnya tahun 2015. Atau kasus anak laki-laki inisial MI (9) yang alat kelaminnya terpotong karena penggunaan laser untuk khitan yang tidak memiliki izin resmi sebagai praktik medis atau juru khitan.

Pada dasarnya penyebab terjadinya malapraktik kedokteran dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Indikasinya, bisanya mengarah pada praktik medis tanpa adanya standar profesi kedokteran (SPK), standar prosedur operasional (SPO), dan informed consent (IC). Padahal, ketiganya merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk berpraktik menjadi dokter.

Dalam kasus-kasus dugaan malapraktik, memang agak sulit menentukan apakah kasus tersebut tergolong malapratktik medis atau hanya risiko medis. Kadang kala jika dalam pemberian tindakan medis oleh dokter, pasien justru meninggal dunia, orang bisa menganggap hal tersebut sebagai tindakan malapraktik oleh dokter.

Padahal, dari aspek hukum pidana, untuk membuktikan suatu malapraktik harus ada unsur kelalaian dokter yang terpenuhi. Kelalaian ini harus dibuktikan sebagai kelalaian berat yang berhubungan dengan meninggal atau cacatnya pasien. Bila unsur kelalaian ini tidak ada, hal tersebut bisa dianggap sebagai risiko medis yang mungkin bisa terjadi atau karena perjalanan penyakitnya memang sudah parah.

Nah jika ternyata bisa dibuktikan di pengadilan terjadi malapraktik, pihak korban ataupun keluarganya dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang mengakibatkan malapraktek tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang mengatakan, setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/ atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Pasal 361 KUHP pun juga memberikan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan malapraktik saat bertugas. Di samping itu, hakim dapat menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak melakukan pekerjaan yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan, serta memerintahkan pengumuman keputusannya tersebut.

Secara prosedur, penerima pelayanan kesehatan yang merasa dirinya menjadi korban malapraktik maka pengaduan bisa disampaikan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) melalui Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). 

Untuk diketahui, sejatinya ada tiga proses pengaduan dalam sistem kedokteran. Apabila kasusnya bersifat etik kedokteran, pasien atau keluarganya melapor ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Sementara jika terjadi pelanggaran disiplin, masyarakat bisa melapor ke MKDKI melalui KKI.

“Kalau kasus hukum, ya bisa langsung ke aparat,” kata Dr. Adib Khumaidi, Wakil Ketua Umum 1 IDI saat dihubungi Validnews via sambungan telepon, Selasa (20/8).

Dari hasil penelusuran, terdata pada laman resmi KKI ada 317 kasus dugaan malapraktik sepanjang 2006 hingga 2015. Rinciannya, 114 kasus dugaan malapraktik dokter umum, 76 kasus dokter spesialis bedah, 55 kasus dokter spesialis kandungan dan 27 kasus dokter spesialis anak.

Untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut, diperlukan peran MKDKI untuk menginvestigasi secara mendalam, termasuk pengumpulan informasi dan alat bukti. Setelah itu, baru kemudian diputuskan ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan oleh dokter yang bersangkutan.

Masih berdasarkan dari laman resmi KKI tersebut, pengaduan dan gugatan hukum pada dokter yang terdata pada tahun 2016 tercatat sebanyak 39 pengaduan. Kemudian KKI mendapatkan 30 pengaduan pada tahun berikutnya. Hanya saja, selama dua tahun ini tidak ada satupun proses kasus disiplin yang dilakukan oleh KKI.

Proses kasus disiplin sendiri, baru kembali dimulai tahun 2018. KKI mendata pada tahun 2018 ada sebanyak 95 gugatan yang diproses. Masing-masing pada tahun 2014 sebanyak empat kasus, 2015 ada 5 kasus, kemudian meningkat pada tahun 2016 menjadi 21 kasus. Selanjutnya, pada tahun 2017 KKI proses kasus disiplin ada 28 kasus dan pada tutup buku tahun 2018 sebanyak 37 kasus.

Namun, dari total 95 kasus disiplin yang diproses ini hanya ada 49 putusan kasus yang telah dibacakan. Masing-masing pengaduan tahun 2014 sebanyak 4 putusan, kemudian untuk pengaduan tahun 2015 sebanyak 5 putusan.

Pada tahun 2016 KKI berhasil melakukan putusan untuk seluruh pengaduan kasus disiplin, yaitu sebanyak 21 putusan. Namun angka ini menurun menjadi 16 putusan pada tahun berikutnya, 2017. Dan pada akhir 2018 pun, KKI hanya berhasil melakukan pembacaan putusan sebanyak 3 putusan.

