17 September 2018
18:39 WIB
TIMIKA - Program desentralisasi obat Anti Retro Viral (ARV) ke tingkat kabupaten di Provinsi Papua disambut baik pegiat masalah HIV-AIDS di Timika. Pasalnya jumlah orang Papua yang kini terinfeksi HIV-AIDS tercatat sudah mencapai lebih dari 37.991 jiwa.
"Saya rasa desentralisasi ARV sangat positif dengan harapan setiap puskesmas nantinya bisa lebih efektif dalam melakukan pengobatan secara teratur dan semakin lebih mudah dijangkau oleh penderita HIV-AIDS," kata Direktur Yayasan Peduli AIDS Timika (YPAT), Pastor Bert Hogendoorn OFM di Timika, seperti dilansir Antara, Senin (17/9).
Ia menjelaskan selama ini banyak kasus kegagalan minum obat ARV di Papua. Salah satunya disebabkan oleh kesulitan penderita mengakses layanan obat ARV lantaran biaya transportasi yang cukup mahal.
Dengan tersedianya obat ARV di setiap puskesmas, Bert meyakini tidak akan ada lagi keluhan dari para pasien soal kesulitan biaya transportasi sebab jarak antara puskesmas dengan tempat tinggal mereka cukup dekat.
Misionaris asal Belanda yang sudah puluhan tahun berkarya di Papua itu mengatakan pertumbuhan kasus HIV-AIDS di Mimika hingga kini masih cukup tinggi dengan kisaran temuan kasus baru lebih dari 400 setiap tahun dalam lima tahun terakhir. Untuk itu, ia meminta semua pihak serius memperhatikan semakin meluasnya epidemi kasus HIV-AIDS di Papua, termasuk di Mimika.
Menurutnya penemuan banyak kasus baru HIV-AIDS di Papua, termasuk Mimika tidak menunjukkan kegagalan program penyuluhan yang dilakukan oleh berbagai instansi selama ini.
"Apa yang terjadi sekarang ini sebenarnya kita sedang memanen kasus dari beberapa tahun lalu. Pada saat diberikan perhatian serius, ditemukanlah kasus-kasus baru yang banyak itu," jelasnya.
Yang menjadi persoalan menurutnya adalah tingkat mobilitas warga Papua yang tergolong sangat tinggi di Timika. Orang yang sekarang mendapat penyuluhan belum tentu bertahan di suatu tempat. Nanti tahun depan ada orang baru lagi yang datang. Pergantian orang yang terus-menerus inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa kasus baru terus menerus ditemukan.
Saat ini menurut Kepala Seksi HIV-AIDS dan IMS pada Dinas Kesehatan Provinsi Papua Dr Rindang Pribadi Marahaba beberapa kabupaten di Papua sudah melakukan desentralisasi obat ARV. Artinya masyarakat di kabupaten itu kini udah dapat mengakses obat ARV sendiri ke pusat, tanpa melalui provinsi.
Wilayah itu yakni Kabupaten Jayapura, Nabire, Mimika dan Jayawijaya. Beberapa kabupaten lain masih memesan obat ARV melalui Dinkes Provinsi Papua seperti Kota Jayapura, Mappi, Boven Digul, Merauke, Biak, Puncak Jaya. Hal serupa juga akan dilakukan untuk kabupaten Tolikara, Yalimo, Lanny Jaya, Yapen, dan Waropen.
"Proses desentralisasi obat ARV baik ke kabupaten ataupun provinsi tidak semudah yang dibayangkan karena berkaitan dengan manajemen pencatatan dan pelaporan baik jumlah temuan kasus maupun logistik ARV," jelas Rindang.
Ia memastikan persediaan obat ARV di Papua hingga kini masih aman. Ia pun berharap para petugas pelayanan obat ARV benar-benar mengatur persediaan dan pendistribusian obat tersebut dengan baik guna menghindari kasus stok out ARV atau kehabisan stok obat ARV.
"Kami sudah memerintahkan penghentian pemberian obat ARV kepada pasien untuk kebutuhan sampai empat bulan karena berisiko terjadi kasus stok out ARV," ujarnya.
Ketentuan terkait penggunaan obat Antiretroviral (ARV) di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral. Dalam Permen tersebut dijelaskan bahwa penggunaan obat ARV mendorong revolusi dalam pengobatan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) seluruh dunia.
Meskipun belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistansi kronis terhadap obat. Namun secara dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan. (Bernadette Aderi)