03 Desember 2019
20:27 WIB
JAKARTA – Saat ini, setidaknya ada dua tipe orang tua yang aktif bermain di media sosial Instagram. Tipe pertama, orang tua yang bersikeras tak mau memperlihatkan wajah anak ke publik demi menjaga privasi dan keamanan. Tipe kedua, orang tua yang santai-santai saja membagikan foto anak-anaknya dalam berbagai kegiatan.
Khusus buat tipe yang pertama, biasanya mereka hanya mengunggah foto anak yang diambil dari belakang. Bisa juga foto yang diambil candid saat anaknya tengah menunduk atau berpaling dari kamera.
Bagi orang kebanyakan, privasi dan persetujuan anak sebelum mengunggah foto mungkin bukan suatu hal yang perlu didiskusikan panjang lebar. Namun, berbeda halnya bagi artis, influencer dan selebgram, lain cerita.
Mereka yang telanjur dikenali oleh ratusan ribu hingga jutaan warganet Indonesia, punya daya tarik yang berbeda. Apa pun yang diunggah di akun pribadinya, berpotensi besar menjadi bahan pembicaraan. Salah bicara sedikit saja, bisa viral dengan beragam cerita sampingannya.
Sisi positifnya, buat mereka, unggahan apapun, termasuk mengunggah foto anak-anak bisa menjadi sumber pendapatan yang sangat potensial, terlebih jika akun sang ibu atau ayah punya banyak follower dan engagement yang tinggi.
Bermodal dua hal tersebut, foto menggemaskan dari sang buah hati, jadi senjata ampuh untuk memasarkan suatu produk. Dibungkus dengan cerita dan visual yang menarik, iklan tersembunyi bisa diunggah di akun media sosial mereka.
Produsen serta pedagang sudah sekian lama menangkap peluang tersebut dengan cepat. Tak heran, saat ini sudah merupakan hal yang lumrah buat selebgram menerima endorsement produk-produk bayi dan anak.
Persoalan ini dipikirkan juga Raditya Dika, penulis komedi bestseller Kambing Jantan ini belum lama menjadi seorang ayah. Biarpun sudah lama terkenal, dia tetap tak suka kehidupan pribadinya diulik-ulik pubik.
Saat putrinya lahir, Dika memutuskan untuk tidak mempublikasikan sang anak secara terang-terangan. Setidaknya hingga putrinya berusia sebulan, agar periode tersebut menjadi momen istimewa bagi keluarga.
“Ini dilema yang cukup panjang buat gua, bahkan sebelum dia lahir. Gua sempat nanya sama Rachel Vennya dan yang lain-lain, gimana sih cara mempublikasi anak sendiri dengan semua orang bisa berkomentar,” tuturnya dalam video bertajuk ‘Arti Nama Anak? Kenapa Mukanya Diumpetin?’ yang diunggahnya pertengahan Mei lalu.
Dika pun sadar, karena profesinya sebagai komedian dan anak yang terus tumbuh besar, lambat laun wajahnya mestilah ketahuan juga. Orang-orang akan tahu sendiri. Dia menyikapi hal ini dengan komedi, alih-alih meminta privasi untuk sang anak, Dika justru berseloroh mewanti-wanti para sponsor untuk menyiapkan endorse.
“Jadi buat brand-brand siap-siap nih misalnya mau sponsorin kita foto endorse anak gua. Karena duitnya buat dia sekolah buat gede nanti. Karena banyak yang bilang juga setelah ada Alea view-nya jadi ramai. Tadinya, bahkan mau gua kasih nama adsense dia, biar sekalian,” selorohnya.
Gara-gara hobi
Lain orang tua, lain alasan. Berbeda dengan Raditya Dika yang sejak awal berani berseloroh membuka kesempatan endorsement buat anaknya, Ringgo Agus Rahman justru mendapatkan tawaran endorsement dari hobi fotografinya.
Dia senang mengabadikan berbagai momen si kecil lewat lensa kamera. Media sosial adalah wadah yang menurutnya paling gampang untuk memajang karya-karyanya.
“Saya cuma hobi doang, enggak mungkin pameran foto, kan. Karena bukan fotografer juga. Cuma saya memang dasarnya suka foto aja, dan instagram tuh saya jadikan kayak (memajang) hasil foto saja,” ujar pemeran Abah dalam film remake Keluarga Cemara ini.
Keluarga kecilnya adalah objek foto langganan Ringgo. Baginya, mengabadikan momen dan mengunggahnya ke Instagram memiliki arti khusus dan bukan cuma demi eksis atau pamer kebahagiaan semata. Dia meyakini media tersebut merupakan tempat paling aman untuk menyimpan hasil jepretannya. Karya fotografi dan memori keluarganya terbingkai di sana, tak bakal rusak dan hilang.
“Saya enggak punya foto waktu kecil. Misalnya waktu saya bayi. Saya enggak punya foto-fotonya. Saya enggak mau itu kejadian sama anak saya atau istri saya,” tambahnya.
Ringgo pun menganggap tawaran iklan bertemakan keluarga dari brand tertentu yang datang kepadanya adalah bonus semata. Baginya endorsement bukanlah peluang bisnis. Tawaran-tawaran itu boleh saja suatu saat berhenti datang, namun hobi memotret tak bakal dia tinggalkan. Sebab memang itulah niat Ringgo sejak awal, mengabadikan momen bahagia keluarganya.
Sama dengan Ringgo, Angel Monica pun mengaku mulanya tak memiliki motif mendulang rupiah dari publikasi sang buah hati di sosial media. Dilalah, justru tawaran endorse datang saat anaknya menginjak usia dua bulan.
Selain produk endorsement, Angel mengaku bisa mendapatkan bayaran kurang lebih Rp3–5 juta perbulan. Nominal yang didapat untuk tiap unggah pun beragam. Mulai dari Rp250 ribu sampai Rp3,5 juta, tergantung jenis dan besar usaha brand yang mengajukan penawaran. Produknya pun macam-macam, mulai dari baju sampai mainan anak.
Mengaku tidak aktif bersosial media, akun @babygembul17 yang jadi media publikasinya kini sudah punya pengikut sebanyak 20,9 ribu followers. Hanya saja, ia mengaku, untuk menghasilkan unggahan endorsement anaknya pun tak mudah.
Dia memerlukan strategi khusus agar anaknya yang kini berusia dua tahun bisa fokus saat difoto. Angel tidak akan memaksa jika sang anak memang sedang tidak mau difoto.
“Walaupun endorse baju, aku pun fotonya lewat candid. Jadi sambil main aku foto, kadang kan kalau misalnya dia fokus ke hp, itu pun kadang (sambil) liatin Youtube, baru bisa fokus (memfoto) dari depan kan,” terang ibu berusia 30 tahun ini.
Ia pun tak bisa sembarang waktu. Apalagi, saat ini anaknya mulai bersekolah. Sesi foto baru bisa dilakukan di luar jam sekolah yang terjadwal tiga kali seminggu. Ia pun seringkali tidak menggunakan hari libur (Sabtu-Minggu) untuk sesi foto endorsement. Menurutnya, sang anak dan dirinya sendiri juga membutuhkan waktu istirahat.
Dalam dua tahun ini saja, Angel pun merasa penghasilan yang dia dapatkan sudah cukup memuaskan. Karenanya, ia belum berniat memanfaatkan saluran media sosial lain seperti YouTube untuk anaknya. Meskipun pendapatan dari adsense Youtube terbilang menjanjikan, menurutnya tidak mudah membuat konten di platform tersebut.

Hak Anak
Pelibatan keluarga, khususnya anak, dalam berbagai media komunikasi digital saat ini pun dicermati Sosiolog Universitas Indonesia Ida Ruwaida. Menurutnya, fenomena ini menunjukan bahwa batas-batas antara area privat dan publik dalam masyarakat kian cair (liquid society). Tidak terkecuali topik tentang keluarga. Artinya, tak ada lagi norma-norma yang mampu mengikat suatu kelompok dalam masyarakat.
Ia menilai, publikasi sosial media yang melibatkan keluarga, masih positif jika mampu menstimulus inovasi dan kreativitas anggota keluarga. Stimulus tersebut diharapkan dapat berkontribusi pada perkembangan karakter anak. Sehingga, anak diposisikan sebagai sumber daya keluarga yang potensial untuk diasah.
“Tapi, bisa negatif (dampaknya.red) jika ada anak atau keluarga yang mengalami pemaksaan, intimidasi, bahkan eksploitasi demi konten dan proses produksi,” terang Ida kepada Validnews, Senin (2/12).
Ia menekankan, keluarga atau orang tua bisa melibatkan anak dalam konten media sosialnya, sejauh untuk tujuan yang edukatif. Dengan demikan, secara tidak langsung publik pun turut mempelajari sesuatu, memperoleh inspirasi dari cara keluarga tersebut mendidik sang anak.
Edukasi sendiri, lanjutnya, harus menjadi faktor yang diutamakan dalam berbagai konten yang melibatkan anak. Bukan sebaliknya, mendorong gaya hidup konsumtif dan tidak sehat.