Kendati demikian, KKI menyatakan kasus yang diputuskan pada tahun 2018 berjumlah 49 putusan ini telah melebihi Rencana Strategi (Renstra) KKI yang hanya menargetkan 41 putusan.

Secara umum, pencapaian KKI yang telah melebihi target ini bisa dikatakan sebagai prestasi. Namun, bagi orang-orang yang terlibat di dalam angka-angka tersebut, khususnya korban, ini adalah hidup-mati mencari keadilan di dunia kesehatan.

 

 

Meminta Keadilan
Sejatinya, lembaga bantuan hukum sendiri tidak akan langsung menerima kasus dugaan malapraktik dari masyarakat. Ada dua tindakan pertama yang harus ditelusuri oleh lembaga bantuan. Pertama menelusuri administrasi dari pasien. Hal ini termasuk catatan tentang tindakan medis selama penanganan dan catatan medis pasien, sebelum datang ke rumah sakit.

“Pemeriksaan awal juga termasuk pada internal aturan di rumah sakitnya,” kata Julius.

Sesuai atau tidaknya penanganan pasien dengan regulasi yang ada, dari awal masuk rumah sakit sampai selesai, akan diketahui setelah pemeriksaan awal ini.

Kemudian juga akan diperiksa formulir konsensual (informed concent) yang berisi data tentang kesepakatan antara pasien dan dokter selama penanganan. Formulir inilah yang kerap terabaikan, baik oleh dokter ataupun pasien sendiri.

Julius menjelaskan, pada proses anamnesa (proses pemeriksaan riwayat sakit), dokter akan bertanya tentang keluhan pasien dan histori kesehatan apa yang selama ini pasien miliki. Dengan begitu, dokter akan menghindari pemberian resep obat atau tindakan medis fisik yang kontradiktif dengan tubuh pasien. Begitu pula dengan risiko-risiko yang akan diterima oleh pasien, jika dokter hendak melakukan tindakan.

Tidak hanya sebatas mencatat, tenaga medis harus menjelaskan secara lisan maupun tulisan yang jelas dan lengkap kepada pasien ataupun keluarganya tentang risiko tersebut. Apabila pasien atau keluarganya masih belum mengerti, ada baiknya tindakan kepada pasien ditunda sementara.

Hal inilah yang biasnya cukup sulit dilakukan, mengingat kedokteran ataupun profesi lain, kerap menggunakan terminologi sendiri yang terasa asing di telinga masyarakat.

“Dokter yang baik harus mampu menjelaskannya secara ringkas. Tidak sulit kok,” kata Ayu Eza Tiara, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta saat ditemui Validnews di kantornya, Jumat (16/8).

Dari laporan yang diterima PBHI ataupun LBH Jakarta, banyak dokter yang melalaikan proses ini. Sementara si pasien juga tidak memahami, mereka memiliki hak untuk bertanya dan mendapatkan penjelasan.

Bagi Ayu, formulir konsensual ini menjadi indikator bukti yang paling substansif yang harus diterima dan ditelusuri apabila ada dugaan malapraktik. Jika ditemukan ketidaksesuaian antara administrasi dan formulir konsensual, baru bisa ditindaklanjuti secara hukum.

 

 

Prosedur Administrasi

Dalam mendampingi klien untuk gugatan dugaan malapraktik, para lembaga hukum ini harus menghadapi banyaknya prosedur dan administrasi yang harus dilewati, agar mendapatkan bukti administratif dan formulir konsensual di atas. Dari pengalaman Julius, ia mengakui tidak semua klinik, rumah sakit, tenaga medis mau memberikan salinan administrasi atau rekam medis secara lengkap.

Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, disebutkan, setiap dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, memang harus membuat rekam medis. Tapi, harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

Bagi Julius inilah yang menjadi celah dalam sistem kesehatan di Indonesia. Dalam UU tersebut memang tidak dikatakan rekam medis boleh diberikan kepada pasien.

Menurut Dr. Titia Rahmania, dokter yang bertugas di Rumah Sakit Dr. Citra Medika Sidoarjo, hal tersebut dilakukan untuk menghindari kerancuan dari interpretasi rekam medis tersebut, terlebih jika yang membaca bukan pelaku dari dunia kesehatan.

“Tidak semua orang paham tentang lingkungan medis. Pemahaman yang tidak menyeluruh, akan menimbulkan kesalahan pengertian yang besar nantinya,” kata Titia saat dihubungi Validnews, Rabu (14/8).

Dari laporan yang diterima PBHI, jika ditelisik lebih jauh, rekam medis yang tak diperoleh pasien, lebih banyak terjadi di rumah sakit swasta. Pada rumah sakit pemerintah atau umum (RSU), sebagai pelayanan publik yang menggunakan anggaran negara, mereka harus menyiapkan rekam medis apabila diminta.

“RS Swasta tidak cukup dua bulan, ada yang tidak sampai sama sekali. Kalau RSU dua minggu tidak diberikan kita bisa lapor ke Ombudsman,” kata Julius.

Cukup sering Julius menghadapi sistem administrasi RS yang memintanya untuk membuat surat dari pasien, dokter yang bersangkutan, bahkan surat tembusan dari Konsil Kedokteran Indonesia.

Sikap yang terkesan resisten ini, bagi Julius yang berefek pada sulitnya pembuktian klien mereka terhadap dugaan malapraktik. Belum lagi PBHI akan menghadapi potensi rekayasa rekam medis akibat waktu yang terbuang.

Semua proses ini pun hanya bisa disidangkan dalam unsur pidana atau pun perdata. Lain lagi jika terjadi sidang kode etik yang hanya bisa dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang agaknya tertutup dalam kasus pelanggaran kode etik hingga malapraktik.

LBH Jakarta, dari keterangan Ayu, pernah menangani laporan kasus malapraktik pada tahun 2016 yang baru mendapat putusan dari MKDKI tahun 2019. Itu pun tidak diketahui proses sidang kode etiknya seperti apa dan kapan berlangsung. Selain itu, pihak pelapor dan tim advokat pun tidak pernah diberitahu tentang proses persidangan tersebut.

Julius bilang, anggota pengawas dalam tubuh MKDKI memang didominasi oleh dokter ataupun mantan dokter. Tidak heran jika ia mempertanyakan tingkat subjektivitas dalam tubuh MKDKI yang sangat tinggi.

“Tidak hanya MKDKI, profesi advokat saja saya tidak setuju jika diawasi oleh para advokat juga. Karena akan berpotensi membela teman sejawat,” kata Julius.

Julius pun berharap, dewan pengawas dari profesi manapun tidak semua berasal dari profesi yang sama. Ini supaya dalam satu kasus, banyak sudut pandang yang bisa diperoleh.

Bukan Tangan Tuhan
Sekadar informasi, instansi rumah sakit atau pun penyedia jasa layanan medis lain, sejatinya sudah termasuk dalam lingkup aturan WTO (World Trade Organization). Artinya hubungan antara pasien dan dokter, sudah seperti hubungan konsumen dengan produsen atau distributor, layaknya bidang jasa lain.

Namun, Titia mengingatkan, hal yang harus disadari masyarakat adalah dokter bekerja secara ilmiah dan bukan berdasarkan konsep “Tangan Tuhan”. Banyak pasien lupa, tindakan dokter sifatnya transaksi terapetik yang berarti perlu perjanjian atau persetujuan. Pendeknya, ada hubungan timbal balik antara dua pihak yang bersepakat dalam satu hal.

Hubungan timbal balik ini pun tidak berhenti saat kedua belah menyepakati satu hal. Lebih lanjut, Titia mengatakan, banyak pasien yang datang mengharapkan hasilnya berobat bersifat ambivalensi resultaat, atau hasil akhir dari pengobatan harus berupa kesembuhan.

Padahal, profesi dokter lebih mengarah pada sifat inspanning verbintenis yang berarti dokter akan mengupayakan secara maksimal atas kesembuhan pasien.

Dari pengakuan Titia, masyarakat Indonesia masih memiliki kesadaran berobat yang rendah. Sudah banyak kasus penyakit apa pun dibiarkan oleh pasien dan setelah semakin parah barulah dibawa ke dokter.

“Kondisi pasien sudah jelek tapi mengharapkan sembuh total. Ini kan sulit. Nanti kami lagi yang dituduh melakukan malapraktik,” lanjut Titia.

Baginya, profesi dokter rawan sekali dikriminalisasi, bahkan tak jarang dokter ditakut-takuti oleh aparat sendiri.

“Yang bilang dokter kebal hukum adalah orang yang tidak pernah berinteraksi dengan dunia kesehatan,” tandasnya. (Rio Yudha)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar