c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

05 Oktober 2020

20:16 WIB

Dampak Omnibus Law Bagi Perempuan

Perempuan dinilai akan menjadi korban dari kebijakan-kebijakan di Omnibus Law

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Dampak Omnibus Law Bagi Perempuan
Dampak Omnibus Law Bagi Perempuan
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan gedung DPRD Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (25/8/2020). Massa buruh menyerukan Tolak Omnibus Law. ANTARAFOTO/Didik Suhartono

JAKARTA – Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Siti Rakhma Mary Herwati mengatakan, pengesahan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menunjukkan bahwa negara tidak peka terhadap persoalan yang dihadapi perempuan.

"Dari awal DPR dan pemerintah sudah bersikap tertutup ya, mereka sama sekali tidak melibatkan partisipasi publik dalam membuat RUU tersebut, menunjukkan ada sesuatu yang ditutupi," kata Siti Rakhma Mary dalam Sidang Rakyat Mendesak Pengesahan RUU PKS secara virtual, Senin (5/10).

Ia mengatakan, selama ini kasus-kasus terkait dengan perampasan hak dan ruang hidup sudah membuat perempuan menjadi korban pertama. Menurutnya, keberadaan Omnibus Law berpotensi menjadikan perempuan semakin menanggung beban berat.

Contohnya, pemerintah dengan mudah mengeluarkan perizinan di bidang ekstraktif sumber daya alam, seperti perkebunan kelapa sawit. Ketika hal itu terjadi, perempuan yang kehilangan tanah, maka mau tidak mau harus menjadi petani atau buruh di perkebunan kepala sawit tersebut. Ketika menjadi buruh, mereka akan rentan mengalami kekerasan seksual.

"Ketika lingkungan dirusak karena tambang, perempuan dan anak yang juga pertama menjadi korban, karena masuknya bahan limbah B3 atau bahan kimia ke dalam tubuh perempuan dan anak," terangnya. 

Ia menilai regulasi itu hanya membuat situasi makin parah, karena akan semakin memafasilitasi pengusaha merusak lingkungan dan dampaknya akan menimpa perempuan. 

"Ini hal yang membuat kita marah, sedih dan kecewa. Dan menujukkan bahwa DPR tidak saja tidak peka terhadap persoalan, tapi bentuk penghiantan terhadap amanat konstitusi," ujarnya.

Langkah Mundur
Pada kesempatan berbeda, Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Arieska Kurniawaty menjabarkan beberapa catatannya terkait pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Pertama, dinilai sebagai langkah mundur dari komitmen pemerintah dalam memastikan analisis gender dalam perlindungan lingkungan melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Menurut dia, Menteri LHK pernah membuat komitmen yang dituangkan dalam peraturan menteri dan secara jelas menyebut bahwa perempuan adalah salah satu kelompok yang harus dilibatkan dalam konsultasi KLHS dan AMDAL.

"Dan itu dianulir sendiri oleh pemerintah melalui regulasi ini (RUU Cipta Kerja)," kata Arieska dalam konferensi pers Pers Batalkan Omnibus Law secara virtual, Senin (5/10).

Kedua, jaminan kemudahan investasi termasuk kepemilikan dan penguasaan tanah, dinilai akan menggusur keberadaan rakyat. Dalam situasi penggusuran ini, tentu kondisi perempuan semakin sulit.

Solidaritas Perempuan mencatat, pada 2019 hanya ada 24,2% bukti kepemilikan tanah yang atas nama perempuan. "Budaya patriarki jadi hambatan yang paling signifikan bagi perempuan untuk bisa punya akses dan kontrol atas tanah," ujarnya.

Ketiga, yaitu terkait kedaulatan pangan. Menurutnya, hal ini terjadi salah satunya karena ada ketentuan yang menyamakan antara kedudukan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional dengan impor pangan sebagai sumber penyediaan pangan.

Hal itu terbukti dari pasar domestik Indonesia kerap dibanjiri pangan impor. Sementara, subsidi untuk petani dan nelayan terus dicabut karena pemerintah Indonesia terlalu rajin menandatangani perjanjian internasional.

"Terlebih kita tahu bagaimana sebagian besar perempuan produsen pangan itu adalah produsen yang subsisten," ujarnya.

Catatan lain yaitu terkait masifnya perampasan lahan dan sulitnya lapangan pekerjaan menyebabkan terjadinya migrasi tenaga kerja. Menurut dia, banyak perempuan menjadi buruh migran untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga. 

Ia mengatakan, perempuan yang menjadi buruh migran ini kerap mengalami kekerasan dan pelanggaran hak berlapis. Hal ini tentu membuat Solidaritas Perempuan menentang adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (Maidian Reviani)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar