c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

NASIONAL

25 Oktober 2018

18:48 WIB

Celah Regulasi Kampanye Terisi Serangan Narasi

Fenomena badai akun anonim yang pernah terjadi di pelbagai pemilu belahan dunia diduga bakal serang Pemilu 2019

Editor: Leo Wisnu Susapto

Celah Regulasi Kampanye Terisi Serangan Narasi
Celah Regulasi Kampanye Terisi Serangan Narasi
Ilustrasi sosialisasi kampanye Pemilu damai. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

JAKARTA – Interaksi manusia saat ini seakan dimudahkan dengan kehadiran internet. Terlebih persentuhan antarmanusia melalui media sosial dalam berbagai hal. Apakah untuk berbagi kisah, informasi, kepentingan bisnis, hingga membentuk jaringan sosial.

Jejaring sosial jadi penting. Terutama melalui media sosial. Mengutip statista.com, diperkirakan pada 2021 akan ada 2,02 miliar akun media sosial di seluruh dunia.

Jadi, tak heran pengaruh media sosial terhadap kehidupan masyarakat semakin besar. Masyarakat semakin mudah mengakses ribuan informasi selama terhubung dengan jaringan internet. Tak hanya di sekitar, tapi informasi yang ada nun jauh pun, cepat terakses.

Pun begitu dengan Indonesia. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) bertajuk “Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2017” menunjukkan penetrasi pengguna internet di Indonesia naik menjadi 143,26 juta jiwa, setara 54,7% dari total penduduk. Pada periode 2016, jumlah pengguna internet 132,7 juta jiwa.

Menariknya, survei 2017, APJII membagi penetrasi pengguna internet berdasarkan kota dan kabupaten, yakni daerah urban, rural-urban, dan rural. Berdasarkan pembagian wilayah itu, penetrasi internet di urban mencapai 72,41%. Kemudian di kawasan rural-urban 49,49% dan sebanyak 48,25% di rural.

Wilayah urban merupakan daerah administratif yang sebagian besar produk domestik bruto (PDB) berasal dari sektor non-pertanian. Sementara rural-urban merupakan wilayah administratif dengan besaran PDB seimbang antara sektor pertanian dan non-pertanian. Lalu, PDB di wilayah rural sebagian besar disumbang dari sektor pertanian.

Riset We Are Social pada Januari 2018 mencatat, penetrasi internet di Indonesia mencapai 50% yang didominasi oleh pengguna perangkat mobile dengan persentase mencapai 47% dari populasi. Sebagian besar pengguna perangkat ponsel lebih suka mengakses internet dibandingkan pengguna PC/laptop atau perangkat tablet.

Menurut data itu, orang Indonesia mengakses internet selama 8 jam 51 menit. Kemudian, selama 3 jam 23 menit, mengakses media sosial. Disusul menonton televisi, radio, dan video streaming yang mencapai 2 jam 45 menit, juga mendengarkan streaming musik selama 1 jam 19 menit.

Tidak kalah menariknya, 79% orang Indonesia mengakses internet setiap hari, 14% membuka internet dalam satu minggu, disusul enam persen dalam sebulan, dan kurang dari satu kali setiap bulan sebanyak satu persen.

Penetrasi pengguna internet menunjukkan banyak penduduk Indonesia yang memanfaatkan media sosial selain untuk bertukar informasi, memulai bisnis. Bahkan, untuk kepentingan kampanye politik.

Memagari Kampanye Medsos
Kampanye, merujuk pendapat Everret M Rogers dan J Douglas Storey dalam Communication Campaign (1987) adalah sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana. Hal itu ditujukan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.

Metode kampanye pada dasarnya berupa pertemuan terbatas, tatap muka dan dialog. Kemudian penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, lalu penyiaran melalui radio dan atau televisi. Selanjutnya penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum, dan debat publik atau debat terbuka antar calon. Serta kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Selain itu, sifat kampanye pada dasarnya terbagi menjadi dua, yakni kampanye negatif dan kampanye hitam. Atau kerap sedikit dibuat sopan dengan menyebut kampanye negatif.