Pendeknya, dalam hal ini, fungsi perlindungan anak oleh orang tua harus maksimal dijalankan. Hak-hak anak pun harus menjadi perhatian. Orang tua perlu mempertimbangkan baik buruk dampak unggahan sosial media untuk kepentingan anak. Jangan sampai, tanpa disadari, anak justru jadi objek eksploitasi, dijadikan subjek atau komoditas.
“Jika kondisi emosional anak atau anggota keluarga terganggu, juga hak atas privasi, hak tumbuh kembang, hak bermain, hak untuk belajar dan lain-lain terganggu, maka iklim tidak sehat pun terjadi,” ujarnya.
Kejujuran Promosi
Tapi apapun itu, sekarang yang pasti kehadiran keluarga influencer di media sosial, sudah mendisrupsi strategi pemasaran pelaku usaha. Mereka mulai beralih, dari menempatkan iklan di slot siaran televisi dan membeli space di koran-koran, menjadi menawarkan endorsement ke selebgram atau influencer yang memiliki follower ratusan ribu dan engagement akun yang tinggi.
Para produsen dan pelaku usaha yakin, popularitas para influencer dan selebgram mampu meyakinkan orang lain untuk turut menjajal produk yang dipromosikan. Paling tidak, mereka mampu memengaruhi minat follower untuk berbondong-bondong mengunjungi akun si produsen atau pedagang pengguna jasa mereka, lalu melihat-lihat katalog produk. Harus diakui, inilah tren cara memasarkan produk di era sosial media.
“Kalau target market-nya keluarga, kan pakai keluarga juga. Kalau targetnya perempuan muda, ya pakai perempuan muda. Itu hukum alamnya marketing,” kata Pengamat Marketing Hermawan Kertajaya, kepada Validnews, Senin (3/12).
Setidaknya, strategi memasarkan produk dengan cara itu cukup menjanjikan. Survei global yang dilakukan Rakuten Marketing 2019 menyebut, empat dari lima konsumen mengonsumsi produk berdasarkan rekomendasi dari tautan atau gambar yang dibagikan para influencer. Hebatnya laghi, sekitar 88% diantaranya secara spontan terdorong untuk membeli suatu produk yang diiklankan tersebut. .
Tak sampai situ, jumlah yang dibelanjakan pun tak sedikit. Rata-ratanya berkisar antara US$1–US$629 untuk sekali belanja. Jika dirupiahkan, jumlah maksimum dikeluarkan konsumen secara sukarela setara Rp9 juta (kurs Rp14.000 per dolar AS).
Namun tak sedikit juga yang berupaya realistis. Mayoritas konsumen—sebanyak 47%—mengaku hanya mau mengeluarkan uang kurang dari Rp1,5 juta saja.
Dengan pola konsumsi yang demikian, tak mengherankan jika secara global (59%), pelaku pasar memilih meningkatkan anggaran promosi dengan menjalin kerja sama dengan influencer. Sisanya masih mengalokasikan total dana promosi dengan cara yang sama dari tahun sebelumnya (36%). Hanya sebagian kecil (4%) yang menurunkan anggaran penggunaan influencer.

Meski begitu, sebagai konsumen yang cerdas, warganet harus cermat juga bijak menyikapi fenomena ini. Sebab tak ada yang mampu menjamin kualitas produk yang ditampilkan influencer, sebagus yang dipromosikan, termasuk oleh sang influencer sendiri.
Hermawan meyakini, pemanfaatan teknologi yang tidak bijak secara jangka panjang justru bisa merugikan penggunanya. Oleh sebab itu, manusia sebagai individu berakal pun diharapkan mampu memegang kendali dalam pemanfaatan teknologi.
“Kalau memang endorse, ya enggak boleh duit thok. Dia harus benar-benar menggunakan, menghayati. Iya, toh? Jadi bisa dipercaya orang,” imbuhnya.
Masih menurut survei Rakuten Marketing 2019, konsumen online tidaklah senaif yang dibayangkan. Sifat autentik dari sang influencer disebut masih jadi faktor utama penggerak pola konsumsi para followers. Dilihat dari ulasan yang disampaikan, warganet kini dapat merasakan kejujuran testimoni yang diberikan para influencer. Dari situlah selera dan rekomendasi dari sang figur publik bisa menjadi bahan pertimbangan para pengikutnya.
Soal, pelibatan keluarga dalam konten endorsement, Hermawan sendiri tak punya pandangan negatif, asalkan pemilik akun mampu tampil jujur saat mempromosikan barang.
“Bagus saja, enggak apa-apa. Dengan mengerahkan seluruh keluarga, kan, lebih laris (produk.red). Cuma jangan sampai dibikin-bikin. Kalau memang betul-betul bagus, ya enggak apa-apa, jadi apa adanya,” cetusnya. (Bernadette Aderi, Kartika Runiasari, Rheza Alfian, Sanya Dinda)