Kampanye negatif adalah kampanye yang sifatnya menyerang pihak lain melalui sejumlah data atau fakta yang bisa diverifikasi dan diperdebatkan. Kampanye hitam biasanya bersumber dari rumor, gosip, bahkan menjurus ke implementasi sejumlah teknik propaganda. Jenis ini biasanya sulit untuk diversifikasi apalagi diperdebatkan.

Kampanye pada perkembangannya mengalami semacam perubahan nilai dan perubahan gaya dalam menyampaikan visi dan misi kepada khalayak. Beragam pula model komunikasi yang digunakan. Terutama sejak Pemilu 2014, peranan media elektronik menjadi begitu dominan sebagai bentuk komunikasi.

Pada generasi komunikasi media sosial, karena perkembangan dunia maya begitu pesat. Pengumpulan sebuah opini acapkali sering ditemui melalui Facebook, Twitter, Instagram maupun media lain yang juga bisa menjadi alat komunikasi sekaligus alat kampanye terhadap sebuah negara.

Karena perkembangan media kampanye ini begitu pesat, pelanggaran pun sering dilakukan pihak yang berkampanye. Jadi, KPU sebagai lembaga yang mengatur mekanisme pemilu membuat semacam aturan baru bagi para peserta kampanye yang menggunakan media elektronik sebagai alat untuk memobilisasi massa.

Oleh sebab itu, KPU membuat melansir Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu. Termuat di dalamnya, kampanye di media sosial hanya sebatas mengatur pendaftaran akun milik peserta pemilu.

KPU membatasi setiap peserta pemilu hanya boleh memiliki akun media sosial yang digunakan untuk kampanye paling banyak 10 akun. Tak ada ketentuan mengenai penyebaran konten kampanye oleh pihak lain yang tidak terdaftar akun-nya.

Menurut pengamat media sosial, Ismail Fahmi, kampanye di media sosial memang tak bisa dihindari. Dia berpendapat pemanfaatan media sosial untuk kampanye lebih murah dan memudahkan interaksi dengan pemilih.

Dia melanjutkan, melakukan kampanye di media sosial waktunya lebih efektif dan tidak harus repot mengumpulkan massa. “Skalanya juga besar bisa mencapai 1.000 orang bahkan lebih. Satu isu bisa langsung menyebar di beberapa jenis media sosial. Jadi sosial media ini tidak bisa di abaikan,” ujarnya kepada Validnews, Jumat (19/10).

Penggunaan media sosial berpengaruh terhadap masing-masing jenis partisipasi politik, dari kontribusi dalam perdebatan politik dan berbagai protes terhadap kubu lawan yang bersifat non-elektoral, hingga yang benar-benar terkait dengan kehadiran di bilik suara sebagai wujud partisipasi elektoral.

Hal tersebut tercermin kesuksesan Barrack Obama dalam memenangi kontestasi pemilihan presiden Amerika Serikat 2008. Saat masa pemilihan tim bentukan Obama melakukan kampanye besar-besaran dan membangun kesadaran politik masyarakat melalui media sosial Facebook, dan dengan itu berhasil menggaet pemilih muda ke bilik suara.

Hal serupa terjadi di Indonesia dengan pola sama saat pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2012, kemudian terus dilakukan dan memuncak pada pemilihan presiden 2014.

KPU telah menetapkan jumlah DPT sebanyak 187.781.884 orang, angka tersebut masih terus akan diperbaiki untuk meminimalkan potensi pemilih terdaftar ganda. Apabila dibandingkan dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang ditetapkan pertama kali oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka sekitar 76,47% dari total DPT adalah pengguna internet.

Besarnya pengguna media sosial yang aktif di Indonesia ini memberikan kesempatan bagi para aktor politik dalam kegiatannya. Dengan penggunaan media sosial juga dianggap efektif dalam kegiatan komunikasi politik.

Dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu, pengaturan kampanye di media sosial hanya sebatas keajiban mendaftarkan akun milik peserta pemilu. KPU membatasi setiap peserta pemilu hanya boleh memiliki akun media sosial yang digunakan untuk kampanye paling banyak 10 akun.

Namun, KPU tidak mengatur mengenai penyebaran konten kampanye. Padahal, tak dipungkiri , yang bisa saja dilakukan oleh orang di luar tim kampanye, atau oleh buzzer politik musiman yang muncul lima tahunan sekali. Belum lagi fenomena hoaks dan ujaran kebencian yang dengan mudahnya tersebar hanya dengan satu klik di akun media sosial.

Mengenai hal ini KPU sudah membuat peraturan tentang kampanye di medsos dengan mewajibkan peserta pemilu mendaftarkan nama-nama media sosial resmi parpol. Dalam konteks kampanye lewat media sosial yang bisa dilakukan KPU adalah meminta masing-masing peserta pemilu menyampaikan akun-akun media sosialnya.

“Dengan mendaftarkan akun ini lah yang dianggap resmi sebagai akun medsos peserta pemilu. Entah itu dari parpol atau pasangan calon presiden. Kalau di luar itu, di luar jangkauan KPU,” tutur Komisioner KPU RI Bidang Hukum, Hasyim Asy’ari, Kamis (18/10), kepada Validnews.

Hasyim melanjutkan mengenai diluar jangkauan KPU, akun media sosial boleh dibuat oleh siapapun seperti menyebar berita, menyatakan pendapat. Sehingga mengenai pandangan, pendapat, itu dianggap negatif.

Akun Anonim
Meskipun media sosial diperbolehkan untuk melakukan kampanye, tetapi harus melakukan kampanye dengan cara supportive dan tidak diperbolehkan ada kampanye hitam bahkan sampai menyebarkan fitnah hingga hoax.

Dilaporkan oleh Newman, Levy, dan Nielsen (2016), dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir berita mulai banyak muncul melalui platform media sosial. Jejaring sosial dan situs berbagi video, tanpa mempedulikan tingkat akurasi, adalah medium nyata untuk berbagi beragam infomasi, dari yang memiliki konsekuensi internasional hingga ke ranah pribadi (Fry dalam Bafadhal, 2017).

Di antara seluruh jejaring sosial yang ada, Facebook menjadi stabil mendominasi sebagai medium penyebar berita. Membandingkan laporan Reuteurs Institute Digital News pada tahun 2014 dan 2016, platform media sosial ini masih menduduki peringkat tertinggi, yakni 35% pada 2014, dan 44% pada 2016.

Tak jarang pembagian informasi disertai dengan berbagai pesan yang dipersonalisasi. Sehingga setelah dibagikan, kemudian memancing perdebatan antara pengguna lain yang berada di lingkaran pertemanan si pendukung di media sosial terkait.

Kondisi ini yang kemudian menunjukkan, bahwa keaktifan di media sosial menjadi lebih penting dibandingkan banyaknya akun yang mengikuti akun sang aktor politik.

Meski demikian, pemanfaatan media sosial, bukan berarti tanpa masalah. Masih teringat, ada fenomena botmageddon atau gelombang pasang kemunculan akun anonim Twitter terjadi dalam beberapa kampanye pemilihan presiden di beberapa negara. Seperti saat kampanye Donald Trump untuk menjadi calon presiden Amerika Serikat pada 2016. Hal sama terjadi pada kampanye Rodrigo Duterte untuk menjadi Presiden Filipina pada 2016.

Bersamaan waktunya, fenomena ini terjadi di beberapa negara, terutama di kawasan Asia. Seperti Hong Kong, Vietnam, dan di Indonesia.

Berbagai pihak sudah saatnya menaruh perhatian besar terhadap ada upaya propaganda politik dan penggiringan opini publik secara massal melalui media sosial. Aksi-aksi seperti ini disinyalir bakal kian masif mendekati Pemilu 2019.

Twitter adalah satu di antara media sosial yang berpotensi tinggi memengaruhi masyarakat karena banyak penggunanya. Media sosial ini merupakan pembuat opini yang sarana komunikasi dari pelbagai kalangan yang tak terbatas.  

Kicauan saling serang pernah terjadi pada Pilkada DKI 2012 dan 2017 dan Pemilu 2014. Jejaring sosial seperti Twitter mau pun aplikasi perbincangan bak ‘arena pertempuran’ yang sangat diperhitungkan oleh kubu-kubu berkepentingan.

Semua berlomba jadi trending topic. Terjadi pula penggiringan opini, entah untuk membangun antipati atau simpati terhadap calon dan kelompok tertentu, bisa juga untuk menimbulkan kebingungan massal yang berujung kekacauan dan perpecahan.

Perlu diketahui, pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil pemilu akan menggandeng selebritas media sosial dan tokoh populer dengan banyak follower sebagai buzzer. Mereka juga akan membuat banyak akun pseudo-nim, akun anonim alias bot, untuk memperkuat “pasukan siber” mereka.

Akun anonim ini biasa “bertugas” menggencarkan kampanye hitam dan kampanye negatif agar aman dari jerat UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sedangkan akun yang jelas penggunanya digunakan untuk menggalang simpati atau kampanye positif.

Dalang di balik serangan pasukan siber di jagat media sosial Indonesia bisa dari dalam negeri, bisa juga dari luar Indonesia. Maka itu, fenomena botmageddon yang memunculkan kekhawatiran luas di Asia Tenggara dan Asia Timur bahwa kawasan ini sedang dalam ancaman besar manipulasi medsos, seperti dialami AS dan Eropa memang perlu diantisipasi sejak dini.

Saat pemilu presiden Filipina 2016 terjadi peningkatan jumlah bot dan troll terorganisasi untuk mendukung tokoh yang akhirnya menang dalam pemilu, yakni Rodrigo Duterte. Di Myanmar, setelah otoritas setempat menggelar operasi militer terhadap minoritas muslim Rohingnya terjadi peningkatan jumlah akun Twitter yang kicauannya mendukung pemerintah. Padahal, Twitter merupakan medsos yang jarang digunakan masyarakat Myanmar.

Berdasarkan data Twitter Audit Report, menemukan bahwa 16 juta dari 51 juta follower Presiden AS Donald Trump adalah tidak nyata alias bot. Oleh sebab itu, pemerintah perlu serius memantau dan mengantisipasi fenomena ini. Termasuk para pemangku kepentingan Pemilu 2019. Bagaimana agar para bot tersebut bisa dihentikan sebelum dioperasikan dan berdaya rusak tinggi.

Berdasarkan data Statista, jumlah pengguna aktif Twitter di Indonesia pada 2016 berada di posisi ketiga di dunia (24,34 juta) setelah AS dan India. Sementara itu, jumlah akun Facebook di Indonesia terbanyak ketiga di dunia (140 juta) setelah India dan AS.

Pengguna Instagram di Tanah Air terbanyak nomor empat secara global (56 juta) setelah AS, Brasil, dan India. Para pengguna Twitter dan medsos idealnya lebih memproteksi akun mereka. Waspada akan penambahan follower dalam satu waktu.

Apalagi, bot kebanyakan tidak memiliki foto profil. Jadi, jangan senang dulu karena tiba-tiba dapat banyak tambahan follower.

Buka Mata
Bawaslu, sebagai lembaga pengawas pemilu, tak menutup mata akan fenomena ini. Lembaga itu telah melakukan sejumlah langkah untuk menangkal kekacauan akibat perang siber.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar menyatakan kepada Validnews, Kamis (18/10), “Bawaslu telah melakukan sejumlah langkah untuk menangkal kekacauan akibat perang siber.”

Bawaslu, lanjutnya, akan mengawasi akun medsos resmi di KPU atau akun lain yang sengaja ingin menyebarkan berita bohong. Fritz melanjutkan, untuk hal ini, Bawaslu bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan kerja sama dengan penyedia media sosial yang ada di Indonesia.

“Bila muncul ujaran kebencian atau pelanggaran pemilu maka akan kita take down akun yang terdaftar. Lalu, meminta polisi untuk menangani,” tutur Fritz.

Pihak Bareskrim Polri juga tak sungkan bertindak tegas terhadap bot maupun buzzer yang mengganggu ketertiban Pemilu 2019.  “Jika ada akun belum terdaftar, tapi menebarkan berita bohong, akan ditangani menurut undang-undang terkait. Seperti KUHP atau UU ITE,” tutur Kasubdit I Siber Bareskrim, Kombes Dani. (Annisa DM, Denisa T, James M, Zsazya S, Benny S)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar